Friday, April 2, 2010

BAB 7 : TELAAH KRITIS ATAS DOKTRIN FAHAM SALAFI / WAHABI

Bab 7
Sekelumit Macam-Macam Makalah

Daftar isi bab 7 ini antara lain :
· Fatwa-fatwa para ulama tentang paham Hulul atau Ittihad (menyatunya Allah swt dengan hamba-Nya)
· Fatwa-fatwa para ulama mengenai ilmu Tarekat, Hakekat, Ma’rifat
· Fatawa-fatwa para ulama tentang pengertian Wali (waliyullah)
· Siapakah Syeikh Siti Jenar?
· Berjabatan tangan antara lelaki dan wanita yang bukan muhrim
· Sekelumit tentang berjabat tangan seusai sholat
· Kewajiban membaca Al-Fatihah didalam sholat baik untuk ma’mum maupun imam.
· Kewajiban Membaca Basmalah di Awal surat Al-Fatihah
· Tidak mengerak-gerakkan jari telunjuk ketika Tasyahhud
· Tata cara singkat Haji dan ‘Umrah dan sunnah-sunnahnya
· Keterangan singkat mengenai Ru'ya Hilal Ramadhan/Syawal
· Keterangan singkat mengenai ibadah Puasa Ramadhan





Fatwa-fatwa para ulama tentang paham Hulul atau Ittihad (menyatunya Allah swt dengan hamba-Nya) :

Fatwa Al-Mawardi ( Al-Haawi Al-Kabir).:
Orang yang mempunyai paham hulul atau ittihad (bahasa jawanya ‘manunggaling kawula gusti’ artinya menyatunya Allah dengan hamba) bukan termasuk orang-orang muslim. Mereka Islam, cuma menurut lahirnya dan sebutannya saja. Mereka mengatakan Allah Maha Suci, namun juga berpendapat bahwa Allah itu menyatu dengan makhluk-Nya. Paham semacam itu jelas-jelas sesat. Dikarenakan bersatunya Allah ini, jika diartikan menyatunya sifat kepada yang lain berarti Allah itu sifat. Atau jika diartikan menyatunya jasmani-jasmani, berarti menganggap Allah itu jisim. Padahal pengertian semacam ini jelas-jelas keliru. Kemudian jika yang dimaksud dengan hulul ini seluruh dzatnya, maka berarti Allah dibatasi oleh badan kasar manusia. Atau hanya hulul sebagian saja, maka berarti dzatnya Allah terbagi-bagi. Ini semua jelas merupakan kesalahan dan kesesatan

Fatwa As-Sayid Alwi bin Abbas Al-Maliki (mufti Mekkah) dalam Majmu’ Fatawi Wa Rosail As-Sayid Alwi bin Abbas Al-Maliki, hal. 185-186, tentang perkataan orang “yang menyembah adalah yang disembah dan yang disembah adalah yang menyembah”.
Pertanyaan: “ Apa pendapat Tuan –semoga anugerah Allah menyertai– tentang seorang lelaki beriman yang mengaku berpegang tauhid mengatakan; ‘Bahwa antara yang menyembah dan yang disembah itu hakekatnya satu jua’. Apakah dengan perkataan ini, ia tergolong murtad atau perlu dibedakan antara seorang sufi dan yang lainnya? Ketika kita menghukumi murtad, apakah boleh dikubur dipekuburan kaum muslimin atau tidak diperbolehkan? Semoga Allah membalas Tuan dengan balasan yang baik “.
As-Sayid Alwi menjawab:

Segala puji untuk Allah atas anugerahnya dan puji syukur atas pemberiannya. Sholawat dan salam semoga tetap tercurah untuk baginda Muhamad, keluarga dan sahabat-sahabatnya yang menempuh jalannya. Wa ba’du: “Ketahuilah, sesungguhnya jawaban atas persoalan ini mencakup dua sub bahasan. Pertama; keterangan mengenai segala sesuatu yang terkait dengan ucapan diatas. Kedua; mengenai segala sesuatu yang terkait dengan hukum orang yang mengucapkannya. Akupun akan menjawab dengan memohon pertolongan dari curahan ‘dzat pemberi nikmat’ dan juga terbukanya hati dari dzat yang memberikan bisikan ilham untuk pembahasan pertama bahwa termasuk sesuatu yang maklum dan tidak perlu dipikir panjang yaitu mengenai perbedaan yang sangat jelas antara pencipta dan yang dicipta kan. Karena yang namanya pencipta adalah dahulu tanpa permulaan, Maha Kaya dan Maha Agung sedangkan makhluk adalah sesuatu yang baru datang danpenuh kehinaan. Apakah bisa disamakan antara bekas dan yang memberikan bekas, antara ciptaan dan yang menciptakan ? Tidak akan berkata seperti itu kecuali orang bodoh, yang buta mata hatinya dan terhapus cahaya hatinya. Dengan perkataan seperti ini, berarti dia memproklamirkan diri sebagai pelaku zindiq, kesesatan lepas dari kendali taklif dan keluar dari wilayah syari’at yang disucikan. Dia pun menyangka termasuk kedalam golongan sufi agung, yang berpaham wahdah al-wujud. Padahal tasawuf yang terdapat pada dirinya hanya tinggal nama dan agama, yang dipegang pun tinggal tanda-tandanya belaka. Dengan begitu, setan pun tak henti-hentinya meniup kedua rahang mulutnya, memberitahukan keindahan permainan berkata-kata sebagai tipu daya, dengan sesuka hatinya memuji-muji hal-hal yang sebenarnya belum diketahui, mengucapkan ucapan-ucapan yang tidak bisa diterima akal dan tanpa terasa sebenar nya ia telah kemasukan aqidah orang-orang nasrani yang berpendapat adanya penyatuan antara ketuhanan dan wujud kemanusiaan. Dengan demikian ia termasuk orang-orang yang sesat”.

Fatwa-fatwa para ulama mengenai ilmu Tarekat, Hakekat, Ma’rifat :
Fatwa Syeikh Abdul Qadir Al-Jaelani (Sirr Al-Asraar Wa Madhhar Al-Abraar, hal.140-142) tentang aliran sunni dan 12 aliran yang sesat :
Aliran-aliran tasawuf itu ada dua belas golongan, salah satunya adalah kaum Suni, yaitu orang-orang yang perbuatan dan perkataannya sesuai dengan syari’at dan tarekat (ini yang bukan termasuk aliran sesat). Mereka itu dinamakan ‘kelompok ahl as-sunnah wal jamaah’ sebagian masuk surga tanpa hisab dan sebagian yang lain masuk surga setelah merasakan adzab/siksa.
Dua belas aliran sesat tersebut antara lain: Al-Huluwiyah, Al-Haliyah, Al-Auliyaiyah, Ats- tsamrokhiyah, Al-Hububiyah, Al-Huriyah, Al-Ibaahiyah, Al-Mutakaasilah, Al-Haddiyah, Al-Mutajahilah, Al-Waqifiyah dan Al-Haamiyah.

Aliran Al-Hulwiyah: yaitu, sesuatu sekte yang mengatakan bahwa melihat wajah wanita cantik atau amrod (pemuda tampan yang belum mencapai usia tumbuhnya bulu wajah, jenggot) tampan hukumnya halal dan dibalik wajah itu tersembunyi sifat-sifat Tuhan yang Maha Haq. Mereka itu suka menari-nari, saling berciuman dan berpelukan. Sekte ini termasuk kafir murni.

Aliran Al-Haliyah: Suatu sekte yang mengatakan bahwa menari (berjoget) dan tepuk tangan hukumnya halal. Mereka juga mengatakan bahwa guru tarekat itu punya tingkatan spritual yang tidak bisa dijangkau hukum syara’. Paham seperti ini jelas bid’ah, yang tidak dijumpai pada sunnah Rasulallah saw.

Aliran Al-Auliyaiyah: Suatu sekte yang mengatakan; ketika seorang hamba mencapai martabat Auliya, maka terbebas dari semua tuntutan syar’i. Selain itu mereka mengatakan; seorang wali lebih utama dari pada Nabi. Karena ilmunya nabi dengan perantaraan Jibril as, sedangkan ilmunya para wali dengan tanpa perantaraan (dengan ilham langsung dari Allah), penafsiran seperti ini jelas keliru. Mereka ini termasuk golongan celaka, karena I’tiqod/keyakinan yang mengandung kekufuran.

Aliran Atstsamrokhiyah: Suatu sekte yang mengatakan bahwa kebersamaan dengan Allah adalah sesuatu yang azali, dengan sebab kebersamaan inilah perintah Allah dan larangannya menjadi gugur. Mereka menghalalkan rebana, rebab dan alat musik lainnya (menurut mereka halalnya memang secara Syar’i). Dan anak perempuan bagi mereka, halal dikawini sendiri karena menurut mereka asalkan berjenis kelamin perempuan—halal dinikahi. Mereka ini termasuk golongan orang-orang kafir, dan halal darahnya.

Aliran Al-Hububiyah: suatu sekte yang mengatakan bahwa, seorang hamba ketika mencapai derajat mahabbah disisi Allah, akan bebas dari segala tuntutan syar’i, selain itu mereka tidak menutup aurat diantara sesama mereka.

Aliran Al-Huriyah: sekte ini hampir sama dengan aliran Al-Haliyah, hanya ada sedikit perbedaan bahwa, mereka mengaku menyetubuhi bidadari (alhuur) dalam keadaan terbual dzikir, kemudian setelah sadar mereka mandi wajib/jenabat. Mereka ini pembohong dan akan celaka.

Aliran Al-Ibaahiyah: sekte ini tidak mau melakukan amar ma’ruf, menghalalkan perkara haram dan juga memperbolehkan menggauli wanita (bukan isterinya).

Aliran Al-Mutakaasilah (kelompok pemalas): golongan ini mengemis dari pintu kepintu sementara itu, mereka mengaku meninggalkan urusan dunia dan merekapun kelak akan celaka.

Aliran Al-Mutajahilah: suatu sekte yang lahiriyahnya memakai pakaian orang-orang fasik dan mereka mengaku mementingkan urusan bathin/hati. Mereka juga akan celaka. Seperti difirmankan Allah swt.: Dan janganlah kalian condong kepada orang-orang dzalim, yang menyebabkan kalian tersentuh oleh api neraka (QS.Hud:113).

Aliran Al-Waqifiyah: suatu sekte yang mengatakan, bahwa selainnya Allah tidak akan bisa mengenali Allah. Mereka tidak mau berusaha untuk mencapai ma’rifat. Dan merekapun akan celaka.

Aliran Al-Haamiyah: sekte ini mengabaikan ilmu, melarang pengajian, mereka hanya mengikuti Hukama’ dan mengatakan; Bahwa Al-Qur’an itu menjadi hijab sedangkan syair-syair itu sebagai al-Qur’annya ahli tarekat sehingga merekapun meninggalkan Al-qur’an dan mengajarkan syair-syair kepada anak-anak mereka. Selain itu juga mereka tidak mau membaca wirid. Dengan paham seperti ini mereka akan celaka. Sementara dalam hati kecilnya yang rusak, mereka selalu mengatakan; Kami ini ahlu sunnah wal jama’ah, yang mana sebenarnya mereka itu bukan golongan ahli sunnah waljama’ah. Demikianlah pendapat syeikh Abdul Kadir Al-jailani.

Al-Bujairomi, Alal-khotib hal.8 juz 1 cet.Darul Fikr :
{ Hakekat tanpa syari’at batal (tidak diterima), Syari’at tanpa hakekat berakibat fatal (sia-sia).
Contoh yang pertama (hakekat tanpa syari’at batal ) adalah: Ketika engkau berkata kepada seseorang; Sholatlah dzhuhur!, kemudian dia menjawab; ‘Jika Allah menakdir kan aku beruntung, maka aku akan dimasukkan surga meskipun aku tidak mengerjakan sholat’. Atau ia menjawab; ‘Jika Allah menakdirkan aku sholat, maka aku pasti melaksanakannya’. Orang seperti ini, hanya melihat urusan dari tinjauan bathin saja (hakekat).
Contoh yang kedua (syari’at tanpa hakekat berakibat fatal ) adalah : Ketika ada orang mengatakan; Saya tidak mengerjakan sholat kecuali supaya masuk surga. Atau mengatakan; Saya tidak akan masuk surga kecuali dengan mengerjakan sholat. Pelaksanaan syari’at seperti ini akan sia-sia menurut pandang Kaum ‘Arifin. Maksud sia-sia adalah; Keberadaan syari’at itu seolah-olah seperti tidak ada (tidak mendapat pahala) karena masuk surga itu semata-mata anugerah Allah, bukan karena perantara an amal, meskipun pelaksanaan syari’at tersebut sudah menggugurkan kewajiban (menurut ilmu fiqih sudah sah). }

-- Syeikh Zainuddin bin Ali Al-Malaybari dalam Hidayatul-Adzkiya ilaa Thoriqotil-Auliya hal.8-13, maktabah al-Hidayah: “Sesungguhnya jalan terang itu, terdiri dari: Syari’at, Tarekat dan Hakekat, dengarlah perumpamaan berikut ini: Syari’at itu ibarat perahu, Tarekat itu ibarah samudera dan Hakekat itu ibara mutiara yang tak ternilai harganya.
Syari’at adalah berpegang teguh pada agama Allah Sang Pencipta, melakukan perintah dan menjauhi larangan-Nya. Tarekat adalah: Berpegang pada kehati-hatian, seperti berperilaku wira’i, dan juga menahan keadaan yang berat, seperti terus menerus mengekang nafsu kesenangan. Hakekat adalah: Sampainya seorang saalik pada maksud tujuan (ma’rifat kepada Allah), seraya menyaksikan kilatan cahaya ilahiyyah. Barangsiapa ingin mendapatkan mutiara, hendaknya naik perahu, menyelam kedasar samudera dan kemudian mengambilnya. ‘Wahai saudaraku! Tarekat dan Hakekat itu tidak akan bisa engkau raih kecuali dengan menjalani Syari’at’. Hendaknya seorang saalik menghiasi lahiriahnya dengan syari’at supaya kalbunya bercahaya’.Kegelapan sirna, dan tarekat pun bersemayam dalam kalbu.‘Mereka kaum Sufi, masing-masing punya tarekat yang dipilih untuk mengantarkannya menuju jalan terang. Ada yang duduk mengajar dan membimbing umat manusia dan adapula yang memperbanyak wirid-wirid seperti puasa dan sholat. Sebagian lagi berkhidmah melayani kepentingan masyarakat...bahkan diantara mereka ada yang mencari kayu bakar dan menjualnya untuk disedekahkan kepada sesama’.

“Syeikh Abdul Wahhab As-Sya’roni (Kifayatul Atqiya’, syarh hidayatul Adzkiya hal.27) : Para guru tarekat telah sepakat bahwa, tidak diperbolehkan bagi seseorang memberikan bimbingan kepada murid-murid tarekat kecuali ilmu syari’at dan alatnya laksana samudera, sebagaimana difatwakan para guru tarekat Syadziliyah. Oleh karena itu Syeikh Abu Hasan Asy-Sadzili, Syeikh Abbul Abbas Al-Mursyi, Syeikh Yaqut Al-Ursyi dan Tajuddin Ibnu ‘Athoilah tidak mau menerima murid Tarekat kecuali telah betul-betul menguasai ilmu syari’at, sekira bisa mengalahkan para ulama dalam majlis munadzoroh. Jika tidak memenuhi syarat ini, mereka tidak mau membaiatnya. Yang demikian ini untuk zaman sekarang (zamannya Syeikh Abdul Wahhab ini) lebih langka dari pada belerang merah.

Fatwa As-Sayid Abdurrahman bin Mushtofa Alaydrus tentang amalan yang bisa menyebabkan wushul kepada Allah di akhir zaman. Allamah sayid Mushtofa ini (tinggal di Mesir) menyatakan dalam penjelasan beliau tentang sholawatnya sayid Ahmad Al-Badawi. Komentar ini ditulis dalam kitab Manaqibi Aali Al-Idrus : Bahwa di akhir zaman nanti, ketika sudah tidak ditemukan seorang murobbi (mursyid) yang memenuhi syarat, tidak ada satupun amalan yang bisa mengantarkan seseorang wushul (ma’rifat) kepada Allah kecuali bacaan sholawat kepada Nabi saw, baik dalam keadaan tidur maupun terjaga. Kemudian setiap amal itu mungkin diterima dan mungkin juga ditolak, kecuali bacaan sholawat kepada Nabi saw (ini) yang pasti diterima, karena memuliakan Nabi saw. Sayid Abdurrahman meriwayatkan keterangan tersebut berdasarkan kesepakatan/ ijma’ ulama.

Syeikh Zainuddin bin Abdul Aziz Al-Malaibari (Fathul Mu’in, Hamisy Ianah Ath-Tholibin hal.134 juz 4, syirkah Al-Maarif, Bandung) tentang membaca buku-buku yang menerang kan Ilmu Hakekat yang ditulis oleh para Sufi: “Bagi orang yang tidak paham istilah-istilah ahli ma’rifat dan tarekat yang dijalani mereka, sama sekali tidak diperbolehkan membaca kitab-kitab karya mereka. Karena banyak sekali orang yang terjerumus dengan hanya melihat dhohirnya kata-kata para Sufi”.

Fatwa Ibnu Hajar (Al-Fatawi Al-Haditsiyyah, hal. 210) tentang membaca kitab-kitab karya Ibnu ‘Arobi:
(Ditanyakan kepada Ibnu Hajar), semoga Allah melimpahkan berkahnya kepada kita, tentang bagaimana hukumnya membaca kitab-kitab karya syeikh muhyidin Ibnu ‘Arabi?
Beliau menjawab: “Menurut keterangan yang aku kutip dari guru-guruku, para ulama yang bijak yang menjadi penyebab diturunkannya hujan, yang menjadi tumpuan dan rujukan segenap umat dalam memecahkan hukum-hukum agama dan didalam menjelaskan ahwal, ma’arif, maqomaat dan isyarat-isyarat”. Sesungguhnya Syeikh Muhyidin bin ‘Arobi itu termasuk golongan Auliya Arifin, ulama ‘Amilin dan merekapun telah sepakat mengenai predikat beliau (Ibnu ‘Arobi) sebagai orang paling alim pada zamannya. Sehingga beliau menjadi panutan dalam segala cabang ilmu dan bukan sebagai pengikut.

Didalam masalah pendalaman ilmu kasyf dan pembicaraan terkait dengan pembedaan maupun penyamaan, beliau ini laksana gelombang lautan yang tidak mungkin di-ikuti sebagai seorang imam yang tidak pernah bersalah dan tidak pula terbantahkan hujah-hujahnya. Selain itu Ibnu ‘Arobi terkenal sebagai ulama paling wira’i pada zamannya, paling konsisten dengan Asu-Sunnah dan juga paling kuat mujahadahnya. Termasuk tanda kebesaran itu adalah ketika beliau menulis kitabnya yang berjudul “Al-Futuhaat Al-Makiyyah”. Kitab ini diletakkan diatas Ka’bah dengan tanpa penutup dan setelah kurang lebih selama satu tahun ternyata kitab ini sama sekali tidak tersentuh air hujan dan juga tidak pernah terlempar oleh angin. Padahal waktu itu di Mekkah sering turun hujan dan bertiup angin kencang. Penjagaan Allah dari hujan dan angin ini cukup sebagai bukti, bahwa kitab ini diterima disisi-Nya, mendapatkan pahala dan pujian yang layak. Oleh karena sebaiknya jangan sekali-kali ingkar terhadap isi kitab ini. Karena hal itu akan menjadi racun yang siap membinasakan pada waktu itu juga. Saya (Ibnu Hajar) sendiri telah melihat dan menyaksikan bencana dan keburukan adzab/siksa yang ditimpakan kepada mereka yang ingkar terhadap isi kitab-kitab karya Ibnu ‘Arobi. Adapun mengenai membaca kitab-kitab karya beliau, sebaiknya dihindari saja baik dengan alasan apapun. Sebab didalam kitab-kitab itu terdapat pembahasan-pembahas an hakekat yang hanya bisa dipahami oleh para ulama yang sudah mempelajari secara mendalam Al-Qur’an dan As-Sunnah dan sudah mencapai hakekatnya ma’rifat dan ma’rifatnya hakekat .

Ibnu Hajar dalam Al-Fatawi Al-Haditsiyah, hal.56 menulis tentang perbedaan antara murid Tabaruk dan murid Suluk: “Mengambil ijazah dari para guru yang lebih dari satu, harus dibedakan antara seorang murid yang hanya sekedar menginginkan tabaruk dan seorang murid yang menginginkan bimbingan suluk. Untuk macam murid yang pertama (yakni sekedar tabaruk) diperbolehkan memcari ijazah dari siapapun, karena sama sekali tidak ada larangan baginya. Sedangkan untuk murid yang kedua (menginginkan bimbingan suluk) merupakan suatu keharusan baginya menurut istilahnya kaum sufi yang bersih dari segala larangan dan cercaan. Untuk memulai suluknya dengan bimbingan seorang guru yang halnya bisa menawan hatinya. Sekira hatinya mengagumi keagungan hal sang guru yang jelas-jelas berada dijalan yang benar, selain itu dia sangat menyukai dan menginginkan berguru kepadanya. Ketika itu, ia harus berpegang teguh pada petunjuknya, siap menerima perintah-perintah, larangang-larangan dan isyarat-isyaratnya. Sehingga ia diumpamakan seperti mayit dihadapan orang yang memandikannya (yang siap dibolak-balik menurut keinginan orang yang memandikannya).

Dan jika belum ada seorang gurupun yang halnya menawan hatinya, maka ia harus memilih guru yang paling mengerti hukum-hukum syari’at dan hakekat. Dan setelah itu ia harus siap menerima isyarat dan perintahnya. Barangsiapa mendapatkan guru suluk, baik dengan kriteria pertama maupun kedua, maka haram baginya meninggalkan guru tersebut (pindah pada guru lainnya) meskipun hati kecilnya mengatakan ada guru lain yang lebih sempurna. Karena bisa jadi murid tersebut merasa bosan untuk memenuhi hak-hak seorang guru sehingga nafsunya menginginkan pindah pada yang lainnya. Memilih seorang guru yang paling ‘arif, ‘alim, wira’i dan sholeh hanya diperbolehkan ketika ia pertama kali suluk. Adapun setelah bai’at dibawah pengawasan seorang guru yang ‘arif, maka sama sekali tidak ada kemurahan untuk berpindah kepada guru yang lain. Begitu juga menurut kaum Sufi bagi guru kedua  yaitu ketika seorang murid telah mengambil guru yang sempurna tidak diperbolehkan memberikan bimbingan suluk kepada murid tersebut. Namun ia harus memerintahkan murid tersebut kembali kepada guru pertama”.

Ibnu Hajar dalam Al-Fatawi Al-Haditsiyah hal.226 tentang Pengikut Malamatiyyah :
“ Mereka (pengikut Malamatiyah) itu adalah kaum yang selalu menjaga kebaikan hatinya untuk Allah semata. Mereka tidak menyukai orang lain melihat amal-amalnya. Dan ketika seseorang mengetahui amal kebaikannya, maka segera merusak amal tersebut yaitu dengan melakukan perbuatan atau perkataan yang kelihatannya tercela, seperti contoh pencurian yang dilakukan oleh sebagian para wali antara lain Ibrohim bin Khowash semoga Allah memberikan manfaat dengannya dan kejadian ini cukup untuk dipetik sebagai ilmu pengetahuan. Ketika itu penduduk kampungnya menganggap Ibrohim bin Khowash telah mencuri beberapa potong baju kepunyaan seorang pangeran dari sebuah pemandian air hangat. Mereka menjumpai Ibrohim dengan bangga keluar dari permandian, kemudian ditangkap ramai-ramai oleh penduduk, dipukul dan baju-baju itu diambil kembali. Kemudian ia (Ibrohim) mendapat julukan Pencuri pemandian air hangat, setelah kejadian itu Ibrohim pun berkata : ‘Sekarang baru dikatakan baik berdiam dikampung ini’.

Jika kamu bertanya apa alasan yang tepat untuk diperbolehkan memakai pakaian orang lain (dalam peristiwa itu)? Saya (Ibnu Hajar) katakan, bahwa kemungkinan besar Ibrohim bin Khowash telah mengetahui kadar kemarahan dan kerelaan pemiliknya (seorang pangeran tersebut). Bahkan kejadian itu bisa menyebabkan kerelaannya. Meskipun hatinya tidak mengetahui secara pasti namun hal itu bisa berdasar pada kebiasaan. Karena jika si pangeran tadi mengetahui kebaikan seorang hamba (Ibrohim ini) yang memakai pakaiannya dalam waktu sebentar dengan tujuan membersihkan hati supaya tidak dipandang simpati oleih para makhluk niscaya ia (pangeran) akan merela kannya. (Imam) Syafi’i telah menerangkan: ‘Bahwa diperbolehkan mengambil satu atau dua cukil gigi dari harta orang lain, karena pada umumnya kejadian seperti ini, bisa dimaafkan’. Sementara itu masalah yang sedang kita bicarakan ini lebih penting dari hanya sekedar mengambil cukil gigi. Lagi pula kebanyakan manusia sangat menyukai kaum sufi atau bahkan menjadi pengikut setia dari kelompok mereka. Kemudian aku mengamati sebagian Fugoha memberikan jawaban lain ketika ditanya oleh seorang Fagih tentang peristiwa/riwayat diatas. Sebelumnya ia mengatakan : ‘Aku tidak akan menerima kecuali dengan jawaban yang sesuai dengan pendapat Fugoha’. Maka merekapun memberikan jawaban: ‘Bukankah menurut dhohihrnya Fiqih diperboleh kan berobat dengan sebagian dari barang-barang yang diharamkan?’. Maka Fagih tersebut menjawab: ‘Ya memang benar demikian’ “.

Fatwa Ibnu Hajar (Al-Fatawi Al-Haditsiyah, hal.213) tentang Tarian para Sufi :
“Ditanyakan kepada beliau –semoga Allah memberikan manfaat- tentang tarian yang dilakukan para sufi ketika dibuai lezatnya dzikir apakah ada dalilnya? Beliau (Ibnu Hajar) menjawab: ‘Memang benar ada dalilnya. Sesungguhnya telah diriwayatkan dalam sebuah hadits bahwa sesungguhnya Jakfar bin Abi Thalib ra (saudara Imam Ali bin Abi Thalib kw) menari-nari dihadapan Nabi saw, ketika beliau (saw) mengatakan kepadanya (Jakfar); ‘ Wahai Jakfar, sungguh rupa dan tabiatmu mirip denganku’. Jakfar menari sedemikian ini tidak lain karena terbuai rasa lezat atas ucapan Nabi dan Nabi pun tidak mengingkari perbuatan Jakfar tersebut. Lagi pula sungguh benar-benar terjadi tarian-tarian sambil berdiri pada majlis dzikir seperti yang dilakukan segolongan imam-imam besar termasuk diantaranya Syeikh Al-Islam ‘Izzudin bin Abd.Salam”.

Fatwa Imam Al-Ghozali (Ihya ‘Ulum Ad-din, juz III bab Riya’ hal.281) tentang Tarekat Malamatiah:
“Cara menghilangkan Hubbul-jah dengan amaliyah, yaitu dengan mengerjakan perbuatan-perbuatan yang mendatangkan kecaman dan cercaan khalayak ramai, sehingga martabatnya jatuh dihadapan mereka. Kemudian tidak lagi merasakan enaknya mendapatkan simpati, merasa puas dengan penyamarannya dan merasa cukup dengan penerimaan Allah Sang Pencipta. Yang demikian ini adalah aliran kaum Malamatiyyah. Mereka mengerjakan berbagai bentuk keburukan dan kenistaan supaya jatuh harga dirinya dihadapan manusia, pada akhirnya mereka selamat dari malapetaka Jah (pangkat, kehormatan). Perbuatan seperti ini tidak boleh dilakukan oleh orang yang menjadi panutan, dikarenakan akan menimbulkan perasaan meremehkan agama dihati kaum muslimin. Sedangkan untuk orang yang tidak menjadi panutan, tidak diperboleh kan mengerjakan hal-hal yang diharamkan, untuk tujuan diatas. Mereka hanya di perbolehkan melakukan perkara-perkara mubah, yang bisa menjatuhkan martabatnya. Diantara mereka ini ada yang minum minuman halal, dengan menggunakan cawan yang warnanya mirip warna arak, sehingga ia disangka peminum arak. Dengan demikian jatuhlah martabatnya dihadapan manusia. Diperbolehkannya perbuatan semacam ini, menurut fiqih, masih perlu ditinjau lebih mendalam. Hanya saja kaum Sufi lebih mementingkan perbaikan hati meskipun perbuatan tersebut bertentang an dengan fatwa ulama fiqih. Kemudian setelah usaha (penyamaran) tersebut berhasil, segera ia (kaum aliran malamatiyyah) kembali dari kecerobohan yang telah dilakukannya”.

Fatwa Abu Ath-Thoyib dan Ibnu Atho’illah (Salaalim Al-Fudlolaa’ hal.112, cet.Al-Hidayah dan Kifayah Al-Atqiya’ hal. 111, cet. tAl-Hidayah) tentang Pengertian Ma’rifat sejati atau sejatinya Ma’rifat:
“Abu Ath-Thoyib mengatakan; “Ma’rifat adalah menyaksikan atas rahasia-rahasia dari yang maha haq dengan perantaraan cahaya ilahi”.
Ibnu Atho’illah mengatakan: “Ma’rifat itu harus memenuhi tiga rukun; merasa segan, malu dan selalu merasa senang/puas dalam keadaan apapun”.
Dzun An-Nuun mengatakan : “Tanda tanda seseorang itu telah mencapai ma’rifat ada tiga; a) Cahaya kema’rifatannya tidak memadamkan cahaya wira’inya. b) Tidak mengi’tiqotkan bahwa ilmu bathin itu bisa merusak hukum dhohir. c) Banyaknya nikmat yang dilimpahkan Allah kepadanya tidak mendorong untuk melanggar apa-apa yang diharamkannya. Ma’rifat kepada Allah, adalah seberkas cahaya yang ditempatkan oleh Allah didalam hati seorang hamba dan dengan cahaya tersebut ia bisa melihat rahasia-rahasia kerajaan bumi dan bisa menyaksikan hal-hal ghaib dari kerajaan langit”

Keterangan mengenai Waliyullah:
Para waliyullah adalah hamba-hamba ,diluar para Nabi dan Rasul, yang dicintai juga oleh Allah swt. Mereka benar-benar manusia sejarah bukan manusia dongeng, sebagai- mana yang dikatakan oleh sementara orang yang tidak mempercayai adanya kekeramatan (karomah) yang dilimpahkan Allah swt kepada para Wali. Allah swt telah memberikan penjelasan kepada kita tentang para Wali itu, sebagaimananya firman-Nya:
Artinya: “Ketahuilah, bahwa sesungguhnya para Wali Allah itu tidak khawatir terhadap mereka dan tidak pula mereka itu bersedih hati. Mereka adalah orang-orang beriman dan senantiasa bertakwa” (QS Yunus:62-63).

Waliyullah adalah orang yang berpegang teguh pada kebenaran Allah, menjauhkan diri dari segala bentuk maksiat (kedurhakaan) dari yang besar hingga yang kecil, dari yang bersifat lahir sampai yang bersifat bathin. Waliyullah adalah orang yang sholeh dan besar takwanya kepada Allah swt.
Allah swt menganugerahkan kehormatan atau kemuliaan (karomah),menurut kehendak- Nya, kepada siapa saja dari kalangan hamba-hambaNya yang sholeh baik mereka yang dari kalangan umat Muhamad saw maupun dari kalangan para pengikut para Nabi dan Rasul sebelum beliau saw. Allah swt memberi keampunan kepada pihak yang satu demi kemaslahatan pihak yang lain, memaafkan kesalahan pihak yang satu untuk kebaikan pihak yang lain dan menolong pihak yang satu untuk keselamatan yang lain. Demikian lah sebagaimana yang terdapat didalam hadits-hadits Arafat.
Menurut salah satu dari hadits tersebut, Allah swt berfirman kepada para Malaikat mengenai orang-orang yang berwuquf dipadang Arafat dan berdoa: “Kukabulkan doa mereka dan Kukarunia maaf orang-orang yang buruk dari mereka demi kemaslahatan orang-orang yang baik dari mereka”. Demikianlah yang diriwayatkan oleh Abu Ya’la.
Dalam hadits yang diriwayatkan oleh Thabrani, Rasulallah saw menyatakan: “Allah mengarunia maaf kepada orang yang buruk diantara kalian untuk kemaslahatan orang yang baik diantara kalian, dan Allah pun akan memberi apa yang diminta oleh orang yang baik. Karenanya hendaklah kalian berangkat (menunaikan ibadah haji) dengan nama Allah”.
Setelah mereka berkumpul (siap berangkat haji) Rasulallah saw menerangkan: ‘Allah ‘Azza wa Jalla telah memberikan ampunan kepada orang-orang yang baik dari kalian dan menerima permintaan syafaat (pertolongan) mereka bagi orang-orang yang buruk dikalangan kalian’.
Hadits mengenai hal itu yang diriwayatkan oleh Al-Baihaqi adalah sebagai berikut: ‘Aku (Allah) telah mengampuninya dan telah memberi syafaat kepadanya bagi dirinya sendiri. Jika ada hamba-Ku yang mohon hal itu kepada-Ku tentu ia Kuberi syafaat ditempat wuquf ini’.
Hadits-hadits tersebut diatas dikemukakan oleh Al-hafidh Al-Mundziri dalam At-Targhib wat Targhib bab ibadah haji jilid III hal. 323). Hadits-hadits tersebut baik dijadikan dijadikan argumentasi dan pada umumnya dipandang sebagai hadits-hadits shohih.

Bahkan ada pula hadits-hadits yang menegaskan bahwa diantara para hamba Allah yang sholeh, ada yang justru karena kemuliaan (karomah) para waliyullah itu Allah menurunkan rizki dalam kehidupan dialam wujud. Karena mereka, Allah menurunkan air hujan, memberikan pertolongan kepada hamba-hambaNya, mencegah datangnya bencana, mendatangkan kebajikan serta menyayangi semua penghuni bumi (hadits-hadits semacam itu antara lain yang diketengahkan oleh Imam Ahmad bin Hanbal dan rawi-rawinya adalah para perawi hadits shohih dan diriwayatkan juga oleh Anas bin Malik ra dan Thabrani didalam Al-Ausath.).

Imam Ali bin Abi Thalib kw menuturkan: “Di negeri Syam terdapat orang-orang sholeh, mereka berjumlah empat puluh orang. Bila ada seorang diantara mereka yang wafat, Allah menggantinya dengan orang lain yang menempati kedudukannya. Karena mereka itulah Allah menurunkan air hujan, memenangkan mereka dalam menghadapi musuh dan menghindarkan penduduk negeri itu (Syam) dari bencana adzab/siksa”.
Hadits ini di ketengahkan oleh Imam Ahmad bin Hanbal dan rawi-rawinya adalah para perawi hadits shohih. Syarih bin ‘Ubaid –ia dapat dipercaya– mengatakan bahwa ia sudah mendengar hadits tersebut dari Al-Miqdad lebih dulu.

Hadits lain yang diriwayatkan oleh ‘Ubadah bin Shamit menuturkan bahwasanya Rasulallah saw pernah menyatakan: “Orang-orang Sholeh dikalangan ini (umat Muhamad saw) berjumlah tiga puluh orang. (Mereka itu) seperti Khalilur-Rahman (orang yang amat dekat dengan Allah) ‘Azza wa Jalla. Bila seorang dari mereka wafat, Allah menggantikan pada kedudukannya dengan orang lain”. Hadits ini dikemukakan oleh Imam Ahmad bin Hanbal dengan rawi-rawi shohih. Al-“Ijli dan Abu Zar’ah menilainya sebagai hadits tsiqat (yang boleh dipercaya). Sedangkan selain dua orang ahli hadits ini menilainya lemah.

‘Ubadah bin As-Shamt menuturkan bahwa Rasulallah saw. menyatakan:
“Ditengah ummatku akan senantiasa terdapat tiga pulu orang yang karena mereka itu bumi ini tetap terbentang, karena mereka hujan masih turun dan karena mereka pula kalian beroleh pertolongan’”. Menanggapi pernyataan beliau itu Qatadah berkata: ‘Kuharap Al-Hasan termasuk diantara mereka’ .
Hadits-hadits yang semakna dengan berbeda teks diriwayatkan juga oleh Anas bin Malik ra dan Thabrani didalam Al-Ausath. Bahkan Abu Darda ra juga meriwayatkan bahwasanya Rasulallah saw menegaskan: “Barangsiapa mohon ampunan bagi kaum mu’minin pria dan wanita, duapuluh tujuh kali sehari, ia akan termasuk orang-orang yang dikabulkan permohonannya dan karena orang-orang seperti itulah Allah melimpahkan rizki kepada penghuni bumi”. Hadits ini diriwayatkan oleh Thabrani dan dinilainya sebagai hadits hasan/baik, demikian didalam Al-Jami’.

Allah swt mengaruniakan kemuliaan kepada suatu umat termasuk seorang Nabi yang berada ditengah mereka, demi kemaslahatan hidup seekor semut. Abu Hurairah ra. menuturkan bahwa ia mendengar Rasulallah saw pernah menceriterakan:
“Seorang Nabi pada zaman dahulu mengajak rombongan pengikutnya untuk mohon (kepada Allah) agar diturunkan hujan. Tiba-tiba ada seekor semut mengangkat beberapa kaki (depannya) kearah langit. Melihat hal itu Nabi tersebut memberitahu para pengikutnya; ‘Pulang sajalah kalian! Demi semut itu doa permohonan kalian telah dikabulkan”. (HR. Darquthni dalam Misykatul-Mashabih juz 1 hal. 478).

Demi kemaslahatan hidup seekor semut saja Allah swt berkenan mengabulkan permohonan suatu umat bersama nabinya dan menurunkan hujan, apa lagi dengan kemaslahatan hidup para auliya sholihin. Begitu juga apa salahnya jika dikatakan Allah menciptakan Adam as demi habibuna Muhammad saw? Sebagaimana diketahui, yang dimaksud Muhamad saw adalah dzat beliau, syari’at (agama) beliau dan risalah beliau saw yang bersifat menyeluruh (universal) lengkap dan sempurna.

Fatwa-fatwa para ulama tentang pengertian wali:
- Fatwa Ibnu Hajar Al-Haitami (Al-Fatawi Al-Haditsiyah, hal. 93 cet.Dar Al-Fikr) tentang ‘Tidak mungkin wali itu seorang yang bodoh dan ilmu syari’at hanya bisa didapat dengan belajar’:
“Ditanyakan kepada beliau (Ibnu Hajar) semoga Allah memberikan manfaat tentang arti ucapan para ulama; ‘Bahwa Allah tidak akan menjadikan wali yang bodoh dan jika seandainya dijadikan wali pasti diajarkan ilmu kepadanya’.
Beliau menjawab: ‘Pengertian dari perkataan diatas adalah bahwa sesungguhnya Allah itu akan melimpahkan karunia berupa ilham, taufik, pengalaman-pengalaman spiritual dan ilmu kasunyatan kepada wali-walinya, melebihi manusia lainnya, setelah mereka mengukuhkan hukum-hukum dhohir dan amal-amal yang ikhlas. Barangsiapa menyandang pangkat kewalian dimana kesempurnaannya tidak mungkin didapat kecuali syarat diatas, maka ia akan memperoleh ilmu-ilmu dan kema’rifatan seperti yang diterangkan diatas. Dengan demikian Allah tidak akan mengangkat wali yang bodoh mengenai hal-hal diatas. Dan seandainya Allah menjadikan atau memberikan derajat kewalian kepada para Auliya, niscaya ia akan diajari (diberi ilham) pengetahuan-pengetahuan (kema’rifatan- kema’rifatan) sehingga bisa menyamai yang lainnya.

Dapat diambil kesimpulan bahwa yang dimaksud bodoh disini adalah bodoh mengenai ilmu yang langsung diberikan Allah (ilmu laduni) dan pengalaman spiritual yang sempurna, bukan orang yang bodoh mengenai ilmu-ilmu syari’at dhohir yang memang wajib dipelajari. Karena orang yang seperti ini (bodoh ilmu syari’at) tidak akan bisa menjadi wali dan selama masih dalam kebodohan tidak akan dikehendaki mendapat pangkat kewalian. Namun ketika Allah menghendaki seseorang untuk menjadi wali, niscaya akan diberikan hasrat untuk mau mempelajari ilmu syari’at dhohir. Karena ilmu syari’at tidak bisa diajarkan melalui ilham. Dan ketika ia mempelajari ilmu dhohir dan memperkuat amal ibadahnya, maka akan mendapat limpahan ilmu-ilmu ghaib yang tidak bisa didapat dengan usaha dan kesungguhan. Dengan keterangan diatas maka bisa diketahui bahwa sesungguhnya ilmu syari’at itu tidak bisa diperoleh kecuali dengan pendidikan yang nyata”.

- Fatwa Syeikh Abu Utsman Al-Maghrobi (ibid) tentang Wali yang terkenal kewaliannya:
“Abu Utsman berkata:Wali itu terkadang masyhur, namun tidak menjadikan ia terfitnah atas kemasyhurannya. Justru kemasyhuran itu menjadi berkah bagi dirinya dan bagi orang lain”.

- Fatwa Syeikh Sa’id yang dinukil oleh Syeikh Ibnu Mudabighi (Sirojut-tholibin, Syeikh Ihsan bin Dahlan Al-Jampesi hal. 16, juz 1, cet.Al-Hidayah) tentang pengertian Wali:
“Auliya itu jamaknya Wali, yaitu orang yang ma’rifat terhadap Allah dan sifat-sifatnya dengan istiqomah, menjalani taat (perintah Allah), menjauhi larangan dan berpaling dari bujukan lezatnya dunia dan syahwat”.

- Fatwa Al-Yuusi (Syarh Kifayatul Awam, hal. 42) tentang Syarat-syarat seseorang bisa mencapai derajat wali:
“Al-Yuusi dengan mengutip pendapat sebagian A’immah (para imam) mengatakan;

Seseorang tidak bisa mencapai derajat wali, kecuali dengan empat syarat:
a). Mengetahui ushul ad-din, sehingga bisa membedakan antara pencipta dan makhluk yang diciptakan, juga antara Nabi dan orang yang mengaku menjadi Nabi.
b). Mengetahui hukum-hukum syari’at baik secara Naqli (nash) maupun dalam pemaham an dalil dengan perumpamaan, seandainya Allah mencabut ilmunya penduduk bumi, niscaya akan bisa ditemukan pada orang tersebut.
c). Mempunyai sifat-sifat terpuji . Seperti: wira’i dan ikhlas dalam setiap amal.
d). Selama-lamanya dalam keadaan takut , tidak pernah merasa tenang sekejap pun, karena ia merasa tidak tahu apakah tergolong orang-orang beruntung ataukah orang-orang celaka?

- Fatwa Syeikh Ihsan bin Dahlan (Sirojut Tholibin, Syeikh Ihsan bin Dahlan Al-Jampesi juz 1, hal.17) tentang Tanda-tanda seorang wali:
“Dikatakan bahwa tanda-tanda wali itu ada tiga: Selalu sibuk dengan Allah, lari kepada Allah dan tujuannya semata-mata hanya kepada Allah.

- Fatwa Abu Turob An-Nakhsya’i (ibid) tentang ‘Sifat Wali’ :
“Seperti yang dikomentarkan para ulama; bahwa kriteria seorang wali harus tidak mempunyai perasaan cemas. Karena perasaan cemas itu berasal dari penantian akan terjadinya sesuatu yang tidak disenangi pada masa-masa mendatang atau penyesalan akan hilangnya kesenangan pada masa-masa yang sudah lewat. Sedangkan Wali adalah anak waktu ia tidak pernah berandal-andal tentang masa-masa mendatang, juga tidak mempunyai rasa cemas dan tidak punya harapan. Karena yang namanya harapan adalah sebuah penantian akan tercapainya kesenangan atau akan hilangnya kesusah an”.

- Fatwa Abul Qosim (ibid) tentang ‘Khilafiyah ulama apakah seorang wali mengetahui bahwa dirinya wali’?:
“Abul Qasim berkata: ‘Para ulama berselisih pendapat, apakah seorang Wali mengetahui bahwa dirinya itu termasuk Wali? Sebagian ulama mengatakan tidak mengetahui, karena seorang Wali selalu memandang rendah dirinya. Dan jika nampak karomah pada diri mereka, justru menimbulkan rasa takut, jangan-jangan hal itu termasuk tipu daya setan. Dan sebagian Ulama mengatakan; seorang wali bisa mengetahui bahwa dirinya itu wali”.

- Fatwa Al-Imam As-Sayid Abdullah bin Alwi bin Muhamad Al-Haddad (Risalatul Mu’awanah hal.13,cet.Al-Hidayah) tentang ‘Orang-orang yang mempunyai Khowariqul adat namun perilakunya tidak sesuai dengan syari’at’ :
“Barangsiapa tidak bersungguh-sungguh berpegang dengan Al-Qur’an dan sunnah, juga tidak mengerahkan kemampuan untuk mengetahui jejak Rasul, kemudian dia mengaku mempunyai derajat tinggi dihadapan Allah, maka jangan sampai engkau berpaling kepadanya dan mengikutinya meskipun dia bisa terbang, berjalan diatas air, bisa meringkas jarak perjalanan atau mempunyai keanehan-keanehan lain. Karena peristiwa-peristiwa semacam itu bisa dilakukan setan, tukang sihir, juru ramal, orang-orang yang mengetahui keadaan yang samar dan para ahli perbintangan. Mereka (yang tidak berpegang pada Al-Qur’an dan sunnah Rasul) semua ini termasuk orang-orang yang sesat”.

- Fatwa Al-Imam As-Sayid Alwi bin Abbas Al-Maliki Al-Hasani (Majmu’u Fatawi wa Rosail, hal.200) tentang Ilham dan Firasat:
“Berkata para ‘Arifin: bahwa Ilham dan firasat dari orang yang amal-amalnya dijaga oleh Allah baik dhohir maupun bathinnya (para wali) bisa dibuat pegangan (dalil/hujjah). Sedangkan para Ushuliyyin ( ahli ushul fiqih) mengatakan: ‘Ilham atau firasat tidak bisa dibuat pegangan’. Pendapat kaum ushuliyyin ini diarahkan untuk ilham dan firasat dari selain orang-orang yang telah disebutkan diatas (yakni orang yang terjaga amalnya) dan keluar dari kaidah-kaidah firasat yang dibenarkan menurut syari’at. Hal itu bisa diketahui dengan tanda-tanda dan pembuktian”.

- Fatwa Abi Bakr Al-Kattani (Karomatul Auliya’, Muqodimah, Yusuf bin Ismail An-Nabhani) tentang ‘Derajat para wali dan tempat tinggalnya’:
“Disebutkan dalam kitab tarikhnya Imam Khotib, dari Abi Bakar Al-Kattani. Beliau berkata: ‘Bahwa Wali Nuqoba’ berjumlah tiga ratus. Wali Nujaba’ berjumlah tujuh puluh. Wali Abdal berjumlah empat puluh. Wali Akhyar ada tujuh. Wali ‘Amd ada empat dan Wali Ghouts ada satu. Tempat tinggal wali Nuqoba’ dinegeri maghribi (maroko), Wali Nujaba’ di Mesir, Wali Abdal di Syam (syria), Wali Akhyar berkelana diatas bumi. Wali ‘Amd berada diempat penjuru bumi dan Wali Ghouts berdiam di Mekkah”.

- Fatwa Yusuf An-Nabhani (Ibid) tentang ‘Pengertian Wali Qutb’ :
“Diantara auliya itu ada yang disebut dengan istilah wali-wali qutb (aqthob), mereka adalah wali-wali yang menguasai segenap ahwaal dan maqomaat (tahapan-tahapan dan pengalaman spiritual dalam dunia tashawwuf). Wali yang mempunyai derajat ini (Qutb) hanya ada satu pada setiap zaman. Wali Qutb juga disebut wali Ghouts. Wali Qutb termasuk golongan muqorrobin dan sekaligus menjadi pemimpin mereka. Wali-wali qutb ini ada yang menguasai pemerintahan dhohir dan juga pemerintahan bathin seperti Abubakar (as-shiddiq), Umar (bin khattab), Utsman (bin ‘affan), Ali (bin abi Thalib), Hasan (bin Ali bin Abi Thalib), Muawiyah bin Yazid dan (khalifah) Umar bin Abdul Aziz. Kemudian juga ada yang menguasai khilafah batin saja seperti Ahmad bin Harun Ar-Rosyid as-Sibti, Abi Yazid Al-Basytomi. Kebanyakan dari wali-wali Qutb ini tidak menguasai pemerintahan dhohir”.

- Fatwa Syeikh Ali Al-Kowash (Rosail Ibnu ‘Abidin juz II,hal. 274) tentang ‘Wali Qutb sebagai poros alam dan segala ahwalnya’:
“Keterangan terdahulu telah menjelaskan bahwa Wali Qutb bermukim di Mekkah atau Yaman. Kelihatannya keterangan ini memandang pada sebagian waktu saja atau memandang pada kebanyakan waktunya (tidak terus-terusan berada di Mekkah atau Yaman). Hal ini dikuatkan oleh keterangan yang dikutip oleh Al-Imam Al-Arif Sayidi Abd.Wahhab Asy-Sya’roni dari gurunya Al-Arif dzil Imdad Ar-Robbani sayyidi Al Al-Khowaash. Dimana Asy-Sya’roni mengatakan didalam kitabnya yang berjudul Al-jawahir wa ad-durar: ‘Aku pernah bertanya kepada guruk Rodhiyallahu anhu, apakah wali Qutb, Ghouts selalu bermukim di Mekkah?, seperti yang sering dikomentarkan para ulama’.
Guruku menjawab: ‘Bahwa hatinya seorang wali Qutb selalu bertawaf mengelilingi Hadratillah dan tidak pernah lepas darinya seperti halnya manusia bertawaf mengelilingi Baitul Haram. Wali Qutb selalu syuhud pada dzat yang Maha Haq dalam segala arah dan dari segala arahdan tidak berarti yang Maha Haq itu bersemayam pada dirinya!! Seperti halnya ketika manusia itu melakukan thawaf mengelilingin Ka’bah sungguh Allah swt. itu punya sifat yang Maha Tinggi!! Selain itu seorang wali Qutb selalu menghadang apa yang diberikan Allah swt untuk para makhluk-Nya, baik berupa bencana maupun berbagai macam pertolongan (menjadi perantara). Wali Qutb selalu merasakan sakit kepala bukan kepalang, karena beratnya beban yang ia terima. Sedangkan Raqanya tidak harus berada di Mekkah saja”.

- Fatwa Syeikh Ali Al-Khowaash (dalam Rosaail Ibnu Abidin juz II hal.275-276) tentang ‘wali Qutb yang selalu tersembunyi’ :
“Sungguh engkau telah mengetahui dari keterangan yang telah lewat, bahwa sesungguhnya seorang wali Qutb selalu menyembunyikan diri dari kebanyakan manusia, tidak ada yang pernah melihat kecuali orang-orang tertentu. Karena besarnya beban yang ditanggung, yang datang silih berganti dan juga beratnya muatan musibah yang tidak akan mampu disandang para makhluk dan juga karena agungnya wibawa dan ketenangan yang dianugerahkan Allah swt. kepadanya, maka hampir-hampir tidak ada mata yang menangkapnya. Imam Asy-Sya’roni memberikan penjelasan secara gambling didalam kitabnya beliau mengatakan bahwa gurunya (Ali Al-Khowash) ra pernah mengatakan; ‘kebanyakan Auliya tidak pernah bisa ketemu dengan wali Qutb dan juga tidak mengenalnya. Apalagi untuk selain mereka, sebab keadaan wali Qutb tersembunyi. Seandainya wali Qutb itu menampakkan diri, niscaya tak seorangpun mampu mengangkat kepalanya ketika berada dihadapannya. Kecuali orang-orang yang diberi keistemewaan, untuk berjumpa dengannya”.

- Tentang Para Wali A’Immah (Ibid): “Diantara para Wali itu ada yang disebut dengan istilah Wali-wali A’immah. Setiap zaman tidak lebih dari dua, yang satu berjuluk Abdur Robbi, yang lain berjuluk Abul Malik, sedangkan wali qutb berjuluk Abdullah. Dua wali Aimmah ini akan menggantikan kedudukan wali Qutb yang wafat. Salah satu diantara mata hatinya hanya tertambat dialam malakut sedangkan yang lainnya menyaksikan alam dunia”.

- Syeikh Ihsan bin Dahlan dalam Siroj Ath-Tholibin juz. II hal. 426 mengatakan: “Bahwa semua ilmu para Aimmah (para Imam) mujtahidin merupakan ilmu Al-Mukasyafah (ilmu laduni). Hanya saja mereka itu pandai sekali mengungkapkan kasynya dalam kata-kata yang mudah dipahami oleh orang-orang awam”.

- Fatwa Ibnu Hajar (Al-Fatawi Al-Haditsiyah hal.232) tentang ‘kedudukan Asy-Syafi’i sebagai Wali Autad dan sempat menjabat sebagai wali Qutb sebelum wafat’:
“Imam Ahmad (bin Hanbal) ra berkata: ‘Kalau bukan ahli Hadits siapa lagi mereka (para wali Abdal) itu’. Yang dimaksud ahli hadits adalah orang-orang yang pengetahuannya menyamai para ahli hadits. Yaitu orang-orang menguasai ilmu dhohir dan ilmu bathin dan juga sangat menguasai hukum-hukum syari’at, hikmah, ma’rifat dan rahasia-rahasia kehidupan. Mereka itu seperti Asy-Syafi’i, Imam Malik, Abu Hanifah, Ahmad bin Hanbal dan orang-orang yang menyamainya. Mereka itu termasuk pilihan dari para wali Abdal, Nujaba’ dan Autad. Untuk itu hindarilah persangkaan yang buruk tentang mereka, jangan sampai tergoda setan dan orang-orang yang dikuasainya sehingga tidak mendapat cahaya Hidayah, dimana mereka berpendapat bahwa para imam Mujtahid tidak mencapai tingkatan ini. Sungguh para ulama telah sepakat bahwa Asy-Syafi’i ra termasuk golongan wali Autad. Dan menurut satu riwayat beliau menjabat sebagai wali Qutb sebelum wafatnya. Demikian ini keterangan yang diperolah dari sebagian fuqoha yang menjadi pengikut beliau, seperti An-Nawawi atau yang lainnya”.

- Fatwa Yusuf An-Nabhani (ibid) tentang ‘Wali Autad’: “Diantara para wali itu ada yang disebut Wali Autad. Pada setiap zaman hanya ada empat, tidak lebih dan tidak kurang. Mereka berjuluk Abdul Hayyi, Abdul Alin, Abdul Qadir dan Abdul Murid”.

- Fatwa Syeik Akbar (Sirojut-Tolibin Syeikh Ihsan Bin Dahlan Al-Jampesi, juz.1 hal. 263, cet.Al-Hidayah) tentang ‘para wali Autad’:
“Wali Autad ialah: ‘Wali yang digunakan Allah untuk menjaga alam ini, mereka berjumlah empat dan mereka lebih khusus dari Abdal.
Wali Abdal: Diantara para wali itu ada yang disebut wali Abdal mereka berjumlah tujuh orang tidak kurang dan tidak lebih. Mereka ditugaskan Allah untuk menjaga tujuh kawasan. Setiap orang menguasai satu wilayah.(Karomatul Auliya, Muqoddimah, An-Nabhani)
Ciri-ciri wali Abdal: “Sebagian ulama berkata; cirri-ciri wali itu tidak mempunyai anak” (Sirojut-Tholibin, syeikh Ihsan bin Dahlan Al-Jampesi juz 1, hal. 262)

- Fatwa Imam Ahmad (bin Hanbal): Beliau berkata; Wali-wali Abdal itu siapa lagi kalau bukan ahli hadits” (ibid).

- Menurut Abu Darda (ibid): “Wali abdal adalah para kholifah Nabi. Mereka adalah tiang-tiang bumi, ketika derajat kenabian sirna (dicabut), maka Allah menggantikan dengan segolongan dari umat Muhamad saw. Mereka mendapat keistemewaan ini bukan karena banyak berpuasa atau sholat atau karena melakukan amal-amal dzikir, namun hanya dengan bersungguh-sungguh dalam wira’i, baiknya/tulusnya niat, lapang dada kepada kaum muslimin, memberi nasehat kepada mereka dengan mengharap ridho Allah swt dengan disertai kesabaran bukan karena takut dan tawadhu’ tanpa merendah kan martabat” .

- Wali Nuqaba: “Diantara para wali itu ada yang disebut Wali Nuqaba, mereka berjumlah dua belas orang pada setiap zamannya tidak lebih dan tidak kurang. Jumlah ini sesuai dengan jumlah kumpulan bintang-bintang dicakrawala. Karena masing-masing dari wali nuqoba’ menguasai rahasia-rahasia dari kumpulan bintang-bintang itu” (Karomatul Auliya’, Muqoddimah, An-Nabhani).

Siapakah Syeikh Siti Jenar?
Riwayat hidup singkat sembilan wali yang telah kami utarakan (silahkan rujuk bab sebelas diwebsite ini), dalam perjuangan dan kegiatan mereka untuk menyebarkan agama Islam di Indonesia –khususnya dipulau Jawa- bukan tanpa menghadapi kendala dan rintangan. Rintangan tersebut tidak semata-mata datang dari pihak kelompok-kelompok penganut animisme (kaum penyembah roh-roh), para penyembah dewa-dewa dan berhala saja, melainkan juga datang dari oknum-oknum yang disatu pihak mereka tidak mempercayai ajaran Hinduisme dan Budhisme, tetapi dilain pihak mereka juga menolak agama Islam. Mungkin mereka itu penganut sisa ajaran kepercayaan sebelum kedatangan Hinduisme dan Budhisme dipulau Jawa. Tegasnya ialah mereka yang sedang mencari-cari kepercayaan yang dianggap dapat memenuhi selera dan jalan pikiran sendiri. Menurut Dr.P.J.Zoetmulder S.J Pantheisme en Monisme hal. 350-351, Wali Songo oleh K.H.R. Abdullah bin Nuh dan Sekitar Wali Songo oleh Solichin Salam, mereka adalah sekelompok orang penganut paham Pantheisme, yaitu suatu paham yang memandang bahwa Tuhan dalam wujud adalah suatu kesatuan (Wahdatul-Wujud).

Ada sementara orang yang berpendapat bahwa pelopor paham tersebut (Pantheisme) Syeikh Siti Jenar, termasuk dalam jajaran para wali di Jawa. Kemudian karena Syeikh Jenar menyebarkan mistisisme yang menyesatkan dan sangat jauh menyimpang dari segi agama Islam, ia dikeluarkan dari jajaran para wali, dikucilkan kemudian dilarang berdakwah dan pada akhirnya dia dijatuhi hukuman mati.

Pendapat yang lain mengatakan, jika benar Siti Jenar itu dalam jajaran para wali, sudah pasti ia termasuk dalam kelompok sembilan orang wali di Jawa (mengenai riwayat Wali Songo dan ajarannya silahkan rujuk bab 11 kemuliaan keturunan Rasulallah saw).
Hampir penulis sejarah berpendapat bahwa nama Siti Jenar adalah nama samaran/ julukan bukan nama sesungguhnya. Seperti Sunan Kalijaga yang dikenal dengan nama samaran Syeikh Malaya dan masih banyak contoh lainnya.

Ada lagi riwayat yang tidak menggolongkan Syeik Siti Jenar didalam kelompok atau jajaran para wali. Sebab orang mukmin dan muslim yang telah beroleh sebutan ‘Wali’ atau ‘Waliyullah’, ia pasti seorang yang telah mencapai martabat takwa yang tinggi, dan orang sedemikian itu tidak mungkin meleset jauh dari syariat seperti yang dilakukan Syeikh Siti Jenar. Kalau ditinjau dari soal yang terpokok dan terpenting dalam agama Islam ,yakni soal akidah, Syeikh Siti Jenar sama sekali tidak dapat dipandang sebagai Muslim atau Mukmin. Tidak ada orang beriman atau pemeluk Islam yang menyatakan bahwa Tuhan manunggal (menyatu) dengan dirinya atau dengan makhluk ciptaan-Nya.

Para wali yang menyebarkan agama Islam di Indonesia ,di Jawa khususnya, mengajarkan prinsip akidah sebagaimana yang menjadi keyakinan semua kaum muslimin, yaitu bahwa Allah bersifat wajibul-wujud, Maha Pencipta…dan seterusnya. Sedangkan Syeikh Siti Jenar (terkenal juga dengan nama Syeikh Lemah Agung) menyatakan dan mengajarkan kepada pengikutnya: “Aku inilah Allah. Aku sesungguhnya yang bernama Prabu Satmata (atau Hyang Manon) dan tiada yang lain dengan nama Ketuhanan”. Dia mengatakan:

“Awit Seh Lemah Bang iku,
Wajahing Pangeran jati,
Nadyan sira ngaturana,
Ing Pangeran kang sejati,
Lamun Seh Lemah Bang ora,
Mangsa kalakon yekti”.

Artinya ucapan tersebut : “Oleh karena Syeikh Siti Jenar (Syeikh Lemah Bang/abang) itu sesungguhnya wajah wujud Tuhan sejati. Meskipun engkau menghadap kepada Tuhan yang sejati, tetapi jika Siti Jenar tidak, maka hal itu tidak akan terlaksana”.
Syeikh Siti Jenar membantah ajaran akidah Wajibul Wujud yang diberikan oleh para Wali kepada kaum muslimin. Siti Jenar berkata:

“Aja na kakehan semu,
Iya ingsun iki Allah,
Nyata, Ingsun kang sejati,
Jejuluk Prabu Satmata,
Tan ana liyan jatine,
Ingkang aran bangsa Allah”.

Artinya: “Jangan kebanyakan semu, saya inilah Allah. Saya sebetulnya bernama Prabu Satmata, dan tiada yang lain bernama Ketuhanan”.
Ajaran-ajaran Siti Jenar dan ucapan-ucapannya seperti itu jelas menyesatkan dan membahayakan pikiran kaum muslimin dipula Jawa yang pada umumnya waktu itu masih pada taraf pertumbuhan (sekitar wali songo oleh Solichin Salam).
Mengingat paham Siti Jenar yang jauh itu dan mengingat bahaya-bahayanya, yang akan merusak kesucian agama Islam maka didalam suatu pertemuan khusus para sembilan wali (wali songo) dengan bulat memutuskan hukuman mati terhadap Siti Jenar.

Diriwayatkan juga bahwa diantara para pengikut Syeikh Siti Jenar yang terkemuka ialah: Ki Ageng Tingkir, Ki Ageng Pengging, Pangeran Panggung dan Ki Lontang.

Sementara kalangan menganggap Syeikh Siti Jenar sebagai ‘Ahlul Bid’ah’ karena kesalahan-kesalahan dalam mempelajari dan mengamalkan ilmu Tasawwuf. Kalau melihat paham dan ajaran-ajarannya, Siti Jenar sudah lebih jauh dari Ahlul-Bid’ah, Karena dia sudah temasuk golongan yang mengingkari keberadaan Allah dengan sifat-Nya Wajibul-Wujud. Bahkan Siti Jenar menyebut dirinya Allah, karena beranggapan bahwa Allah satu dengan dirinya.
Untuk lebih jelas lagi sejauh mana paham Siti Jenar alias Seh Lemah Abang itu, kita dapat membaca sebuah buku klasik yang berjudul Widya Poestaka (Zoet Mulder S.J.Dr.P.J.:Phantheisme en Monisme hal.350-351; Ringkasan sejarah Wali Songo oleh K.H.R. Abdullah bin Nuh). Pada halaman 21 dibuku tersebut, murid terkemuka Seh Lemah Abang yang bernama Ki Ageng Pengging mengatakan sebagai berikut:

“Kyageng Pengging tan rininga,
Angengkoki Jatining Maha Suci,
Allah kana-kene suwung,
Jatine among asma,
Asmaning manungsa ingkang linuhung,
Mengku sifat kalihdasa,
Agama Budha Islam iku,
Karone ora beda
Warno roro asmane mung sawiji”.

Artinya: Ki Ageng Pengging tanpa ragu mempertahankan pendirian: Allah Yang Maha Suci disana-sini kosong (nonsense). Allah sesungguhnya hanyalah nama, yaitu nama dari manusia yang maha luhur, mempunyai sifat dua puluh. Agama Budha dan Islam itu kedua-duanya tidak berbeda, berdua warna bentuknya tetapi hakekatnya hanya satu”.

Dari ajaran Siti Jenar tersebut diketahui, bahwa menurut ajarannya yang disebut Allah adalah nonsense (kosong, tidak ada), ‘Allah’, hanya nama manusia maha luhur. Kalimat terselubung itu menunjuk kepada Sidharta Budha Gautama. Oleh karena itu pada akhirnya dia menyamakan agama Budha dengan agama Islam, hanya berbeda nama tetapi hakekatnya satu jua. Dengan demikian ajaran semacam itu sudah lebih jauh dari ‘bid’ah’, bahkan jelas merupakan ajaran ilhad (atheisme). Karenanya, tidak aneh jika ia memandang agama Islam sama dengan agama Budha. Bahkan mungkin ia memandang semua agama itu sama.

Pemikiran Siti Jenar mengenai surga dan neraka, dapat kita temukan didalam buku Widya Poestaka halaman 28. Siti Jenar mengatakan:

“Neraka miwah swarga di,
begja kalawan cilaka,
gumelar ing ngalam pati,
ya ngalam donya iki”.

“Swarga neraka sami,
nora langgeng bisa lebur,
dene dunung ira,
among neng tyase pribadi,
seneng pareng iku ingkang aran swarga”.

Artinya: “Neraka dan sorga indah, bahagia dan celaka, tergelar dialam mati, yakni alam dunia ini. Sorga neraka itu keduanya tidak kekal dan dapat lenyap. Adapun letaknya hanya didalam rasa hati masing-masing pribadi (orang). Senang puas itulah sorga”.

Beberapa kutipan tersebut diatas diambil dari makalah yang ditulis oleh Dr.Widji Saksono didalam majalah “Al-Jami’ah nomer 4-5 tahun I, bulan april-mei 1962, dibawah judul ‘Fragmenta Seh Lemah Abang’”.

Sebagai praktek peribadatan menurut ajaran Seh Lemah Abang yang dilakukan dan dituturkan oleh salah seorang muridnya yang terkemuka Ki (Lebe) Lontang, sebagai berikut:

“25...adikir ojrat ripangi
“26 Tinggalero gujeng junun,
Sadaya buka pribadi,
Jalwestri atutup muka,
Pambukaning roh idhopi.

“27 Samya aru pengujeripun,
wang weng gedeg gobag-gabig,
manthuk krep neratek nyengka,
napas winotan ing dikir,
sewu kalimah senapas,
keh unen-unen ing dikir.

“28 La ialahi illahu,
hailallah illallahi,
weneh Allah…Allah,
kang hu hu hu hu hi hi hi hi ,
eeiiaa,
la la la la la hak hik hak hik.

“29 Sareng panarima junun,
ting karingkelan gulinting,
saujur-ujure niba,
wor jaler lan estri,
sundul bantal-binantal,
tan ana walang asisik.

“30 Sesangat denira kantu,
denya kalenger tan eling,
wus dangu antaranira,
kang sami ya pada birahi,
tangi saking pejununan.

Artinya :

“26 Hiruk pikuk berputaran bermabukan,
semua buka pakaian dari sekujur badan,
lelaki wanita bertutup muka,
pembuka roh idhopi (idhafi)
“27 Semakin meninggi hiruk pikuknya,
wang weng geleng kepala berputar-putar,
manggut kebawah mendongak keatas gemetar,
napas bersengal mendengus bercampur suara dikir,
seribu kalimat keluar serentak dengusan napas,
maka membanyaklah derunya dikir.

“28 (Lihat teks atau kalimat aslinya dalam bahasa Jawa)

“29 Setelah sampai puncak jununnya,
rebah bergelimpangan berkeleleran,
bercampur baur lelaki perempuan,
bertumpuk-tumpuk terlena tanpa sadar,
dalam suasana tiada suara berbisik.
“30 Sesaat mereka terlena, pingsan,
dalam keadaan hilang ingatan,
lama nian masa berlalu,
semua tenggelam didalam fana,
fana dalam birahi barulah sadar kembali.

Sekarang kita ingin bertanya apakah ajaran keagamaan –baik dalam hal keyakinan maupun dalam hal peribadatan- seperti tersebut diatas dapat ditolerir oleh Islam dan kaum muslimin ? Apakah masih ada yang hendak mengatakan bahwa ajaran Siti Lemah Abang itu sama dengan aliran Sufisme? Karena aliran Sufisme itu tidak sama dengan aliran Siti Jenar!
Ajaran Siti Jenar juga jelas bertentangan dengan ajaran para Wali yang mendakwahkan agama Islam di Jawa khususnya dan kepulauan Indonesia pada umumnya. Para wali ini mengajarkan dan menyebarkan akidah yang lurus menurut Kitabullah Al-Qur’an dan Sunnah Rasulallah saw. Dalam soal-soal furu’ hukum syariat (fiqih) mereka berpegang pada madzhab Imam Syafi’i. Sedangkan dalam hal tasawwuf mereka mengikuti tasawuf Imam Ghozali, yaitu mengolah kesucian bathin dalam mendekatkan diri kepada Al-Khaliq, tanpa meremehkan sedikitpun soal-soal syari’at.

Dari dua segi itu saja sudah tampak jelas sejauh mana penyelewengan dan kesesatan ajaran Syeikh Siti Jenar. Apabila kita perhatikan sedikit saja soal peribadatan (dzikir) yang diajarkan olehnya –menurut penuturan muridnya yang kenamaan Ki (Lebe) Lontang- seperti yang telah kami kemukakan tadi, jauh nian dapat disebut sebagai dzikir. Dengan berkedok kaling agung Laa ilaaha illallah melakukan upacara-upacara yang porno. Bukankah yang dinamakan Dikir Ojrat Ripangi itu pada hakikatnya adalah Perzinaan masal atau Perzinaan kolektif?

Berbicara mengenai praktek seperti tersebut diatas, mengingatkan kita suatu peristiwa yang terjadi pada tahun 60-an disuatu tempat di Jawa Barat. Seorang penyebar agama Islam Hakeko bersama beberapa orang muridnya mempraktekkan peribadatan seperti yang dituturkan oleh Ki (Lebe) Lontang. Berkat kewaspadaan masyarakat dan kesiagapan alat-alat Negara mereka digrebeg dan dimintai pertanggungjawaban. Kita tidak dapat memastikan apakah mereka itu sisa-sisa penganut ajaran Siti jenar atau bukan. Yang kita ketahui adalah bahwa peristiwa tersebut diketahui oleh masyarakat luas melalui berita di masa media. Dalam abad ke 16 M ,yakni zaman kekosongan para wali, di Jawa masih berdiri beberapa kerajaan atau kesultanan Islam. Yang terpenting diantaranya adalah Kerajaan Mataram, Kesultanan Banten dan Kesultanan Cirebon. Sedangkan kerajaan Bintoro Demak telah kehilangan peranannya, karena kelemahannya terus-menerus akibat rongrongan dari dalam maupun dari luar. Dengan berkurangnya da’i dan muballigh yang hebat seperti para wali dimasa lalu, agama Islam di Jawa Tengah agak mengalami gangguan. Kaum muslimim dari lapisan atas mulai memasukkan pikiran-pikiran filsafat kedalam agama Islam, khususnya pikiran falsafat peninggalan masa sebelum Islam.

Akibat pencampuradukan pikiran falsafat dengan agama, pada gilirannya muncullah sejumlah orang Muslimin yang berpikir bahwa yang terpenting didalam ajaran semua agama hanyalah; Kesadaran mengenal dan senantiasa ingat kepada Tuhan. Mengenai ajaran-ajaran lainnya yang ada pada semua agama, semuanya itu dipandang oleh golongan ini sebagai nomer dua.
Orang-orang yang berpikir seperti itu makin lama makin hilang kepercayaannya mengenai wahyu Ilahi yang diturunkan kepada para Nabi, termasuk Nabi Muhammad saw, dan mereka berpikiran bahwa masalah ibadah bukan suatu hal yang harus ditunaikan. Pikiran mereka ini ,walaupun tidak sepenuhnya sama, hampir serupa dengan pemikiran Sultan Akbar di India, raja ketiga dari dinasti yang didirikan oleh Baber. Pikiran yang menjadi ciri khas dan menguasai diri Sultan ini ialah bahwa ajaran Islam dan agama-agama lainnya tidak harus dipegang teguh dan tidak harus dilaksanakan (“Islam” karangan Henri Masse ,seorang bangsa Perancis, ahli sejarah ketimuran.Collin,1930. “Sejarah Islam dari Andalus sampai Indus” disusun oleh Muhamad Thohir, penerbit Pustaka Jaya, Jakarta). Kendati berpikir demikian mereka itu tetap mengakui Islam sebagai agamanya.

Lain halnya kaum muslimin di Jawa Barat ,dikawasan masa kesultanan Banten dan kesultanan Cirebon, yang pada masa itu secara praktis telah mengambil alih peranan Bintoro Demak. Dari tahun 1524 hingga tahun 1568 M kesultanan Banten merupakan bagian dari kesultanan Demak. Akan tetapi dari tahun 1568 hingga 1752 M Banten berdiri sendiri sebagai kesultanan. Hal itu disebabkan oleh kelemahan Demak yang terus merosot sepeninggal Sultan Trenggono. Dari tahun 1752 hingga 1832 M kesultanan Banten berjuang keras membebaskan dri dari belenggu kolonialisme Belanda. Dalam kurun waktu tersebut Banten berdiri sebagai pembela agama Islam dan menjadi salah satu mata rantai penting dalam perjuangan mempertahankan agama Islam Indonesia. Kesultanan Banten ini tidak mengalami rongrongan dari dalam seperti halnya Demak. Yaitu rongrongan dari orang-orang yang masih merindukan kepercayaan lama semasa kejayaan Hinduisme dan Budhisme dipulau Jawa. Banten hanya menghadapi satu musuh dari luar yaitu kekuatan kolonialisme Portugis yang hendak menancapkan penjajahannya di Sunda Kelapa. Meskipun Jawa Barat pernah juga dikuasai oleh raja Pejajaran (raja Hindu), tetapi setelah kerajaan Hindu itu runtuh, agama Islam meluas dengan cepat dan lebih berakar dikalangan rakyat. Demikian sekelumit mengenai sejarah ajaran dan pengikut Syeikh Siti Jenar.

Berjabatan tangan antara lelaki dan wanita yang bukan muhrim
Sebuah persoalan yang sering dihadapi oleh kaum muslimin zaman sekarang yaitu masalah berjabatan tangan antara laki-laki dengan wanita yang bukan muhrim, khususnya terhadap kerabat sendiri yang bukan muhrimnya, seperti anak paman atau anak bibi (saudara misan/sepupu), semenda (besan), istri paman atau suami bibi, saudara wanita dari isteri (ipar) atau saudara lelaki dari suami (ipar) atau wanita-wanita lainnya ,yang bukan muhrim, yang masih ada hubungan kekerabatan.Lebih-lebih dalam waktu-waktu tertentu, seperti datang dari bepergian, sembuh dari sakit, datang dari haji atau umrah, atau saat-saat lainnya yang biasanya para kerabat, semenda, tetangga, dan teman-teman lantas menemuinya dan bertahni'ah (mengucapkan selamat atasnya) dan berjabat tangan antara yang satu dengan yang lain, malah ada lagi yang berpeluk-pelukan atau peluk cium. Sedangkan kalau kita tidak mau berjabat tangan atau berpeluk-pelukan, maka mereka memandang kita sebagai seorang beragama yang kuno, terlalu ketat, tidak saling menghargai, merendahkan wanita, tidak sopan, selalu berprasangka buruk dan sebagainya dan sebagainya. Berjabatan tangan sesama jenisnya itu memang dianjurkan oleh syari’at, karena banyak riwayat hadits yang menyebutkan para sahabat bila bertemu sering berjabatan tangan. Anjuran agama ini berlaku untuk sesama jenisnya yaitu lelaki dengan lelaki dan wanita dengan wanita atau dengan sesama muhrimnya, jadi bukan antara lelaki dan wanita yang bukan muhrim ! Orang mengira bahwa bila kita tidak berjabat-tangan dengan yang bukan muhrim berarti kurang sopan atau tidak saling menghargai, padahal keramah an dan kesopanan yang dimaksud oleh syari’at Islam bukanlah terletak pada jabatan tangan antara wanita dan lelaki yang bukan muhrim. Kita sebenarnya juga tidak perlu bingung dengan kritikan orang lain (kolot, kurang sopan dll) mengenai amalan kita, karena kritikan ini tidak ada habis-habisnya, yang penting sebagai seorang muslim atau muslimah ialah sebaik mungkin menjalani perintah Allah swt. dan Rasul-Nya dan menjauhi larangan yang telah digariskan oleh syari’at Islam.

Bagaimana bila kondisinya darurat ?
Islam memang mengenal darurat yang akan meringankan suatu hukum. Ada kaidah Idzaa dhoogal amr ittasi’ (jika kondisi sulit, maka Islam memberikan kemudahan dan kelonggaran). Bahkan Kaedah lain menyebutkan: ‘Kondisi darurat menjadikan sesuatu yang haram menjadi mubah’. Namun darurat itu bukan sesuatu yang bersifat rutin dan gampang dilaku kan! Umumnya darurat baru dijadikan pilihan manakala memang kondisinya akan menjadi kritis dan tidak ada alternatif lain. Itu pun masih diiringi dengan resiko fitnah dan sebagainya. Sekarang kita bertanya sendiri apakah ber- jabatan tangan antara muslim-muslimah yang bukan muhrim termasuk darurat ? Sudah tentu tidak !Sebelum kami mengutip dan mengumpulkan makalah-makalah yang kami anggap penting untuk diketahui yang ditulis oleh para ulama pakar diantaranya banyak tercantum juga di internet/website mengenai dalil berjabatan tangan antara bukan muhrim ingin memberitahukan bahwa dalil-dalil syara’ yang berkaitan pengharaman jabat tangan dengan ajnabiyah (wanita bukan muhrim) adalah jauh lebih banyak daripada dalil yang memperbolehkannya.

Dalil yang memperbolehkannya pun belum mutlak tetapi masih mempunyai syarat-syarat tertentu,umpamanya:
Pertama: Berjabat tangan antara laki-laki dan perempuan itu hanya diperbolehkan apabila tidak disertai dengan syahwat serta aman dari fitnah. Apabila dikhawatirkan terjadi fitnah terhadap salah satunya, atau disertai syahwat dan taladzdzudz (berlezat-lezat) dari salah satu pihak (apalagi keduanya; penj.) maka keharaman berjabatan tangan tidak diragukan lagi.
Bahkan seandainya kedua syarat itu tidak terpenuhi yaitu tiadanya syahwat dan aman dari fitnahmeskipun jabatan tangan itu antara seseorang dengan muhrimnya seperti bibinya, saudara sesusuan, anak tirinya, ibu tirinya, mertuanya atau lainnya, maka berjabatan tangan pada kondisi seperti itu adalah haram. Bahkan berjabat tangan dengan anak yang masih kecilpun hukumnya juga haram jika kedua syarat itu tidak terpenuhi!
Kedua: Hendaklah berjabat tangan itu sebatas ada kebutuhan (keperluan) saja, seperti yang disebutkan dalam pertanyaan diatas, yaitu dengan kerabat atau semenda (besan) yang terjadi hubungan erat dan akrab diantara mereka, dan tidak baik hal ini diperluas kepada orang lain, demi membendung pintu kerusakan, menjauhi syubhat, mengambil sikap hati-hati dan meneladani sikap Nabi saw. Dan yang lebih utama bagi seorang muslim atau muslimah yang komitmen pada agamanya ialah tidak memulai berjabat tangan dengan lain jenis!

Demikianlah sebagian syarat yang diajukan oleh golongan yang membolehkannya. Syarat-syarat itu cukup berat bagi orang yang mau memahaminya, karena sentuhan anggota badan ke anggota badan yang lain lebih kuat dan besar pengaruhnya terhadap naluri, watak dan lebih dahsyat mengajak kepada fitnah daripada sekedar memandang dengan mata. Apakah kita yakin bahwa syahwat dan fitnah tidak akan muncul dari diri saudara dan saudari tersebut? Tetapi sayangnya orang hanya mengamalkan pemboleh- annya saja tetapi mengabaikan syarat-syaratnya !

Ada lagi orang yang mengatakan; yang penting niat kita karena ada hadits yang mengatakan bahwa ‘segala sesuatu amalan itu tergantung dari niatnya...’ Padahal hadits itu tidak berlaku untuk sesuatu amalan yang sudah digariskan dalam syari’at Islam atas kewajibannya ataupun larangannya, maksudnya ialah bila sudah ada perintah dan larangan dalam syari’at Islam, maka kita tidak boleh melanggarnya walaupun niat kita baik untuk amalan tersebut. Saya akan berikan contoh yang mudah saja: Syari’at Islam memerintahkan kita agar sholat dimulai dengan ucapan takbir dan di akhiri dengan salam. Bila ada orang yang sholat tanpa memulai dengan ucapan takbir maka sholatnya batal/tidak sah harus diulangi, walaupun orang itu sudah berniat untuk sholat. Contohnya lagi Sholat Shubuh dalam syari’at Islam jumlahnya dua raka’at. Ada orang yang sengaja ingin menambah kebaikan maka dia sholat Shubuh tiga raka’at. Maka sholatnya orang itu batal dan tidak sah, walaupun niatnya dia baik yaitu lebih banyak beribadah kepada Allah swt.!! Lain halnya dengan amalan-amalan yang tidak diwajib- kan atau dilarang oleh syari’at Islam (baca bab bid’ah dalam buku ini).

Banyak para ulama yang mengatakan bahwa dalil atau hukum yang ber kaitan dengan larangan itu harus lebih didahulukan daripada hukum yang membolehkannya. Begitu juga sebagian besar ulama baik zaman dahulu maupun sekarang tidak melakukan berjabatan tangan dengan wanita yang bukan muhrimnya. Tidak lain para ulama pakar ini memahami makna ayat-ayat ilahi dan hadits-hadits yang berkaitan dengan etika cara berhubungan antara lelaki dan wanita yang bukan muhrimnya.

Tujuan kami untuk mengutip masalah jabat tangan ini tidak lain agar kita tidak marah, mencela atau bersangka buruk kepada orang muslimin yang tidak mau berjabatan tangan (umpama hanya dengan mengatupkan telapak tangannya sendiri atau meletakkan tangannya didada dan semisalnya) dengan orang yang bukan muhrimnya. Tidak lain mereka ini juga mengikuti perintah Allah swt. dan sunnah Rasulallah saw. Karena didalam praktek sehari-hari masih ada orang yang memaksa teman atau kerabatnya yang bukan muhrim untuk berjabatan tangan atau peluk cium satu sama lain. Walaupun kita berbeda pendapat kaum muslimin tetap bersaudara, tidak boleh dengan adanya perbedaan pendapat tersebut, sesama muslim saling menfitnah dan menjelek-jelekan orang yang berbeda dengan mereka, masing-masing mempunyai tanggung jawab sendiri mengenai amalan yang dilakukannya tersebut.

Pertama-tama kami ingin mengutip dan mengumpulkan dari internet/ website dan dari sumber lainnya dibawah ini dalil-dalil orang yang melarang berjabatan tangan antara lelaki dan wanita yang bukan muhrim, kemudian dalil-dalil orang yang membolehkannya dengan bersyarat, serta jawaban atau tanggapannya yang cukup baik dan ditulis oleh Abu Salma (kami ringkas dan rapikan yang perlu diutarakan—pengutip). Insya Allah dengan adanya kutipan ini kita bisa menilai sendiri mana yang mendekati kebenaran. Semoga semuanya ini bisa bermanfaat kepada kami sekeluarga khususnya dan kaum muslimin lainnya. Amin

Dalil-dalil dari Al-Qur’an:
Perintah Allah swt. yang berkaitan dengan etika hubungan antara lelaki dan wanita:Kalau ada sebuah keperluan terhadap lawan jenis, harus disampaikan dari balik tabir pembatas. Sebagaimana firmanNya: ‘Dan apabila kalian meminta sesuatu kepada mereka (para wanita) maka mintalah dari balik hijab’. (QS. Al-Ahzab : 53).

Seorang wanita dilarang mendayukan (suara merdu) ucapan saat berbicara kepada selain suami. Firman Allah: "Hai istri-istri Nabi, kamu sekalian tidak- lah seperti wanita yang lain, jika kamu bertakwa. Maka janganlah kamu tunduk dalam berbicara sehingga berkeinginanlah orang yang ada penyakit dalam hatinya dan ucapkanlah perkataan yang baik." (QS. Al-Ahzab : 32).

Allah memerintahkan kaum laki-laki untuk menundukkan pandangannya, sebagaimana firman-Nya: “Katakanlah kepada laki-laki yang beriman: ‘Hendaklah mereka menahan pandangannya dan memelihara kemaluan’". (QS. An-Nur : 30).

Sebagaimana firman diatas tetapi ditujukan kepada wanita beriman, Allah berfirman: “Dan katakanlah kepada wanita yang beriman, ‘Hendaklah mereka menahan pandangannya dan memelihara kemaluannya.’" (QS. An-Nur : 31).
Manusia diciptakan oleh Allah ta'ala dengan membawa fitrah (insting) untuk mencintai lawan jenisnya, sebagaimana firman-Nya: "Dijadikan indah pada (pandangan) manusia kecintaan kepada apa-apa yang diingini, yaitu wanita-wanita, anak-anak, harta yang banyak dari jenis emas, perak, kuda pilihan, binatang-binatang ternak dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia, dan di sisi Allah-lah tempat kembali yang baik (surga)." (QS. Ali-Imran : 14).
Allah ta'ala telah melarang perbuatan zina dan segala sesuatu yang bisa mendekati perzinaan sebagaimana firmanNya: "Dan janganlah kamu mendekati zina, sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji dan suatu jalan yang buruk." (QS. Al-Isra' : 32).

Ibnu Katsir berkata: ‘Ini adalah beberapa etika yang diperintahkan oleh Allah kepada para istri Rasulallah saw. serta para wanita mu'minah lainnya, yaitu hendaklah dia kalau berbicara dengan orang lain tanpa suara merdu, dalam artian janganlah seorang wanita berbicara dengan orang lain sebagaimana dia berbicara dengan suaminya.’ (Tafsir Ibnu Katsir 3/530).

Berkata Imam Qurthubi: ”Allah ta'ala memulai dengan wanita karena kebanyakan manusia menginginkannya, juga karena mereka merupakan jerat-jerat syetan yang menjadi fitnah bagi kaum laki-laki, sebagaimana sabda Rasulallah saw.: ‘Tiadalah aku tinggalkan setelahku fitnah yang lebih berbahaya bagi laki-laki daripada wanita’ “ (HR. Bukhari: 5696, Muslim: 2740, Tirmidzi: 2780, Ibnu Majah : 3998). Oleh karena itu, wanita adalah fitnah terbesar dibanding yang lainnya. (Tafsir Qurthubi 2/20).
Kalau Allah swt. memerintahkan agar orang menahan pandangannya terhadap lawan jenisnya (yang bukan muhrim), maka tidak ragu lagi, bahwa sentuhan anggota badan ke anggota badan yang lain lebih kuat dan besar pengaruhnya terhadap naluri, watak dan lebih dahsyat mengajak kepada fitnah daripada sekedar memandang dengan mata. Setiap orang yang berlaku adil pasti mengetahui kebenaran hal itu!*** Renungkanlah !

Dalil-dalil dari hadits dan keterangan para ulama pakar baik yang langsung maupun tidak langsung yang berkaitan dengan larangan bersentuhan kulit dengan lawan jenisnya:

 Dari Ma'qil bin Yasar ra. berkata : Rasulallah saw. bersabda: "Seandainya kepala seseorang ditusuk dengan jarum besi itu masih lebih baik dari pada menyentuh wanita yang tidak halal (bukan muhrim) baginya." (HR. Thabrani dalam Mu'jam Kabir 20/174/386).

 Dari Abu Hurairah ra bahwa Rasulallah saw. bersabda: "Sesungguhnya Allah menetapkan untuk anak adam bagiannya dari zina, yang pasti akan mengenainya. Zina mata dengan memandang, zina lisan dengan berbicara, sedangkan jiwa berkeinginan serta berangan-angan, lalu farji yang akan membenarkan atau mendustakan semuanya." (HR. Bukhari 4/170, Muslim 8.52, Abu Dawud 2152)

 Rasulallah saw. tidak pernah menyentuh wanita meskipun dalam saat-saat penting seperti membai'at dan lain-lain. Dari Aisyah ra.: ‘"Demi Allah, tangan Rasulallah saw. tidak pernah menyentuh tangan wanita sama sekali meskipun dalam keadaan membai'at. Beliau tidak memba'iat mereka kecuali dengan mengatakan: ‘Saya ba'iat kalian.’ " [HR Bukhori: 4891]

Sabda Rasulallah saw. lainnya: “Kedua mata berzina, kedua tangan berzina, kedua kaki berzina dan kemaluan pun berzina” (HR. Ahmad, 1/ 412; shahihul jam’ : 4126).

 Rasulallah saw. menguji kaum mukminat yang berhijrah kepada beliau dengan firman Allah ta’ala ( ayat 12 surat al-Mumtahanah): “Wahai Nabi, apabila datang kepadamu wanita-wanita yang beriman untuk membaiatmu….. sampai pada firman-Nya: ‘Allah Maha Pengampun lagi Penyayang’”. Urwah berkata, ‘Aisyah mengatakan: ‘Siapa di antara wanita-wanita yang beriman itu mau menetapkan syarat yang disebutkan dalam ayat tersebut.’ Rasulallah saw. pun berkata kepadanya, ‘Sungguh aku telah membaiatmu’, beliau nyatakan dengan ucapan (tanpa jabat tangan).’ ‘Aisyah berkata; ‘Tidak, demi Allah! Tangan beliau tidak pernah sama sekali menyentuh tangan seorang wanita pun dalam pembaiatan. Tidaklah beliau membaiat mereka kecuali hanya dengan ucapan, ‘Sungguh aku telah membaiatmu atas hal tersebut’ ”. (HR. Al-Bukhari no. 4891 dan Muslim no. 4811)

 Umaimah bintu Ruqaiqah berkata: “Aku bersama rombongan para wanita mendatangi Rasulallah saw. untuk membaiat beliau dalam Islam. Kami berkata; ‘Wahai Rasulallah, kami membaiatmu bahwa kami tidak menyekutukan Allah dengan sesuatupun, tidak akan mencuri, tidak berzina, tidak mem bunuh anak-anak kami, tidak melakukan perbuatan buhtan yang kami ada-adakan di antara tangan dan kaki kami, serta kami tidak akan bermaksiat kepadamu dalam perkara kebaikan’. Rasulallah saw. bersabda, ‘Sesuai yang kalian mampu dan sanggupi’. Umaimah berkata, ‘Kami berucap, ‘Allah dan Rasul-Nya lebih sayang kepada kami daripada sayangnya kami kepada diri-diri kami. Marilah, kami akan membaiatmu wahai Rasulallah’. Rasulallah saw. kemudian berkata: ‘Sesungguhnya aku tidak mau berjabat tangan dengan kaum wanita. Hanyalah ucapanku kepada seratus wanita seperti ucapanku kepada seorang wanita”.

Aisyah ra. berkata:“Dan Demi Allah, sungguh tangan Rasulallah saw. tidak (pernah) menyentuh tangan perempuan sama sekali, tetapi beliau membaiat mereka dengan perkataan” (HR Muslim:3/1489).

 Dari Umaimah bintih Ruqoiqoh radhiyallahu 'anha: Bersabda Rasulallah saw.: "Sesungguhnya saya tidak berjabat tangan dengan wanita." [HR Malik 2/982, Nasa'i 7/149, Tirmidzi 1597, Ibnu Majah 2874, ahmad 6/357, Ath Thabrani dalam Al Kabir : 24/342, shahihul jami’: 70554, hadits nr. 2509]

 Al-Hafidh Ibnu Hajar Al-Asqalani rahimahullahu berkata, “Rasulallah saw. membaiat mereka hanya dengan mengucapkan: ‘Sungguh aku telah membaiatmu’, tanpa beliau menjabat tangan wanita tersebut sebagaimana kebiasaan yang berlangsung pada pembaiatan kaum lelaki dengan menjabat tangan mereka.” (Fathul Bari, 8/811)

 Al-Hafidh Ibnu Hajar ketika mengomentari hadits ‘Aisyah diatas yang menyatakan bahwa Nabi saw. tidak berjabat tangan dengan wanita ketika baiat, beliau mengatakan: “Dan di dalam hadits ini -yaitu hadits ‘Aisyah- ada hukum bolehnya (mendengarkan) suara wanita yang bukan muhrim, dan suara mereka itu bukanlah aurat. Dan hukum haramnya menyentuh kulit mereka bila tidak dalam keadaan darurat”. (Fathul-Bari, 16/330)

 Al-Imam An-Nawawi rahimahullahu menyatakan bahwa hadits ini menunjukkan tidak bolehnya menyentuh kulit wanita ajnabiyyah (non muhrim) tanpa keperluan darurat, seperti karena pengobatan dan hal lainnya bila memang tidak didapatkan dokter wanita yang bisa menanganinya. Karena keadaan darurat, seorang wanita boleh berobat kepada dokter laki-laki ajnabi (bukan muhrim si wanita). (Al-Minhaj, 13/14)

 Asy-Syinqinthi rahimahullahu berkata, “Tidaklah diragukan bahwa sentuhan tubuh dengan tubuh lebih kuat dalam membangkitkan hasrat laki-laki terhadap wanita, dan merupakan pendorong yang paling kuat kepada fitnah daripada sekedar memandang dengan mata. Dan setiap orang yang adil/mau berlaku jujur akan mengetahui kebenaran hal itu.” (Adhwa`ul Bayan, 6/603)

 Imam asy-Syaukani dalam kitab Irsyadul Fuhul hal.279 mengatakan: “Larangan lebih didahulukan ketimbang kebolehan” .Dengan kaidah ini seharusnya kita lebih mendahulukan dalil larangan berjabat tangan dengan lawan jenis daripada dalil yang menetapkan keboleh annya/ kemubahannya.

Beberapa pendapat ulama-ulama dari empat madzhab besar diantaranya:
Madzhab Hanafi :
 Haram menyentuh wajah dan dua telapak tangan perempuan bukan muhrim, sekalipun aman dari syahwat.
 Berjabat tangan dengan perempuan tua yang sudah tidak bersyahwat lagi; At-Thahawi berkata tidak mengapa. Manakala Syamsudin Ahmad bin Qaudar berkata tidak halal sekalipun aman dari syahwat.
Imam al-Kasaani berkata: "menyentuh (wanita) lebih berpotensi mem- bangkitkan syahwat daripada sekedar melihat .." [Bada'iu ash-Shana`i']

Madzhab Maliki:
 Haram berjabat tangan dengan perempuan bukan muhrim. Ini dinyatakan oleh al-Imam al-Baaji, al-Qadhi Abu Bakar Ibnul Arabi dan As-Shawi.Hukum berjabat tangan dengan perempuan tua, menurut Syeikh Abul Barakat Ahmad bin Muhamad bin Ahmad ad-Durdair ia tidak dibenarkan.
 Imam Abul Barokaat menyatakan: "Tidak boleh berjabat tangan dengan wanita (bukan muhrim) walaupun kaum lelaki sudah tidak memiliki lagi keinginan (hasrat) kepadanya ." [asy-Syahush Shaghir IV/760].

Madzhab Syafi’i :

 Imam An-Nawawi di dalam beberapa karyanya, as-Syaribini dan lain-lain ulama as-Syafi’iyyah menyatakan haram berjabat tangan dengan perempuan bukan muhrim.
 Imam an-Nawawi berkata: "Memandang wanita (bukan muhrim) saja haram, maka menyentuhnya tentu lebih haram lagi, karena terasa lebih nikmat ." [Roudhotu ath-Thalilibin VII/28].
 Imam Nawawi dalam kitab Al-Adzkar halaman 228 berkata: “Para shahabat kami (dari kalangan Syafi’iyyah) mengatakan bahwa setiap hal yang dilarang untuk dilihat, maka dilarang pula untuk menyentuhnya. Bahkan menyentuh itu lebih besar lagi urusannya, karena telah dibolehkan bagi seseorang untuk melihat seorang wanita yang bukan muhrimnya pada saat hendak menikahinya, pada saat jual beli, pada saat mengambil barang dan menyerahkannya dan yang semisal dengan hal tersebut di atas. Akan tetapi tetap tidak diper- bolehkan baginya pada saat-saat tersebut untuk menyentuhnya”.

Madzhab Hanbali:
 Imam Ahmad ketika ditanya tentang masalah berjabat tangan dengan perempuan bukan muhrim, beliau menjawab: “Aku membencinya.”
 Mengenai berjabat tangan dengan perempuan tua: Imam Ishaq bin Mansur al-Marwazi menukil dari imam Ahmad, ia tidak dibenarkan (tidak dibolehkan). Sementara Ibnu Muflih menyatakan; pemilik an-Nazham mengatakan makruh dan dengan anak kecil (yang belum baligh) dibolehkan dengan tujuan budi pekerti.
 Imam al-Marruzi (ada yang membaca : al-Marwazi) mengatakan: "Aku pernah bertanya kepada Ahmad bin Hanbal. " Apakah anda membenci jabat tangan dengan kaum wanita (non muhrim)?"" Beliau menjawab: “Aku membencinya." [Masa`il Ahmad wa Ishaq I/211]. Masih banyak lagi pendapat ulama dari empat madzhab yang mengharamkan berjabatan tangan dengan wanita bukan Muhrim.


Dalil dari golongan yang membolehkan:
Pendapat yang membolehkan berdalil pada riwayat hadits diantaranya dari Ummu ‘Athiyah yang menurut mereka kata-kata ga ba dho dalam hadits itu berarti tangan Rasulallah saw. bersentuhan (memegang) tangan wanita. Di- antara ulama yang membolehkan ialah: an-Nabhani, al-Qordhowi, Mahmud Khalidi dan semisalnya dari kalangan khalaf (belakangan). Beberapa alasan golongan yang membolehkan yang kami kutip dari website dan jawaban nya yang cukup baik (kami kutip seringkas mungkin) ditulis oleh Abu Salma sebagai berikut :

Alasan pertama:
Sebuah hadits yang diriwayatkan dari Ummu ‘Athiyah r.a. yang berkata: “Kami membai’at Rasulallah saw. lalu beliau membacakan kepadaku ‘Janganlah kalian menyekutukan Allah dengan sesuatu’, dan melarang kami melakukan ‘nihayah’ (histeris menangisi mayat), karena itulah seorang wanita dari kami menggenggam (melepaskan) tangannya (dari berjabat tangan) lalu wanita itu berkata: ‘Seseorang (perempuan) telah membuatku bahagia dan aku ingin (terlebih dahulu) membalas jasanya’ dan ternyata Rasulallah saw. tidak berkata apa-apa. Lalu wanita itu pergi kemudian kembali lagi.” (HR. Bukhari).
Kata golongan ini : “ Hadits itu menunjukkan bahwasanya kaum wanita telah berbai’at dengan berjabat tangan. Kata ‘qa ba dha’ dalam hadits ini memiliki arti menggenggam atau melepaskan tangan. Seperti disebutkan didalam kamus yang berarti menggenggam sesuatu, atau melepaskan (tangannya dari memegang sesuatu). (Lihat A.W. Munawwir, Kamus Al-Munawwir, hal. 1167). Hadits ini jelas-jelas secara manthuq (tersurat) artinya ‘menarik kembali tangannya’ menunjukkan bahwa para wanita telah berbai’at dengan berjabat tangan, sebab tangan salah seorang wanita itu digenggamnya/ dilepaskannya setelah ia mengulurkannya hendak berbai’at. Selain itu dari segi mafhum (tersirat) juga dipahami bahwa para wanita yang lain pada saat itu tidak menarik (menggenggam) tangannya, artinya tetap melakukan bai’at dengan tangan terhadap Rasulallah saw. Jadi hadits ini menunjukkan secara jelas –baik dari segi manthuq (tersurat) maupun mafhum (tersirat)– bahwa Rasulallah saw. telah berjabat tangan dengan wanita pada saat bai’at “ (Lihat Taqiyuddin An-Nabhani, Nidzham Ijtima’i Fil Islam, hal. 57 – 58, 71 – 72).

Jawabannya :I
bnu Hajar Al-Asqalani dalam kitabnya Fathul Bari Syarh Shahih al-Bukhari dikatakan: Menceritakan kepada kami Abu Ma’mar, menceritakan kepada kami Abdul-Warits, menceritakan kepada kami Ayyub dari Hafshoh binti Sirin, dari Ummu ‘Athiyah radhiyallahu ‘anha, beliau berkata: “Rasulallah saw. membaiat kami, dan beliau membacakan kepada kami ayat “agar mereka tidak menyekutukan Allah dengan sesuatu apapun, beliau melarang kami dari niyahah (meratap), seorang wanita memegang tangannya sendiri (Lafadznya; faqobadlot imro’atun yadaha) dan berkata: seorang fulanah telah membuatku gembira dan aku ingin berterima kasih padanya, dan nabi tidak mengatakan sesuatu apapun pada dirinya, kemudian wanita itu pergi dan kembali lagi, lalu nabi membaiatnya.”
Kata qo ba dho di dalam tekts hadits diatas faqobadhot imro’atun yadaha ditafsirkan dengan makna berjabat tangan (Mushofahah), ini tidak tepat sekali dari segi bahasa baik secara manthuq maupun mafhumnya. Berikut ini makna qo ba dho dari beberapa kamus bahasa Arab yang menjadi pegangan.

 Di dalam Mukhtaarus Shihhaah ( Mukhtaarus Shihhah, Imam Muhammad bin Abi Bakr bin Abdir Qodir ar-Razi, cet. I, 1414 H./1994 M., Darul Kutub al-Ilmiyah, hal. 464.) dikatakan: Qobadho asy-Sya’i maknanya akhodzahu = mengambilnya. Wal Qobdhu aidhan dliddu al-Basthu = dan qobdhu juga merupakan lawan dari basthu (membentang- kan). Jika dikatakan : Shoro asy-Sya’i fi qobdhika wa fi qobdhotika maknanya adalah fi milkika (dalam kepunyaanmu/kepemilikanmu).

 Didalam kamus al-Mu’tamad (Kamus ‘Arobi-‘Arobi), Abu Abdirrahman Muhammad Abdillah Qosim, Cet. III, 2004, Dar Shodir, Beirut, hal. 513.) dikatakan: Qobadho Qobdhon ar-Rajulu asy-Syai’a maknanya akhodzahu wa tanaawaluhu = mengambil dan menerimanya. Qobadho ‘ala asy-Syai’i maknanya amsakahu wa dhomma ‘alaihi ashobi’uhu = menggenggamnya dan merapatkan dengan erat jari jemarinya. Qobadho yadahu ‘an asy-Syai’i maknanya imtana’a ‘an imsaakihi = melepaskan dari genggaman.

 Didalam kamus al-Muhith ( Majduddin Muhammad bin Ya’qub bin Muhammad bin Ibrahim al-Fairuz Abadi asy-Syairazi asy-Syafi’i, juz II, cet. I, 1415/1995, Darul Kutub al-Ilmiyah, hal. 521) dikatakan : Qobadhohu yadahu yaqbidhuhu maknanya tanaawaluhu biyadihi = menerima dengan/mengulur- kan tangannya. Qobadho ‘alaihi biyadihi maknanya imsaakihi = menggenggamnya. Qobadho yadahu ‘anhu maknanya imtana’a ‘an imsaakihi = melepaskan genggamannya.
 Didalam kamus al-Munawwir ((Kamus Arab-Indonesia Terlengkap), Ahmad Warson Munawwir, Cet. XIV, 1997, Pustaka Progressif, hal 1086.) dikatakan: Qobadho asy-Syai’a aw ‘alaihi maknanya menggenggam. Qobadho wa Qobbadho asy-Syai’a maknanya qollashohu= mengerutkan atau menguncup kan. Qobadho ‘anil Amri maknanya nahhaahu = menjauhkan. Qobadho yadahu ‘ani asy-sya’i maknanya melepaskan. Qobadho ‘anil Qoumi maknanya hajarohum = meninggalkan. Qobadho ‘alaihi maknanya menangkap.

 Demikian pula di dalam kamus-kamus berikut ini: al-Mu’jamul Wasith (DR. Ibrahim Anis dkk., Juz I, Cet. III, al-Maktab al-Islamiyah, hal. 711); Laarus al-Mu’jam al-‘Arobiy al-Hadits (DR. Khalid al-Jarr, Cet. I, 1987, Maktabah Larus, hal. 933); al-Waafi Mu’jamul Wasith lilughotil ‘Arobiyah (Abdullah al-Bustani, Cet. Baru, 1990, Maktabah Libnan, Beirut, hal. 484); al-Mishbahul Munir fi Ghoribi asy-Syarhil Kabir ar-Rafi’I (al-Allamah Ahmad bin Muhammad bin Ali al-Muqri al-Fayumi, Juz I, Darul Fikr, hal. 487-488 ) dan al-Bustaan Mu’jamul Lughowi (al-Allamah Ahmad bin Muhammad bin Ali al-Muqri al-Fayumi, Juz I, Darul Fikr, hal. 487-488).

Jadi kata qobadho dihadits itu diartikan berjabat tangan atau melepaskan genggaman dari jabatan tangan seperti yang diklaim sebagian orang, maka ini adalah kebatilan yang dibangun di atas zhan/sangkaan belaka yang mengandung ihtimalat (banyak kemungkinan-kemungkinan lainnya). Perlu juga diketahui bahwa maf’ul (obyek) di dalam lafadh hadits tersebut adalah yadaha dimana ha adalah dhamir (kata ganti) untuk wanita, sehingga dhamir ha disini mengandung ihtimal bisa yang dimaksud adalah tangan wanita tersebut atau wanita lainnya!!

Juga perlu diketahui bahwa makna mengenggam (amsaka) adalah jika kata qobadho diiringi oleh suatu kata lagi atau muqoron (gandeng) dengan kata ‘ala maka bisa dibawa kepada makna mengenggam. Sebagian orang yang membolehkan jabat tangan ini juga berasumsi bahwa makna qobadho adalah imtana’a ‘an imsakiha (melepaskan tangannya dari genggamannya), padahal tidak ada shilah ‘an (qobadho ‘an) di dalam lafadh ini. Oleh karena itu asumsi bahwa qobadho di sini bermakna “menggenggam” ataupun “melepaskan tangan dari jabat tangan” adalah sangat salah. Yang benar ada lah bermakna tanaawala atau mengulurkan tangan yang bermaksud meminta izin dari prosesi baiat ketika saat itu.

Mari kita lihat pula penjelasan al-Hafidh Ibnu Hajar al-Asqolani yang pribadi dan ilmunya lebih dikenal daripada Taqiyudin an-Nabhani, DR. Mahmud Khalidi (penulis buku Baiat versi HT), Abdurrahman al-Baghdadi, Syamsudin Ramadhan dan orang-orang semisal mereka dari kalangan khalaf, sehingga ketika para imam terdahulu (salaf) semacam al-Hafidh Ibnu Hajar dan semisalnya menyebutkan hadits Ummu Athiyah ini, tidak terbetik satupun pemahaman sebagaimana pemahaman sebagian orang pada zaman belakangan ini.

Imam Al-Hafidh Ibnu Hajr berkata: “Sabda nabi saw.: “faqobadlot imro’atun yadahaa” didalam riwayat ‘Ashim berbunyi: “Aku (Ummu Athiyah) berkata: Wahai Rasulallah sesungguhnya keluarga fulan telah membahagiakanku di masa jahiliyah maka aku harus membahagiakan mereka”. Aku (al-Hafidh) tidak tahu siapakah keluarga fulan yang ditunjuk dalam riwayat ini. Didalam riwayat Nasa’i berbunyi: “Aku (Ummu Athiyah) berkata : sesungguhnya ada seorang wanita yang membahagiakanku di masa jahiliyah” dan aku (al-Hafidh) tidak mengetahui siapa nama wanita yang dimaksud dan jelaslah bahwa Ummu Athiyah didalam riwayat Abdul Warits memubhamkan (menyembunyikan identitas) dirinya.” (Fathul Bari Syarh Shahih al-Bukhari , Juz VIII, Darul Kutub Ilmiyah, Beirut, hal. 823, Bab. III : Idza Ja’aka al-Mu’minaatu yubayi’naka, hadits no. 3892. )

Dari penjelasan Ibnu Hajar rahimahullahu di atas, tampak dengan jelas bahwa wanita yang diceritakan oleh Ummu Athiyah adalah dirinya sendiri, namun beliau menceritakan dengan lafadh mubham, dan ini adalah suatu hal yang lazim di dalam menceritakan tentang diri namun dengan menggunakan lafadh yang menunjukkan orang lain. Dan al-Hafidh sama sekali tidak menyinggung adanya mushofahah (jabatan tangan) di dalam syarah (penjelasan) beliau. Sekiranya ada pemahaman mushofahah dalam hadits tersebut, niscaya al-Hafidh akan menyinggungnya, karena beliau adalah orang yang cukup dikenal pribadinya dikalangan para ulama dan pensyarah hadits shohih Bukhori.

Namun anehnya, golongan yang membolehkan yang datang berabad-abad kemudian (para khalaf) membawa pemahaman yang tidak tepat terhadap hadits ini dan seakan-akan merasa bahwa mereka adalah orang-orang yang lebih mengetahui ketimbang para Salaf (yang dahulu). Padahal al-Hafidh di dalam syarah (penjelasan) hadits sebelumnya, menyebutkan hadits-hadits shohih tentang haramnya menyentuh wanita ajnabiyah.



Alasan kedua:
Hadits yang diriwayatkan oleh Ummu ‘Athiyah ra ini yang dijadikan dalil oleh sebagian ulama yang membolehkan berjabat tangan dengan bukan muhrim. Namun demikian kebolehan tersebut dengan syarat tidak disertai syahwat. Kalau ada syahwat maka hukumnya haram. Kata ‘qa ba dha’ juga sering ditemukan dalam hadits-hadits lain yang artinya menggenggam dengan tangan, misalnya, diriwayatkan oleh Abu Bakar r.a. dari Ibnu Juraij yang menceritakan, Bahwa ‘Aisyah r.a. berkata: “Suatu ketika datanglah anak perempuan saudaraku seibu dari Ayah Abdullah bin Thufail dengan berhias. Ia mengunjungiku, tapi tiba-tiba Rasulallah saw. masuk seraya membuang mukanya. Maka aku katakan kepada beliau ‘Wahai Rasul, ia adalah anak perempuan saudaraku dan masih perawan tanggung’.”
Beliau saw. kemudian bersabda: “Apabila seorang wanita telah sampai usia baligh maka tidak boleh ia menampakkan anggota badannya kecuali wajah -nya dan selain ini –digenggamnya pergelangan tangannya sendiri– dan di biarkannya genggaman antara telapak tangan yang satu dengan genggaman terhadap telapak tangan yang lainnya.” [HR. Ath-Thabari dari ‘Aisyah r.a.].

Jawabannya:
Ucapan mereka ‘kebolehan tersebut dengan syarat tidak disertai syahwat ’ adalah persyaratan ‘angan-angan’ belaka. Karena jika ada akibat pasti ada sebab, dan kaidah fikih menyatakan urgennya saddu adz-dzara’i (menutup jalan-jalan keburukan), apalagi Allah swt. memerintahkan supaya hamba-Nya menjauhi perbuatan yang bisa mengakibatkan perzinaan, sedangkan jabat tangan dengan lawan jenis yang bukan muhrim bisa menimbulkan syahwat, baik terhadap kedua belah pihak sekaligus maupun salah satu pihak dari keduanya.
Jika mereka mengatakan bahwa kata qobadho adalah bermakna ‘meng genggam dengan tangan’ taruhlah dikatakan benar, namun jika dia bawa kepada pemahaman kepada ‘berjabat tangan dengan Rasulallah’ maka telah berlalu penjelasannya, yaitu ini adalah pemahaman yang bathil/salah. Bagai- mana bisa dia mengatakan bahwa qobadho dalam lafadh hadits Ummu Athiyah diatas adalah jabat tangan (atau melepaskan tangan dari jabat tangan)? Dan dari mana pula dia mendatangkan pemahaman bahwa yang dijabat (atau menjabat) adalah Rasulallah saw.? Darimanakah dia mengambil syarah/penjelasan hadits tersebut?

Karena hadits yang serupa diatas ada diriwayatkan oleh ath-Thabrani di dalam Mu’jamul Kabir (XXIV : 143/374) dan Mu’jamul Ausath (II : 230/8959), juga al-Baihaqi melalui jalur Ibnu Luhai’ah, dari Iyadh bin Abdillah bahwa ia mendengar Ibrahim bin Ubaid bin Rada’ah al-Anshori menceritakan dari ayahnya, dari Asma’ binti Umais berkata: “Rasulallah saw. mengunjungi ‘Aisyah binti Abi Bakar, sedangkan di sisi ‘Aisyah ada Asma’ binti Abi Bakar yang sedang mengenakan pakaian bermodel syam yang lengannya lebar. Tatkala Rasulallah melihatnya, maka beliaupun bangkit dan keluar. ‘Aisyah ra. berkata: Menyingkirlah kamu karena Rasulallah melihat sesuatu yang beliau benci. Lalu Asma’ pun menyingkir dan kemudian Rasulallah masuk kembali. Aisyah ra. bertanya kepada beliau alasan apa beliau sampai bangkit, maka beliaupun menjawab: ‘Tidakkah kamu lihat bersoleknya (dandanannya)? Sesungguhnya seorang wanita muslimah itu tidak boleh tampak darinya kecuali ini dan ini ! Beliau mengambil kedua telapak tangannya (demikian di dalam riwayat al-Baihaqi, namun yang benar adalah mengambil “kedua lengan bajunya” sebagaimana disebutkan di berbagai sumber takhrij ), lalu beliau menutupkan dengan lengan baju itu pada bagian punggung telapak tangan beliau sehingga yang tampak hanyalah jari jemari beliau. Selanjutnya beliau meletakkan kedua telapak tangan beliau pada kedua pelipis beliau sehingga yang tampak hanya wajah beliau’ “. Al-Haitsami menghasankannya di dalam Majma’uz Zawa’id (V : 137) dan mengatakan: “Di dalamnya terdapat Ibnu Luhai’ah yang haditsnya hasan sedangkan perawi lainnya adalah rijal shahih.” Al-Baihaqi berkomentar : isnad hadits ini dha’if.

Hadits di atas tidak dapat digunakan sebagai dalil tentang kebolehan berjabat tangan dengan wanita ajnabiyah dengan alasan :
a. Lafadh ‘beliau mengambil kedua tangannya’ adalah lafadh yang salah, dan yang benar adalah ‘mengambil kedua lengan bajunya’ sebagaimana termaktub dalam sumber-sumber takhrij. b. Tidak ada satupun ulama hadits yang mensyarah hadits ini menjelaskan tentang bolehnya berjabat tangan dengan ajnabiyah.

Alasan ketiga:
“Seorang wanita mengisyaratkan sebuah buku dari belakang tabir dengan tangannya kepada Nabi saw. Beliau saw. lalu memegang tangan itu seraya berkata, ‘Aku tidak tahu ini tangan seorang laki-laki atau tangan seorang wanita.’ Dari belakang tabir wanita itu menjawab. ‘Ini tangan seorang wanita’. Nabi bersabda, ‘Kalau engkau seorang wanita, mestinya kau rubah warna kukumu (dengan pacar).” [HR. Abu Daud].

Jawabannya: Sekiranya hadits di atas shohih, juga tidak dapat dijadikan dalil tentang kebolehan berjabatan tangan dengan wanita ajnabiyah, dengan alasan :

a. Rasulallah saw.tidak mengetahui apakah orang yang mengisyaratkan buku itu adalah lelaki atau perempuan, oleh karena itu beliau bertanya kepadanya. Jika sekiranya jabat tangan atau menyentuh wanita tidak dibedakan hukumnya oleh Rasulallah, niscaya Rasulallah tidak perlu berkata dengan nada bertanya kepada orang tersebut ‘apakah dia lelaki ataukah wanita?’

b. Rasulallah saw. mengatakan, ‘Jika kau seorang wanita maka seharusnya kau ubah warna kukumu’, hal ini menunjukkan bahwa Rasulallah menghendaki supaya wanita ini membedakan dirinya dengan kaum pria dengan cara memberi pacar pada kukunya, agar supaya dengan pembedaan ini Rasulallah tahu mana tangan pria dan wanita, sehingga beliau tidak sampai menyentuh atau memegang tangannya. Wallahu a’lam

Alasan keempat:
Dalam menghadapi perbedaan tersebut dan pendapat mana yang harus kita ikuti untuk kita amalkan, maka kita harus mengkaji terlebih dahulu pendapat manakah yang lebih kuat dalam hal ini. Untuk itu kita perlu mengkaji manakah dalil yang lebih kuat dari nash-nash yang seolah-olah bertentangan yang digunakan oleh kedua pendapat di atas. Kalau kita perhatikan hadits-hadits yang digunakan oleh kedua pendapat adalah hadits-hadits shahih yang harus diterima kebenarannya. Pendapat yang rajih (kuat) adalah pendapat yang mengatakan bahwa hukumnya mubah. Penjelasannya adalah sebagai berikut:

Hadits yang sering digunakan oleh golongan yang berpendapat haramnya berjabat tangan dengan bukan muhrim adalah hadits-hadits yang diriwayatkan oleh ‘Aisyah r.a. Sedangkan golongan yang mengatakan mubah adalah berdasarkan riwayat Ummu ‘Athiyah r.a. Untuk mentarjihnya kita perlu memperhatikan kaidah tarjih dalam ilmu hadits yang telah dijelaskan para ulama bahwa: “Rawi yang mengetahui secara langsung kedudukannya lebih kuat dari pada Rawi yang mengetahui tidak secara langsung.”

Dari hadits-hadits diatas, maka hadits yang diriwayatkan oleh Ummu ‘Athiyah r.a. lebih kuat, sebab beliau melihat dan mengetahui secara langsung perbuatan Rasulallah saw. yang berjabat tangan dengan wanita bukan muhrim pada saat berbai’at. Bahkan Ummu ‘Athiyah r.a. sendiri berjabat tangan dengan Rasulallah saw. seperti apa yang tersirat dari hadits yang diriwayatkannya. Sedangkan hadits yang diriwayatkan oleh ‘Aisyah r.a. isinya merupakan pendapat beliau yang menggambarkan bobot keilmuan beliau. Bahwa selama beliau (‘Aisyah r.a.) bergaul dengan Rasulallah saw, beliau tidak pernah melihat Rasulallah saw. berjabat tangan dengan wanita bukan muhrim.

Memang benar ‘Aisyah r.a. tidak pernah melihat Rasulallah saw. berjabat tangan wanita bukan muhrim. Tetapi tidak bisa langsung disimpulkan bahwa Rasulallah saw. mengharamkan berjabat tangan dengan bukan muhrim. Sebab apa yang dikatakan ‘Aisyah hanya menjelaskan tentang ketiadaan perbuatan Rasulallah –dalam hal ini berjabat tangan– yang diketahui ‘Aisyah, dan tidak menunjukkan larangan berjabat tangan dengan bukan muhrim. Perlu diketahui bahwa kehidupan Rasulallah sehari-hari tidak selamanya didampingi ‘Aisyah r.a., bahkan kehidupan Rasulallah saw.bersama ‘Aisyah r.a. lebih sedikit dibandingkan dengan kehidupan Rasulallah saw di luar rumah (berdakwah tanpa disertai ‘Aisyah r.a.). Sehingga kalau ‘Aisyah r.a. tidak pernah melihat Rasulallah saw berjabat tangan dengan wanita bukan muhrim, tidak bisa langsung disimpulkan haram berjabat tangan dengan bukan muhrim. Sebab pada keadaan lain ada yang melihat dan mengetahui (Ummu ‘Athiyah r.a.) Rasulallah saw berjabat tangan dengan wanita bukan muhrim. Oleh krena itu hadits riwayat Ummu ‘Athiyah r.a. lebih rajih (kuat) untuk dijadikan dalil dan dapat diambil serta menentukan bolehnya berjabat tangan dengan lawan jenis yang bukan muhrim.

Jawabannya:
Hadits-hadits yang mereka kemukakan tidak bertentangan sama sekali, sehingga tidak perlu dilakukan metode jam’u (kompromi), penentuan nasikh mansukh, tarjih maupun tawaqquf. Yang tanaqudl (bertentangan) adalah takwil-takwil (penggeseran arti) yang tidak sehat terhadap hadits-hadits nabi yang muhkam (tegas) dan shahih yang tidak saling kontradiktif sedikitpun. Dalil yang rajah (kuat) adalah Jabat Tangan Dengan Ajnabiyah adalah Haram!!!

 Imam Bukhari berkata: Menceritakan kepadaku Ya’qub bin Ibrahim, menceritakan kepadaku Syihab dari pamannya, beliau berkata: Mengabar- kan kepadaku ‘Urwah bahwasanya Aisyah istri Nabi saw. mengabarkan kepadanya bahwa Rasulallah saw. pernah menguji orang-orang yang berhijrah kepada beliau dari kaum mukminat dengan ayat “Wahai Nabi, jika datang kepadamu kaum mukminat yang akan membaiatmu…(hingga akhir ayat 12 surat al-Mumtahanah)”. Urwah berkata : “Aisyah bertanya tentang pengakuan persyaratan ini dari kaum mukminat, maka Nabi mengatakan kepada beliau, “Aku telah membaiatmu” dengan ucapan. Dan demi Allah, tangan Rasulallah tidak menyentuh tangan para wanita di saat baiat sedikit pun, dan tidak pula beliau membaiat mereka melainkan hanya dengan ucapan “Aku telah membaiatmu atas hal itu”. Demikianlah lafadh Imam Bukhari.
Kalau kita perhatikan kalimat hadits diatas Aisyah ra. memberitakan hadits di atas adalah dari penuturan Nabi saw. sendiri, bukan dari dirinya pribadi semata namun berangkat dari ilmu/pengetahuannya secara pasti dari penuturan Nabi!!! Aisyah ra. sendiri berani bersumpah demi Allah bahwa nabi tidak pernah menyentuh tangan wanita sedikitpun… apakah sumpah Aisyah menunjukkan ketidaktahuan Aisyah tentang peristiwa baiat sebenar- nya sebagaimana yang dituduhkan oleh DR. Mahmud Khalidi, an-Nabhani, al-Baghdadi dan selainnya dari golongan yang membolehkannya ?
Sesungguhnya ada perawi yang menghadiri langsung peristiwa baiat dan menegaskan secara jazm (pasti) tentang ketiadaan jabat tangan atau persentuhan tangan Rasulallah dengan para wanita. Perhatikanlah baik-baik riwayat berikut ini :

 Imam Ahmad berkata: Menceritakan kepadaku Abdurrahman bin Mahdi, mengabarkan kepadaku Sufyan bin Muhammad bin al-Munkadir dari Umaimah binti Ruqoiyah beliau berkata: “Aku mendatangi Rasulallah saw. beserta para wanita untuk membaiatnya, lantas beliau mengambil (baiat) atas kami sebagai mana tertera di dalam al-Qur’an supaya kami tidak menyekutukan Allah dengan suatu apapun, kami tidak akan mencuri, tidak akan berzina, tidak membunuh anak-anak kami dan tidak akan berbuat dusta yang kami ada-adakan antara tangan dan kaki kami serta kami tidak akan mendurhakaimu dalam perkara yang ma’ruf. Rasulallah bertanya : ‘Apakah mampu kalian melaksanakannya?’, mereka menjawab: “Sesungguhnya Allah dan Rasul-Nya yang lebih mengasihi kami daripada kami sendiri.” Kami berkata : ‘Wahai Rasulallah, tidakkah kau berjabat tangan dengan kami?’, Rasulallah menjawab; ‘Aku tidak berjabat tangan dengan wanita, sesungguh- nya perkataanku terhadap seorang wanita sama dengan perkataanku terhadap seratus wanita.’ ”

Sanad hadits ini shahih, dan telah meriwayatkan pula at-Turmudzi, an-Nasa’i dan Ibnu Majah dari hadits Sufyan bin Uyainah serta an-Nasa’i meriwayatkan dari Tsaur dan Malik bin Anas, seluruhnya dari jalur Muhammad bin al-Munkadir. Turmudzi berkata : hasan shahih, dan kami tidaklah mengetahui- nya melainkan dari jalur Muhammad al-Munkadir. Ahmad juga meriwayatkan dari hadits Muhammad bin Ishaq dari Muhammad bin al-Munkadir dari Umaimah sebagaimana lafazh di atas namun dengan tambahan “dan wanita tidaklah menjabat tanganku”, demikianlah yang diriwayatkan Ibnu Jarir dari jalur Musa bin ‘Uqbah dari Muhammad bin al-Munkadir. (Lihat : Tafsir al-Qur’an al-Azhim karya Imam Abil Fida’ Isma’il bin Katsir ad-Dimasyqi dan lainnya). Tidakkah lafadh hadits di atas lebih muhkam daripada hadits Ummu Athiyah sedangkan Umaimah sendiri adalah perawi yang menyaksikan dan hadir di saat baiat?!!

Beberapa kaidah lain berikut ini yang menunjukkan kebatilan dan kelemahan pendapat anda di atas:
 Imam Syaukani di dalam Irsyadul Fuhul menyatakan bahwa : Hadits al-Qoul (ucapan) lebih dikedepankan ketimbang al-Fi’lu (perbuatan), dan al-Fi’lu lebih dikedepankan daripada at-Taqrir (persetujuan)!

Lantas, apakah hadits yang (diklaim) menyatakan jabat tangan itu mubah, yaitu hadits Ummu Athiyah dan semisalnya berbentuk ucapan (Qoul an-Nabi)? Ataukah berbentuk fi’lu ? Ketahuilah bahkan kebanyakan dalil yang meng- haramkan berbentuk ucapan. Jadi sekiranya kita menganggap kedua dalil di atas kontradiktif, seharusnya metode jam’u (kompromi) yang digunakan adalah hadits yang berbentuk al-Qoul lebih didahulukan ketimbang yang berbentuk al-Fi’lu.
 “Larangan lebih didahulukan ketimbang kebolehan” (Lihat Irsyadul Fuhul karya al-Imam asy-Syaukani, hal. 279)
Dengan kaidah di atas seharusnya kita lebih mendahulukan larangan berjabat tangan dengan lawan jenis daripada menetapkan kemubahannya.
 “Ihtimal (kemungkinan) yang sedikit lebih didahulukan ketimbang ihtimal yang banyak.” (Lihat Irsyadul Fuhul karya al-Imam asy-Syaukani, hal. 279).

Bukankah hadits riwayat Ummu ‘Athiyah dan semisalnya sebagai dalil yang memperbolehkan jabat tangan memiliki ihtimal yang lebih banyak ketimbang hadits-hadits yang mengharamkan?

 “Dalil yang Muhkam (tegas) lebih didahulukan ketimbang dalil yang ghoiru muhkam (tidak tegas).” (Lihat Irsyadul Fuhul karya al-Imam asy-Syaukani, hal. 279).
Bukankah dalil-dalil yang mengharamkan jabat tangan lebih muhkam daripada dalil yang menyatakan mubah? Bahkan di dalam hadits riwayat Ummu Athiyah tidak ada ketegasan (muhkam) sama sekali tentang adanya jabat tangan atau persentuhan tangan dengan Nabi saw., sedangkan hadits yang menunjukkan keharamannya seluruhnya secara tegas menyatakan ketiadaan jabat tangan Nabi saw. terhadap kaum wanita.

 “Didahulukan yang al-Maqrun at-Taukid (disertai dengan lafazh penguat/penekan) ketimbang yang tidak disertai.” [Lihat Irsyadul Fuhul karya al-Imam asy-Syaukani, hal. 279].
Perhatikanlah sumpah yang disampaikan oleh Aisyah ra., yang merupakan penguat yang paling tinggi, dimana riwayat Ummu Athiyah dan semisalnya tidak memiliki taukid (penekan) sama sekali. Perhatikan pula sabda Nabi saw. yang menyatakan : “Sesungguhnya aku tidak berjabat tangan dengan wanita” dimana beliau mendahulukan kata Inni yang bermakna kesungguhan dan penguat yang jelas akan ketiadaan jabat tangan terhadap kaum wanita.
 “Didahulukan yang khosh (khusus) dibandingkan yang ‘am (umum).” [Lihat Irsyadul Fuhul karya al-Imam asy-Syaukani, hal. 279. ] Bukankah hadits Umaimah mengandung pengkhususan yang menyatakan bahwa Rasulallah saw. tidak menjabat tangan wanita, sedangkan riwayat Ummu Athiyah dalam bentuk umum? Oleh karena itu yang khusus lebih didahulukan ketimbang yang umum.



Alasan kelima:
Hadits-hadits yang menunjukkan larangan ‘menyentuh wanita’ serta hadits-hadits lain yang maknanya serupa,. misalnya hadits shahih yang berbunyi: “Ditikam seseorang dari kalian dikepalanya dengan jarum dari besi, itu lebih baik dari pada menyentuh seorang wanita yang tidak halal baginya.” [HR. Thabrani]. Atau hadits yang berbunyi: “Lebih baik memegang bara api yang panas dari pada menyentuh wanita yang bukan muhrim.”
Menurut golongan yang membolehkan berjabat tangan, menjelaskan bahwa kata ‘massa’ yang artinya ‘menyentuh’ dalam hadits tersebut adalah lafadh musytarak (memiliki makna ganda) yakni bisa berarti ‘menyentuh dengan tangan’ atau ‘bersetubuh’. Selain itu pengertian ‘menyentuh’ juga sering digunakan kata ‘lamasa’ yang juga memiliki makna ganda, yakni bisa berarti ‘menyentuh dengan tangan’ atau ‘bersetubuh’… dst hingga kalimat…
Walaupun kata ‘massa’ dapat diartikan dengan ‘menyentuh dengan tangan’ tetapi dalam hadits-hadits yang digunakan oleh golongan yang mengharamkan jabat tangan dengan wanita bukan muhrim, ini lebih tepat jika diartikan dengan ‘bersetubuh’.
Sebab jika di artikan dengan ‘menyentuh dengan tangan’ maka pengertian ini bertentangan dengan hadits shahih yang diriwayatkan Ummu ‘Athiyah r.a. dimana tangan Rasulallah sawyang mulia telah menyentuh (berjabat tangan) dengan wanita yang bukan muhrim.

Jawabannya:
Hadits yang dimaksud adalah hadits yang diriwayatkan dari Ma’qil bin Yasar ra, bahwa Rasulallah saw. bersabda: “Sungguh jika salah seorang dari kalian ditusuk kepalanya dengan jarum besi adalah lebih baik daripada menyentuh wanita yang bukan muhrimnya.” (Shahih, diriwayatkan oleh al-Baihaqi dan al-Haitsami).
Al-Manawi berkata: ‘Menurut al-Haitsami, para perawinya shohih (dari Faidhul Qadir, jilid V, hal.58). Sedangkan al-Mundziri mengatakan bahwa hadits ini diriwayatkan oleh ath-Thabrani dan al-Baihaqi, dan para periwayat ath-Thabrani tsiqoh dan shohih.
Takwilan golongan ini yang menyatakan bahwa kata massa di dalam lafadh hadits di atas bermakna jima’ (bersetubuh) adalah bathil/salah dari sisi bahasa dan dari sisi mafhum. Karena memalingkan makna dari hakikatnya adalah harus dengan qorinah (indikasi) yang dapat memalingkan makna zhahir kepada makna selainnya. Memang benar, bahwa kata massa memiliki makna jima’ dalam beberapa ayat dan hadits, tentunya hal ini jika disertai qorinah yang kuat akan penakwilan lafazh ini kepada makna jima’.
Berikut ini penjelasannya :Allah Ta’ala berfirman :Yang artinya: “Tidak ada kewajiban membayar (mahar) atas kalian, jika kalian menceraikan isteri-isteri kalian sebelum kalian tamassuhunna (mencampuri/jima’ dengan mereka) dan sebelum kalian menentukan maharnya.” (al-Baqoroh : 263).
“Jika kamu menceraikan isteri-isteri kalian sebelum kalian tamassuhunna (mencampuri mereka) padahal kalian sesungguhnya telah menentukan mahar nya…” (al-Baqoroh : 237).
“Hai orang-orang yang beriman, apabila kalian menikahi wanita-wanita mukminah kemudian kalian ceraikan mereka sebelum kalian tamassuhunna (mencampuri mereka) maka sekali-kali tidak wajib atas mereka iddah…” (al-Ahzaab : 49).
Ayat-ayat di atas memiliki qorinah yang dapat memalingkan makna massa kepada jima’ yaitu adanya penjelasan yang berkaitan tentang muamalah dengan isteri seperti pembayaran mahar, tholaq, iddah dan semisalnya. Hal ini juga didukung dengan pemalingan makna pada selain kata massa seperti pada kata lamasa dan ifdho seperti dalam firman Allah : “Bagaimana kamu akan ambil kembali, padahal sebagian kamu telah afdhoo (bercampur) dengan selainnya (sebagai suami isteri).” (an-Nisa’ : 21).

Oleh karena itulah para mufassirin dan fuqoha’ menyatakan bahwa kata-kata massa dan semisalnya di sini yang memang memiliki qorinah untuk dipalingkan dari makna hakikinya adalah suatu keniscayaan, juga dalam ayat 20 Surat Maryam yang artinya : “Maryam berkata: ‘Bagaimana aku bisa mempunyai anak laki-laki sedangkan tidak pernah seorang manusiapun yang yamsasnii (menggauliku) dan aku bukan (pula) seorang pezina.” Jika kita perhatikan, maka akan tampak dengan jelas qarinah-nya yang menyatakan hasil dari massasa yakni lahirnya seorang anak laki-laki. Apakah mungkin menyentuh dalam arti sebenarnya dapat menghasilkan seorang anak laki-laki? Oleh karena itu pemalingan makna dalam konteks yang didukung oleh qorinah semacam ini adalah suatu keniscayaan.

Adapun hadits : “Apabila kemaluan menyentuh kemaluan (bersetubuh), maka wajiblah mandi”, maka makna dari qorinah yang tersirat adalah bermakna jima’. Sebab jima’ sendiri dalam kitab-kitab fikih bermakna ‘masuknya (tenggelamnya) kepala penis hingga hilang ke dalam farji (vagina) wanita”. Jika hanya terjadi pergesekan belaka (menurut fiqih Imam Syafi’i wajib mandi—peng.) maka belum bisa dikatakan jima’ yang mewajibkan mandi (jika tidak keluar mani) ataupun hukum had bagi penzina diberlakukan. Bahkan al-Massu juga bisa bermakna junun (gila) dan kesurupan seperti di dalam firman Allah yang artinya : “Orang-orang yang memakan riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan setan lantaran peyakit gila…” (al-Baqoroh : 275).
Oleh karena itu, memalingkan makna massa atau selainnya ke luar dari makna sebenarnya tanpa ada qorinah pendukung pemalingan maknanya adalah suatu kebodohan terhadap bahasa, seperti dalam hadits nabi saw. di atas yang menyatakan “Sungguh jika salah seorang dari kalian ditusuk kepalanya dengan jarum besi adalah lebih baik daripada menyentuh wanita yang bukan muhrimnya.”

Sebab lafadh di atas adalah sama dan saling menguatkan dengan lafadh riwayat hadits-hadits berikut ini : Ma’mar berkata: Mengabarkan kepadaku Ibnu Thawus dari bapaknya, beliau berkata: “Tidaklah tangan (nabi) menyentuh wanita melainkan wanita yang dimiliki-nya.” Dan diriwayatkan dari Aisyah di dalam ash-Shahih, beliau berkata : “Tangan nabi tidak pernah menyentuh tangan wanita.” Dan beliau (nabi) bersabda : “Sesungguhnya aku tidak berjabat tangan dengan wanita, sesungguhnya ucapanku terhadap seorang wanita seperti ucapanku kepada seratus wanita,” (Lihat Ahkamul Qur’an karya Abu Bakr Muhammad bin Abdillah Ibnul Arobi dan lainnya),

Sebab kata massa sendiri bermakna : menyentuh dengan tangan ‘lamasahu wa afdhoo ilaihi biyadihi’ (Lihat al-Mu’tamad, karya Abu Abdirrahman Muhammad Abdillah Qosim, hal. 650).

Memalingkannya dari makna sebenarnya memerlukan qorinah yang mendukung pemalingan lafadh tersebut dari makna hakikatnya, yang mana jika tidak dipalingkan maknanya maka maknanya akan menjadi ghoyru mustaqim (tidak lurus/tepat). Jika sekiranya ayat-ayat di al-Baqoroh dan al-Ahzab serta Maryam di atas tidak dipalingkan maknanya menjadi jima’, niscaya akan ‘pincang’ pemahaman yang timbul dari ayat tersebut dan menimbulkan kerancuan di dalam hukum tholaq, iddah, mahar dan semacamnya.
Namun, memalingkan makna hadits tentang “lebih baik ditusuk jarum besi daripada menyentuh wanita” kepada makna jima’ (bersetubuh) akan menimbulkan kepincangan pemahaman dan pengkhususan hanya kepada jima’ saja. Pemalingan makna ini tidak tepat karena tidak ditopang oleh adanya qorinah (indikasi) yang dapat memalingkannya. Penakwilan semacam ini adalah penakwilan yang berangkat dari hawa nafsu dan fanatik terhadap pendapat an-Nabhani yang memperbolehkan jabat tangan. Jika sekiranya penakwilan di atas benar, maka adakah pendahulu (salaf) dari para ulama hadits yang menafsirkan makna hadits ini sebagaimana penafsiran golongan ini. Dengan demikian riwayat-riwayat diatas tidak saling bertentangan bahkan saling menguatkan.

Alasan keenam:
Selain itu Rasulallah saw pernah berjabat tangan di dalam air, dalam benjana pada saat membai’at wanita, pernah juga Rasulallah saw berjabat tangan dengan alas kain. Juga diriwayatkan bahwa Rasulallah saw pernah menyuruh Umar bin Khaththab r.a untuk mewakili beliau dalam bai’at dan bai’at ini dilakukan dengan berjabat tangan. Kalau memang berjabat tangan (menyentuh) dengan wanita diharamkan, tentunya Rasulallah saw. tidak akan melaksanakannya baik secara langsung maupun dengan perantara apapun. Juga tidak mungkin Rasulallah saw memerintahkan Umar bin Khaththab r.a. melakukan jabat tangan (menyentuh) dengan wanita yang bukan muhrim, sebab hal tersebut adalah perbuatan yang haram. Akan tetapi ternyata yang terjadi justru sebaliknya. Selain itu, banyak riwayat yang menyatakan, bahwa Rasulallah saw dan ‘Umar bin Khaththab pernah berjabat tangan dengan wanita (lihat Imam al-Qurthubi, al-Jami’ li Ahkâm al-Qur’an; Qs. al-Mumta hanah: 12).

Jawabannya:
Sesungguhnya menyampaikan hadits-hadits dha’if tanpa menerangkan kedha’ifannya adalah termasuk berdusta atas nama nabi saw.Jika anda berdalil dengan riwayat di dalam at-Tafsirul Kabir karya ar-Razi (VIII/hal. 137) yang menyatakan tentang telah diriwayatkannya bahwa sayyidina Umar ra. pernah berjabat tangan dengan wanita dalam baiat mewakili Rasulallah saw., maka ketahuilah bahwa Al-Qodhi Abu Bakar bin al-Arobi telah menanggapi pendapat ini. Menurutnya riwayat itu dha’if, dan seyogyanya berpaling kepada yang shahih.

Sedangkan al-Hafidh Waliyyudin Abu Zar’ah al-Iraqi mengatakan, sebagian ahli tafsir menyebutkan bahwa nabi saw. pernah minta diambilkan semangkuk air. Lalu beliau mencelupkan tangannya ke dalamnya. Kemudian para wanita melakukan hal yang sama. Juga sebagian ahli tafsir ada yang mengatakan bahwa nabi berjabat tangan dengan mereka melalui tabir kala itu. Pada tangan beliau ada kain baju guthri. Juga dikatakan bahwa sayyidina Umar telah berjabat tangan dengan mereka. Sungguh, tidak ada satupun pernyataan itu yang benar, apalagi pernyataan yang terakhir. Bagaimana mungkin sayyidina Umar ra. berani melakukan sesuatu yang tidak pernah dilakukan oleh al-Ma’shum Shallallahu ‘alaihi wa Sallam. (Lihat “Berjabat Tangan Dengan Perempuan” oleh Muhammad Ismail, hal. 36-37) .
Semua riwayat itu adalah dhaif riwayatnya. [Lihat al-Jami’ li Ahkaamil Qur’an, karya Abu Abdillah Muhammad bin Ahmad al-Anshori al-Qurthubi, Kata pengantar: Fadhilatus Syaikh Kholil Muhyiddin al-Mass (Direktur Azhar Lebanon), Pengoreksi: Muhammad Jamil. Pentakhrij dan Pengomentar hadits; asy-Syaikh ‘Arfan al-‘Isyaa, jilid VI, juz. 28, 1995/1415, Darul Fikr, Beirut, hal. 64 (catatan kaki no.2) ]

Golongan ini telah menyembunyikan kebenaran dan melakukan tadlis kepada para pembacanya yang mayoritas awam. Setelah saya (Abu Salma) cek buku al-Jami’ li Ahkam Al-Qur’an [ Lihat al-Jami’ li Ahkaamil Qur’an, karya Abu Abdillah Muhammad bin Ahmad al-Anshori al-Qurthubi, Kata pengantar: Fadhilatus Syaikh Kholil Muhyiddin al-Mass (Direktur Azhar Lebanon), Pengoreksi: Muhammad Jamil. Pentakhrij dan Pengomentar hadits : asy-Syaikh ‘Arfan al-‘Isyaa, jilid VI, juz. 28, 1995/1415, Darul Fikr, Beirut, hal. 63] ternyata Imam Qurthubi menukil di baris-baris pertama tafsirnya terhadap surat al-Mumtahanah ayat 12 ini dengan riwayat Aisyah yang menafikan jabat tangan bagi Rasulillah saw.. Penempatan nukilan terhadap riwayat Aisyah ini menunjukkan kekuatan riwayat Aisyah menurut beliau. Kemudian al-Qurthubi rahima hullahu mengatakan: “Diriwayatkan bahwasanya nabi ‘alaihish sholatu was salam membaiat para nabi dan diantara tangannya dan tangan kaum wanita ada selembar kain.”

Saya (abu salma) berkata: Bagi para penuntut ilmu pastilah akan mengetahui bahwa lafadh yang digunakan oleh Imam al-Qurthubi adalah lafazd yang menunjukkan akan kedhaifan suatu hadits atau keraguan beliau akan keshahihannya, karena beliau mengatakan dengan lafazh ruwiya (diriwayat kan) yang mana ini telah dikenal di kalangan muhadditsin bahwa kata periwayatan yang disandarkan kepada nabi secara tidak jazim sebagaimana perkataan qoola atau haddatsa dan semisalnya adalah suatu bentuk keraguan akan keshahihannya atau bahkan isyarat akan kedhaifannya.

Syaikh ‘Arfan al-‘Isyaa mengomentari hadits di atas dengan perkataan : wa huwa mukhoolif lish shohih (riwayat ini menyelisihi hadits yang shohih). Kemudian beliau menukil hadits shohih yang diriwayatkan dari jalur Muhammad al-Munkadir yang telah lewat penyebutannya. Beliau mentakhrij hadits Muhammad al-Munkadir sebagai berikut : “Diriwayatkan oleh an-Nasa’i di dalam al-Bai’ah (V/149) bab (18) Bai’atun Nisai, Turmudzi secara ringkas (1598) dan Ibnu Majah di dalam al-Jihad (2874) bab Bai’atun Nisa’. Saya berkata : hadits yang menyelisihi hadits yang shohih adalah syadz dan termasuk hadits dha’if karena syarat hadits shahih haruslah selamat dari syadz. [Syarat hadits shohih ada 5, yakni : Sanadnya muttashil (bersambung), Perawinya ‘Adil, Perawinya Dhabith (hafalan yang kuat dan mantap), Tidak syadz,Tidak memiliki illat. Lihat Syarh Manzhumah al-Baiquniyah fi Mushtholahil Hadits, karya Syaikh Muhammad bin Sholih al-‘Utsaimin, cet. I, 1423/2002, Dar ats-Tsuroyyah, hal. 28; Taisir Mushtholahil Hadits, karya DR. Mahmud Thohhan, Darul Fikr, hal. 30.]

Adapun riwayat Umar yang berjabat tangan dengan para wanita, juga disebut kan oleh Imam Qurthubi dengan lafadh yang tidak jazim pula penisbatannya yaitu beliau mengatakan dengan lafazd qiila (dikatakan), yang hal ini menunjukkan keraguan beliau akan keshahihan hadits ini. Syaikh ‘Arfan al-‘Isyaa mengomentari riwayat Umar ini sebagai berikut : “al-Hafidh mengisyaratkan di dalam al-Fath (VIII/637) dari riwayat Thabrani dengan lafadh: ath-Thabrani telah mengeluarkan hadits bahwasanya Rasulallah membaiat para wanita melalui perantaraan Umar, tanpa ada penyebutan jabat tangan. Dan penyebutan jabat tangan ini adalah perkara yang jauh dikarenakan menyelisihi yang shohih dari Rasulillah saw. Riwayat jabat tangan Umar dengan para wanita adalah riwayat yang mardud tidak layak dijadikan hujjah/dalil karena menyelisihi dalil yang lebih shohih, sehingga statusnya menjadi syaadz maka hukumnya dho’if. Wallahu a’lam. Apalagi tidak ada keterangan dari para ulama hadits yang menshahih- kannya ataupun menghasankannya!!

Alasan ketujuh:
Juga kalau memang berjabat tangan (bersentuhan) antar lawan jenis yang bukan muhrim itu diharamkan, tentunya Daulah Khilafah (negara Khilafah) tidak akan membiarkan kondisi-kondisi atau keadaan yang sangat memungkin kan terjadi persentuhan. Bahkan Daulah akan memberikan sanksi/hukuman bagi yang melakukannya. Ternyata tidak ada satu riwayat pun yang menyatakan bahwa Daulah pernah melakukannya. Dan bahkan Daulah tidak pernah memisahkan antara jama’ah haji pria dan wanita, juga antara pria dan wanita di pasar walaupun kondisi tersebut akan menyebabkan terjadinya bersentuhannya pria dan wanita yang bukan muhrim.

Jawabannya:
Ketiadaan tidaklah menafikan hukum. Karena yang menjadi dalil adalah al-Qur’an dan as-Sunnah, bukannya Nizhom Daulah. Seandainya memang anda belum menemukan adanya sanksi hukum jabat tangan atau persentuhan lawan jenis non muhrim di dalam Nizhom Daulah bukan berarti bahwa jabat tangan dengan ajnabiyah adalah mubah.
Kaum muslimin terdahulu yang hidup di zaman kekhalifahan, mereka semua telah mengetahui akan keharaman berjabat tangan dengan ajnabiyah sehingga telah maklum di kalangan mereka tentang syariat ini, sehingga tidak perlu dibuat undang-undang khusus yang akan memberikan sanksi kepada pelanggarnya. Hal ini sebagaimana pelanggaran kemaksiatan seperti orang yang memandang wanita, mengintip mereka ataupun berjalan di belakang mereka atau menggoda mereka. Apakah ada undang-undang daulah yang memberikan sanksi jelas yang termaktub di dalam nizhom-nya terhadap pelanggaran semacam ini? Jika ada berikan bukti kepada kami.

Masalah pemisahan haji antara pria dan wanita adalah kiyas konyol dan menggelikan yang sangat lucu bila digunakan untuk memperbolehkan persentuhan dengan sengaja. Karena kondisi haji adalah kondisi darurat yang memperbolehkan adanya persentuhan tanpa sengaja. Demikian pula dalil anda tentang kemungkinan terjadinya persentuhan di dalam pasar. Disinilah letak kesalahan terhadap syariat Islam itu sendiri, karena Islam telah memberikan rambu-rambu yang jelas dimana kaum wanita lebih baik berdiam di dalam rumah dan dilarang keluar kecuali jika ada hajat atau dalam keadaan darurat.

Sedangkan bagi kaum wanita ke pasar bukanlah suatu hal yang darurat atau hajat syar’i, karena pasar adalah tempat bagi kaum lelaki bukan kaum wanita. Taruhlah wanita harus pergi ke pasar, jika terjadinya persentuhan maka persentuhan tersebut bukanlah suatu hal yang disengaja, lantas bagaimana bisa kiyas diberlakukan pada dua hal yang saling bertolak belakang, yaitu antara sengaja dengan tidak sengaja?

Alasan kedelapan:
Pendapat yang mengharamkan berjabat tangan antara pria dan wanita bukan muhrim juga di dasarkan pada sabda Rasulallah saw: “Sesungguhnya aku tidak berjabat tangan dengan wanita.” [HR. Malik, Tirmidzi dan Nasa’i].
Hadits di atas serta hadits-hadits lain yang serupa sering dijadikan dalil untuk mengharamkan berjabat tangan dengan bukan muhrim. Pendapat ini adalah lemah, sebab perkataan Rasulallah saw, “Sesungguhnya aku tidak berjabat tangan dengan wanita.” tidak menunjukkan larangan berjabat tangan, tetapi hanyalah mencegah dari perbuatan mubah. Hukum mubah ini di dasarkan pada hadits shahih yang diriwayatkan Ummu ‘Athiyah. Karena hukumnya mubah, maka terserah saja bagi Rasulallah saw. dan bagi kaum muslimin lainnya apakah berjabat tangan (Lihat riwayat Ummu ‘Athiyah dan Ath-Thabrani dari ‘Aisyah r.a.) atau meninggalkan berjabat tangan (seperti hadits riwayat Malik, Tirmidzi dan Nasa’i).

Jawabannya:
Bagaimana mungkin perbuatan mubah dicegah jika perbuatan itu bukannya perbuatan yang haram atau minimal makruh ?Anda di dalam kaidah anda ini menempatkan diri anda dalam keadaan yang penuh dengan kontradiktif, karena anda sendiri mengklaim bahwa Rasulallah saw. berjabat tangan dengan kaum mukminat atau menyentuh mereka dari hadits Ummu Athiyah. Namun di sisi lain anda menetapkan hadits Nabi saw yang berbunyi : “sesungguhnya aku tidak berjabat tangan dengan wanita” dengan artian nabi mencegah dari perbuatan mubah jabat tangan.

Wahai saudara, bagaimana mungkin anda menetapkan dua hal kontradiktif secara sekaligus dalam satu waktu, anda menetapkan bahwa Rasulallah berjabat tangan dengan wanita sedangkan di sisi lain anda juga secara tidak langsung turut menetapkan (mengakui) hadits : ‘Sesungguhnya aku tidak berjabat tangan dengan wanita’.
Apakah mungkin Nabi saw. mengatakan “sesungguhnya aku tidak berjabat tangan dengan wanita” sedangkan dalam riwayat lain beliau menyalahinya? Lantas dimana kebenaran sabda nabi “sesungguhnya aku tidak berjabat tangan dengan wanita” jika nabi melanggar sabdanya sendiri? Maka, pendapat seperti itu pada hakikatnya menggiring kepada pendustaan terhadap sabda-sabda nabi yang shahih dan menuduh nabi saw. tidak melaksanakan apa yang ia katakan…
Maka pendapat yang selamat adalah pendapat yang menyatakan keharaman berjabat tangan, karena pendapat ini adalah pendapat yang paling selamat dari kontradikitif dan dari segala keburukan!

Alasan kesembilan:
Pendapat yang membolehkan berjabat tangan dengan bukan muhrim mensyaratkan harus tanpa syahwat. Kalau ada syahwat maka hukumnya haram. Karena itu para ulama yang membolehkan berjabat tangan dengan bukan muhrim mengingatkan karena antara syahwat dan tidak itu sangat samar, maka haruslah kita berhati-hati pada saat berjabat tangan. Terutama sekali kalau yang berjabat tangan adalah pria dan wanita muda yang sebaya, sebab sangat mungkin menimbulkan syahwat atau menimbulkan fitnah. Kalau tidak khawatir timbul fitnah maka tidak apa-apa berjabat tangan dengan bukan muhrim. Misalnya dengan orang-orang yang sudah tua atau dengan anak-anak kecil.

Jawabannya:
Bukankah suatu perkara yang menghantarkan kepada keharaman adalah haram? Anda mengatakan bahwa ‘jika dimungkinkan bahwa jabat tangan menimbulkan fitnah dan memunculkan syahwat maka tidak boleh melakukan nya’, maka saya (abu salma) katakan : inilah letak syarat ‘angan-angan’ anda, karena sesuatu yang menghantarkan kepada keharaman adalah haram, dan telah jelas bahwa jabat tangan dengan wanita ajnabiyah sangat memungkin kan untuk menghantarkan keharaman (menimbulkan syahwat—pengutip) dan kepada zina. Oleh karena itu perkataan anda : ‘Kalau ada syahwat maka hukumnya haram’ adalah hujjah/dalil atas anda sendiri!
Ingatlah sabda nabi: “Perempuan itu seluruhnya adalah aurot. Jika ia keluar, maka setan menghiasinya (di dalam pandangan pria).” (HR. Turmudzi).

Al-Allamah asy-Syinqithi rahimahullahu berkata: “Seluruh anggota badan perempuan adalah aurot yang wajib ditutupi. Sedangkan perintah untuk menjauhi memandang kepadanya adalah semata-mata karena takut tergelincir kepada fitnah. Tidak ragu lagi, bahwa sentuhan badan ke badan yang lain lebih kuat dan besar pengaruhnya terhadap naluri, watak dan lebih dahsyat mengajak kepada fitnah daripada sekedar memandang dengan mata. Setiap orang yang berlaku adil pasti mengetahui kebenaran hal itu.” [Lihat kitab Adhwa’ul Bayan, oleh al-Allamah Muhammad Amin asy-Syinqithi, jilid VI, hal. 603, sebagaimana di dalam “Berjabat Tangan Dengan Perempuan” oleh Muhammad Ismail, hal. 22.]

Katakan, wahai saudara, apakah ketika anda berjabat tangan dengan akhowat (baca: para muslimah), anda yakin bahwa syahwat dan fitnah tidak akan muncul dari diri anda dan diri akhowat tersebut? Jika demikian adanya, maka sungguh benar jika ada orang yang mengatakan bahwa orang yang menyatakan halalnya jabat tangan dengan ajnabiyah tidak memiliki syahwat! Bukankah an-Nabhani rahimahullahu sendiri telah mengatakan bahwa manusia memiliki Ghorizatun Nau’ (naluri untuk melanggengkan keturunan) yang munculnya karena adanya stimulasi dari luar (faktor eksternal)? Lantas apakah jabat tangan dengan wanita ajnabiyah tidak termasuk stimulus Gharizah an-Nau’ ? fa’tabiru ya ulil albaab!

Alasan kesepuluh:
Perlu diingat bahwa sesuatu yang mubah tidak harus selalu dilakukan. Sebab kalau itu tidak berguna dan dapat menimbulkan fitnah lebih baik dihindarkan…
Bagi mereka yang mengikuti pendapat yang membolehkan setelah sampai penjelasan yang meyakinkan, maka mubahlah hukumnya bagi mereka. Allah swt. akan meminta pertanggung-jawaban atas perbuatannya berdasarkan pendapat yang terkuat yang telah ia ikuti. Walaupun berbeda pendapat kaum muslimin tetap bersaudara. Tidak boleh hanya karena perbedaan pendapat yang masih dibolehkan tersebut, sesama muslim saling menfitnah dan menjelek-jelekan orang yang berbeda dengan mereka. Yang jelas kita wajib mengikuti pendapat yang terkuat tanpa dicampuri adanya perasaan suka atau tidak suku. Wallahu a’lam.

Jawabannya:
Ini adalah letak keraguan anda terhadap pendapat anda. Dimana anda telah merasa khawatir akan imbas dari munculnya pemahaman anda yang ‘nyeleneh’ ini dan anda seolah-olah merasa bahwa pendapat dan pemahaman anda ini adalah ghorib dan syadz di dalam Islam sehingga sangat memungkin- kan anda akan difitnah dan dijelek-jelekkan oleh orang yang berbeda dengan pemahaman anda. Saya katakan : bahwa apa yang diucapkan oleh penentang pemahaman anda berupa cercaan dan hinaan adalah cercaan dan hinaan atas pemahaman anda yang bathil, yang bukan merupakan fitnah tak berdasar, namun berangkat dari kecemburuan terhadap agama ini.
Anda benar, bahwa kita wajib mengikuti pendapat yang terkuat tanpa dicampuri perasaan suka dan tidak suka, karena hal ini diikat oleh syara’, maka apa yang dikatakan jelek oleh syara’ adalah jelek dan apa yang dikatakan baik oleh syara’ adalah baik. Oleh karena itulah, coba cermatilah kembali dan telaah kembali pemahaman anda, jika salah walaupun anda anggap baik tetaplah pemahaman anda itu salah dan wajib anda tinggalkan, haram anda sebarkan dan anda pertahankan hidup mati. Jika anda masih mempertahankannya maka siaplah anda menerima cercaan dan hinaan atas kebodohan akal dan pemahaman anda tersebut!

Alasan kesebelas:
Golongan yang membolehkan berjabat tangan dengan bukan muhrim, bukanlah karena mereka senang berjabat tangan dengan bukan muhrim. Tetapi karena mereka tidak berani untuk mengharamkan sesuatu yang secara jelas Allah swt telah membolehkannya lewat perbuatan Rasul-Nya. Sebab termasuk dosa besar kalau ada orang yang berani mengharamkan sesuatu yang dihalalkan oleh Allah swt atau menghalalkan sesuatu yang diharamkan oleh Allah swt. Sebab Rasulallah saw bersabda: “Sesungguhnya orang yang mengharamkan sesuatu yang halal sama dengan orang yang menghalalkan sesuatu yang haram.” [HR. As-Sihab].

Jawabannya:
Saya (Abu Salma) kembalikan lagi dalil tersebut kepada anda, apakah anda berani menghalalkan apa yang diharamkan oleh Allah dan Rasul-Nya? Jika anda beranjak dari pemahaman dalil di atas, maka seharusnya anda menarik pemahaman ganjil anda yang menghalalkan perkara yang diharamkan oleh Allah dan Rasul-Nya sebagaimana telah saya cantumkan dalill dan keterang annya. Wallahu a’lam. Demikianlah keterangan mengenai hukum jabatan tangan antara wanita dan lelaki yang bukan muhrim. Wallahu a’lam.

Sekelumit tentang berjabat tangan seusai sholat
Ada golongan muslimin yang membid’ahkan munkar (baca: :mengharamkan) berjabat tangan seusai sholat. Sudah menjadi kebiasaan di masyarakat kita, setelah selesai sholat berjama’ah, satu sama lain saling bersalaman. Apakah itu ada dasar hukumnya? Bersalaman antar sesama muslim memang sangat dianjurkan oleh Nabi saw. Hal itu dimaksudkan agar persaudaraan semakin kuat, persatuan semakin kokoh. Salah satu bentuknya adalah anjuran untuk bersalaman ketika bertemu. Bahkan jika ada saudara muslim yang datang dari bepergian jauh, misalnya habis melaksanakan ibadah haji, maka disunnahkan juga saling berangkulan (mu’anaqah). Mari kita teliti beberapa sabda (hadits) Rasulallah saw ,berikut ini, yang menganjurkan sesama muslim berjabat tangan

– “Sesungguhnya seorang mukmin yang apabila bertemu dengan mukmin lainnya mengucapkan salam dan mengambil tangannya untuk berjabat tangan, maka pasti akan gugur dosa-dosa mereka berdua, sebagaimana gugurnya daun dari pohonnya”(HR. Abu Daud)

– “Tidaklah dua orang muslim yang bertemu, kemudian mereka berdua saling berjabat tangan, melainkan akan diampuni (dosanya) sebelum keduanya berpisah” (HR. Abu Daud).

– “Bila salah seorang diantara kalian bertemu saudaranya, maka hendak nya ia ucapkan salam. Bila kedua telah terhalang oleh pohon, atau dinding atau batu, lalu ketemu kembali, maka hendaknya ia kembali mengucapkan salam padanya”(HR. Abu Daud).

– Rasulullah saw ketika berjumpa dengan para sahabatnya senantiasa memberikan salam dan berjabat tangan. Anas ra berkata, “Adalah para sahabat Nabi saw apabila berjumpa mereka saling bersalaman, dan apabila mereka kembali dari bepergian, mereka berpelukan” (HR. Bukhari).

– Diriwayatkan dari Al-Barra’ bin Azib, Rasulullah saw bersabda bahwa dua orang yang bertemu dan bersalaman akan diampuni dosa mereka sebelum berpisah (HR Ibnu Majah). Riwayat-riwayat tersebut juga dishohihkan oleh ulama golongan pengingkar , Al-Albani, (Silsilah Ash-Shahiihah no 526, 2004, 2692 dan Ash-Shahiihah no 525).

– Imam Nawawi menyatakan, bersalaman sangat baik dilakukan. Sempat ditanyakan, bagaimana dengan bersalaman yang dilakukan usai shalat? Menurut Imam Nawawi, salaman usai shalat adalah bid’ah mubahah dengan rincian hukum sebagai berikut: ‘Jika dua orang yang bersalaman sudah bertemu sebelum shalat maka hukum bersalamannya mubah saja, dianjurkan saja, namun jika keduanya belum bertemu sebelum shalat berjamaah hukum bersalamannya menjadi sunnah, sangat dianjurkan’ (Dalam Fatâwî al-Imâm an-Nawâwî).

Berdasarkan hadits-hadits inilah ulama Syafi’iyyah mengatakan bahwa bersalaman setelah sholat hukumnya sunnah. Kalaupun perbuatan itu dikatakan bid’ah (hal baru) karena tidak ada penjelasan mengenai keutamaan bersalaman usai sholat, maka bid’ah yang dimaksud disini adalah bid’ah mubahah, yang diperbolehkan.

Dalam riwayat-riwayat tadi malah disebutkan bisa menebus dosa, apabila seorang mukmin bertemu dengan mukmin lainnya mengucapkan salam dan mengambil tangannya untuk berjabat tangan. Bahkan sebagian ulama mengatakan, orang yang sholat itu sama saja dengan orang yang ghaib alias tidak ada di tempat karena bepergian atau lainnya. Setelah sholat, seakan-akan dia baru datang dan bertemu dengan saudaranya. Maka ketika itu dianjurkan untuk berjabat tangan. Keterangan ini diperoleh dari kita Bughyatul Muytarsyidîn. Jadi bisa disimpulkan, bahwa hukum bersalaman usai shalat adalah mubah atau boleh, bahkan menjadi sunnah jika sebelum shalat kedua orang itu belum bertemu.

Begitu juga dalam hadits-hadits Nabi saw tadi tidak ada isyarat yang melarang berjabatan tangan bila sudah bertemu dan tidak ada juga isyarat yang mewajibkan waktu-waktu tertentu orang boleh berjabat tangan. Dengan demikian berjabatan tangan antara sesama jenis muslim itu boleh setiap waktu, apalagi ketika bertemu setelah lama berpisah. Dengan hadits-hadits itu cukup jelas buat kita bahwa berjabatan tangan antara sesama jenis sangat besar manfaat dan pahalanya sebagai sunnah Nabi saw. Berjabat tangan setelah sholat boleh saja, yang penting kita tidak mensyariatkannya, jadi kita anggap amalan mubah saja.

Umpama saja, tidak ada contoh dari Rasulallah saw atau para sahabat tentang berjabatan tangan setelah usai sholat, ini bukan berarti orang yang mengamalkan jabatan tangan setelah sholat itu haram mutlak. Orang boleh mengamalkan apa saja seusai sholat, selama amalan tersebut baik dan tidak berlawanan dengan apa yang telah digariskan oleh syari’at. Memutuskan haram dan halal pada suatu amalan, harus berdalil dari sunnah Rasulallah saw yang jelas dan tegas, bukan hanya dengan alasan bahwa Rasul saw atau para sahabat tidak pernah mengamal kannya. Golongan pengingkar ini sering memahami kalimat hadits secara tekstual dan mudah menvonis suatu amalan haram, sesat, syirik dan lain sebagainya. Bila ada beberapa ulama yang mengatakan bid’ah pada suatu amalan, mereka langsung menvonis bahwa amalan tersebut haram untuk diamalkan. Padahal tidak semuanya Bid’ah itu haram untuk diamalkannya (baca keterangan bid’ah pada buku ini). Wallahua’lam.


Kewajiban membaca Al-Fatihah didalam sholat baik untuk makmum atau imam
Sering kita dengar dari sebagian golongan, yang melarang makmum untuk membaca surat al-Fatihah bila sholat berjamaah (Maghrib, Isya, Shubuh atau sholat Jumat), dengan alasan bahwa bacaan imam sudah termasuk bacaan nya. Apakah benar larangan yang dikatakan saudara kita itu? Marilah kita sekarang meneliti dalil-dalil kewajiban baca al-Fatihah setiap rakaat dalam sholat, baik dikerjakan pada waktu siang hari mau pun malam hari:

Firman Allah swt: ‘Maka bacalah apa yang mudah dari al-qur’an (QS.Al-Muzammil:20). Pada ayat lain disebutkan: ‘Dan sesungguhnya Kami telah berikan kepadamu tujuh ayat yang dbaca berulang-ulang dan al-qur’an yang agung’ (QS.Al-Hijr:87).

Imam Bukhori (V11:381 Al-Fath Al-Bari) meriwayatkan dari Abu Sa’id Al-Mu’alla: “Nabi Muhamad saw lewat dan aku (sedang) mendirikan sholat. Lalu beliau memanggilku. Aku tidak menjawabnya hingga aku selesaikan sholat ku, aku datangi beliau saw. Beliau bersabda: ‘Apa yang menghalangimu untuk mendatangiku ketika aku memanggilmu’? Aku menjawab, ‘aku sedang sholat’ (ketika itu). Beliau saw bersabda: ‘Bukankah Allah swt berfirman, wahai orang orang beriman, jawablah (penuhilah) panggilan Allah dan Rasul-Nya’. Setelah itu beliau bersabda; ‘Senangkah jika aku mengajarimu surah yang paling agung didalam al-qur’an sebelum aku keluar dari masjid’? Setelah –berselang beberapa saat– Nabi Muhamad saw pergi untuk keluar dari masjid. Lalu aku mengingatkannya. Beliau bersabda; ‘Alhamdu lillahi rabbil-‘alamin’, itulah tujuh ayat yang diulang-ulang dan (itulah) al-qur’an yang diberikan padaku’”.

Hadits dari Abu Hurairah ra bahwa Rasulallah saw bersabda: ’Ummu al qur’an ialah tujuh ayat yang diulang-ulang dan al-qur’an yang agung’(Hadits ini diriwayatkan oleh Bukhori dalam Shohih-nya (V11:381 Al-Fath Al-Bari).

Al-Hafidh dalam Fathul Bari V11:382 mengatakan, bahwa Imam Thabrani meriwayatkannya dengan dua isnad yang bagus dari Umar ra, kemudian dari Ali kw. Dia mengatakan, ‘As-Sab’u Al-Matsani itu, adalah Fatihat Al-Kitab‘(Al-Fatihah). Dari Umar ada tambahan ‘Diulang-ulang pada setiap rakaat’.

Imam Bukhori (pada juz ‘Membaca (al-Fatihah) dibelakang Imam’ [bab wajib membaca al-Fatihah, bagi imam dan makmum, dan ukuran miminal yang dibaca] hal. 8 cet. Al-Iman Madinah Al-Munawwarah) mengatakan, ‘secara mutawatir ada berita dari Rasulallah saw bahwa tidak ada sholat (yang sah) kecuali dengan membaca Ummu al-qur’an’ (yakni al-Fatihah).

Imam Bukhori (11:238), Imam Muslim (1:295) dan dalam Al-Fath al-Bari (11:241) ada pembahasan yang lengkap mengenai sabda Rasulallah saw: ‘Tidak ada sholat –yang mencukupi– bagi orang yang tidak membaca Fathihat Al-Kitab’. Hadits ini menurut Imam Bukhori mutawatir. Maksud hadits ini bukan tidak ada sholat yang sempurna, melainkan tidak ada sholat yang mencukupi (sah) bagi orang yang tidak membaca al-Fatihah. Dengan demikian dalil wajibnya membaca al-Fatihah ini, berlaku baik untuk sholat berjamaah maupun yang melakukan sholat sendirian (munfarid). Dalam redaksi yang dikeluarkan oleh Al-Isam’ili melalui jalan Al-Abbas bin Al-Walid Al-Narsi –gurunya Imam Bukhori– dari Sufyan dengan isnad tersebut, dengan redaksi; ‘Tak ada satu sholat pun yang mencukupi, jika tidak di baca Fatihat Al-Kitab’. Al-Hafidh Ibn Hajar dalam Al-Fath (11:241) menyebutkan, bahwa riwayat itu ada mutaba’ah-nya (riwayat yang mengikuti dan menguatkannya) yaitu, yang diriwayatkan Al-Daraquthni. Juga ada saksi penguatnya bagi riwayat Al-Daraquthni tersebut, yang diriwayatkan Ibn Hibban dan Ibn Khuzaimah dalam kedua shohih-nya.

Sedangkan dalil bahwa membaca al-Fatihah itu wajib dilakukan setiap rakaat dalam sholat, adalah sabda Rasulallah kepada seseorang yang melaku- kan sholat tidak sempurna. Rasulallah saw mengajarkannya, apa yang harus di lakukan dalam sholat pada setiap rakaat. Beliau saw bersabda: “Kemudian lakukan itu pada (gerakan) sholatmu semuanya”. Hadits ini diriwayatkan oleh Imam Bukhori [11:277] dan Imam Muslim [1:298].

Rukun sholat yang keempat adalah, membaca al-Fatihah pada setiap rakaat, baik untuk imam mau pun makmum. Demikian pula yang munfarid (sholat sendirian). Begitu juga dalam riwayat Ibn Hibban dalam Shohih-nya (V:89) dan lainnya dikatakan, “Kemudian lakukan itu pada setiap raka’at”. Membaca al-Fatihah tidak gugur (kewajibannya), kecuali bagi makmum yang mendapatkan imamnya sedang rukuk (ketinggalan sholat berjamaah). Dalam kondisi seperti itu, dia dianggap telah mendapatkan satu rakaat (telah membaca al-Fatihah), meskipun dia belum membaca al-Fatihah. Dahulu masalah ini diperselisihkan, tetapi kemudian mendapat ijmak (kesepakatan) para ulama. Demikianlah yang dikutip Ibnul Mundzir dalam kitabnya Al-Ausath 111:115.

Dalil yang mewajibkan untuk membaca al-Fatihah bagi makmum, baik bacaan dalam sholat secara sir/pelan (dhuhur dan ashar) maupun bacaan sholat jahar (maghrib, isya, shubuh, sholat jumat) sebagai berikut:

Pertama: Adalah keumuman kandungan hadits yang telah dikemukakan sebelumnya, yang diriwayatkan oleh Imam Bukhori dan Imam Muslim yaitu; ‘Tidak ada sholat (yang sah) bagi orang yang tidak membaca Fatihat Al-Kitab’ (surat al-Fatihah).

Kedua: Ubbadah bin Shamit ra meriwayatkan: “Kami pernah melaku- kan sholat bersama Rasulallah saw pada sholat shubuh. Beliau merasa berat untuk membaca (al-qur’an/al-Fatihah). Setelah berpaling (selesai sholat), beliau saw bersabda: ‘Sesungguhnya aku melihat kamu sekalian (mengetahuimu), (apakah) kamu membaca dibelakang imam kalian’? Kami menjawab, ‘ya’. Beliau saw bersabda: ’Jangan kalian lakukan kecuali dengan (membaca) Ummu Al-Kitab (al-Fatihah), karena tidak ada sholat (yang sah) bagi orang yang tidak membacanya’”. (HR.Imam Ahmad [V:316]; Imam Bukhori dalam Al-Qiraat Khalfa Al-Imam artinya membaca (al-Fatihah) dibelakang Imam; Ath-Thahawi meriwayatkannya dalam Syarh Ma’ani Al-Autsar (1:215) ; Abu Dawud (1:217-218) ; Imam Turmudzi (II:117) ; Ibnu Khuzaimah dalam shohih-nya (III : 36) ; Ibn Hibban dalam shohih-nya (V:86) ; Al-Baihaqi dalam Syarh As-Sunnah (III:82) dalam Sunan-nya (II:164) dan dalam kitab Ma’rifat As-Sunan Wa Al-Atsar (III:81) dalam periwayatan dan penjelasan yang luas; Ad-Daraquthni (I:318) dan Al-Hakim dalam Al-Mustadrak (I:238). Hadits tersebut shohih dan tsabit (kuat). Dan menurut Al-Khathabi sepeti disebutkan dalam Syarh Muhadzdzab-nya, Imam Nawawi (III:366), ‘Isnad hadits tersebut jayid (bagus sekali) dan tak ada cacadnya’. Hadits tersebut juga telah diakui ke shohihannya oleh Ibnu Hajar dalam Al-Fath (II:242), beliau menyifatinya sebagai hadits tsabit [kuat] ).

Imam Turmudzi (setelah adanya hadits Ubbadah bin Shamit diatas) mengata kan: “Berkenaan dengan bab itu, terdapat riwayat (yang serupa hadits itu) dari Abu Hurairah ra, Siti Aisyah ra, Anas bin Malik, Abu Qatadah dan Abdullah bin Amr”. Imam Turmudzi mengatakan: “Mengamalkan hadits ini, yang berkena an dengan membaca (al-Fatihah) dibelakang imam, berarti mengikuti pendapat kebanyakan ahli ilmu, baik dari kalangan para sahabat Nabi saw mau pun tabi’in. Itu pun pendapat yang dipergunakan oleh Imam Malik bin Anas, Asy-Syafi’i, Ibn Al-Mubarak, Ahmad dan Ishak. Mereka semua berpendapat (mengenai wajibnya) membaca (al-Fatihah) dibelakang imam. Al-Hafidh Al- Zaila’i dalam Nashbu Ar-Riwayah [II:12] berkata: ‘Hadits ini menunjukkan sebab turunnya hadits ‘Siapa yang mempunyai imam, maka bacaan imam menjadi bacaan bagi nya’. [Sebabnya] tersebut ialah, mengangkat suara (menjaharkan) dengan membaca [al-Fatihah] dibelakang imam dan membaca surah disamping membaca al-Fatihah). (yakni: si makmum membaca al-Fatihah dan surah setelah membaca al-Fatihah dibelakang imam, dengan suara jahar —pen.)

Imam Al- Aini dalam Umdat Al-Qari mengatakan, sebagian sahabat kami menganggap hal itu (mengangkat suara dengan membaca al-Fatihah dan surah), sebagai perbuatan yang baik demi ihtiyath (kehati-hatian) dalam segala sholat. Sedangkan menurut sebagiannya hanya terbatas pada sholat sir (yang bukan jahar) saja. Pendapat terakhir ini dipegang oleh fugaha (para ahli fiqih) Hijaz dan Syam (Syria).

Al-Hafidh Ibnu Hajar dalam Al-Fath (II:242), mengenai hadits ‘siapa yang mempunyai imam, maka bacaan imam menjadi bacaan baginya’ berkata: ‘Tetapi hadits tersebut menurut para Hafidh –penghafal hadits– merupakan hadits lemah/dhoif. Semua thariq (jalan) dan ilat-nya telah diambil (dikaji) oleh Al-Daraquthni dan yang lainnya”. Begitu juga diantara yang melemahkan dan menolak hadits tersebut ialah Imam Bukhori dalam Juz Al-Qira’at hal.9. Ia mengatakan, ‘kabar ini tidak tsabit (kuat) menurut para pakar baik menurut penduduk (ulama) Hijaz maupun penduduk (ulama) Irak dan yang lainnya, karena hadits tersebut mursal dan munqathi’ “.

Diantara bukti-bukti lemahnya hadits ‘siapa yang mempunyai imam,maka bacaan imam menjadi bacaan baginya’ tersebut dan kebathilannya adalah:
a) Jika benar bacaan Imam itu mewakili bacaan (rukun sholat yakni al-Fatihah) makmum seperti yang disebutkan dalam dalil hadits tersebut, mengapa dzikir-dzikir yang lain –selain al-Fatihah– seperti tasbih, takbir, tahmid dan lainnya, tidak dibatalkan hukum membacanya dari makmum, padahal hukumnya bacaan-bacaan ini adalah sunnah?

b) Begitu juga seandainya hadits tersebut shohih –dan itu tidak mungkin–, tidak tercantum didalam hadits itu yang menunjukkan bahwa bacaan imam men- cukupi (mencakup semua) bacaan makmum, karena hadits tersebut bersifat umum. Dan kalimat (dalam hadits itu) ‘bacaan imam’ termasuk isim jenis, yang mudhaf (disandarkan) mencakup apa saja yang dibaca oleh imam, tidak hanya terbatas kepada bacaan al-Fatihah saja. Demikian pula halnya dengan firman Allah swt: ‘Dan apabila dibacakan al-qur’an, maka dengarkanlah dan perhatikanlah agar kamu sekalian mendapat rahmat’ dan hadits, ‘jika dia membaca, maka perhatikanlah’.

c) Seandainya hadits itu tsabit (kuat), maka kalimat haditsnya bersifat umum, sehingga mencakup al-Fatihah dan lain-lainnya. Sedangkan hadits Ubbadah (yang telah kami kemukakan tadi) itu, bersifat khusus mengenai bacaan makmum surat al-Fatihah, sehingga hadits ini mengkhususkan atau mengecualikan keterangan yang umum tersebut. Demikianlah yang ditetap kan dan diakui dalam ilmu Ushul (Fiqih). Adapun kalimat hadits ‘dan apabila dia (imam) membaca maka perhatikanlah’, yang disebutkan dalam sebagian riwayat hadits (seperti), ‘imam itu dijadikan hanya untuk di-ikuti, maka apabila ia bertakbir, bertakbirlah…’, riwayat hadits ini tidak kuat. Karena riwayat ini disebutkan dalam Shohih Muslim (I:304) yang mengandung dialog antara Imam Muslim dengan muridnya –Abu Bakar–, yang meriwayatkan hadits shohih Muslim dari Imam Muslim. Imam Nawawi (Al-Majmu’ III:386) mengatakan, ‘menurut Imam Baihaqi, lafadh tersebut tidak ada dari Nabi saw’. Abu Daud dalam Sunannya; ‘lafadh itu tidak terjaga/terpelihara’(laisat bi mahfudhah).

Hadits yang dikemukakan oleh Anas bin Malik ra; “Bahwa Rasulallah saw melakukan sholat dengan para sahabatnya. Setelah selesai sholat, beliau saw menghadap kepada mereka sambil bersabda: ‘Apakah kalian membaca (al-qur’an) dalam sholat kalian dibelakang imam, padahal imam (sedang) membaca? Mereka diam. Rasulallah saw mengucapkan itu tiga kali. Kemudian ada (banyak) yang berkata: ‘Sesungguhnya kami melakukannya (membaca al qur’an)’. Beliau saw bersabda: ‘Maka janganlah kalian lakukan, dan hendak-lah salah seorang diantaramu (masing-masing kalian) membaca Fatihah Al-Kitab didalam dirinya (tidak dijaharkan)’ “ (HR.Ibn Hibban dalam shohih-nya (V:162) ; Imam Daraquthni dalam As-Sunan (I:340), hadits ini shohih ; Al-Hafidh Al-Haitsami dalam Mujma’ Al-Zawaid (II:110) dari hadits Anas ra. Diriwayatkan juga oleh Abu Ya’la. Imam Thabarani dalam Al-Ausath, dan rijal perawinya tsiqat.

Hadits yang dikemukakan oleh Yazid bin Syuraik: “Saya pernah bertanya kepada Umar mengenai membaca (al-qur’an) dibelakang imam. Dia menyuruh ku untuk membaca (alqur’an/al-Fatihah). Saya bertanya; ‘Engkau bagai- mana’? Dia berkata, ‘Aku juga sama’. Saya bertanya lagi, ‘Apakah hal itu di lakukan jika engkau menjahar (dalam sholat jahar)?’. Dia menjawab; ‘Jika aku menjahar (melakukan sholat jahar) aku pun membacanya’”(HR.Al-Daraquthni dalam As-Sunan I:317 mengatakan; ‘Ini isnad shohih’. Atsar-atsar shohih mengenai hal itu dari kalangan sahabat pun banyak, [silahkan lihat pada juz III dari kitab At-Tanaqudhat dalam Mulhaq Khas (tambahan khusus)].

Orang yang tidak membolehkan makmum membaca ayat al-qu’ran (al-Fatihah) dibelakang imam dalam sholat jahar, dengan berdalil hadits Ibn Ukaimah dari Abu Hurairah ra, yang mengatakan, “Rasulallah saw melakukan sholat dengan kami, dimana bacaan (al-Fatihah dan surahnya) dijaharkan. Setelah selesai beliau menghadap kepada orang-orang seraya bersabda; ‘Apa kah ada salah seorang dari kamu yang membaca (al-qur’an) bersama-sama aku’? Kami menjawab, ‘ya’. Beliau saw bersabda: ‘Ingatlah, aku mengatakan, aku tidak pantas menentang al-qur’an (ma li unazi’u Alqurana)’. Abu Hurairah mengatakan, ‘orang-orang pun berhenti membaca (al-qur’an), jika imam men- jaharkan bacaan. Dan mereka membaca (al-Fatihah dan surah) secara sir (pelan) dalam dirinya jika imam tidak menjaharkan bacaannya”.

Menurut sebagian orang kalimat dalam hadits ‘orang-orangpun berhenti membaca..’,hanya sebagai perkataan Abu Hurairah saja. Yang mempunyai paham seperti ini diantaranya Syeikh (al-Albani--pen) yang controversial itu, dalam bukunya Shifatu Shalatihi (Sifat Sholat Nabi Muhamad saw) pada hal.99. Padahal yang benar bukan begitu. Itu hanya kata-kata –mudrajah (tambahan)– yang ditambahkan dari Az-Zuhri. Hal itu telah diterangkan oleh para imam hadits, antara lain Imam Bukhori dalam Juz Al-Qira’at Khalfa Al Imam hal. 29-30.

Hadits Ibn Ukaimah diatas, dibuat dalil/hujjah untuk melarang orang membaca al-Fatihah dibelakang imam adalah keliru. Hadits tersebut dhoif (lihat penjelasannya dalam kitab At-Tanaqudhat Al-Wadihat Juz III oleh Syeikh Hasan bin Ali, jordania). Dan jika benar, didalam hadits tersebut tidak ada isyarat yang melarang membaca al-Fatihah dibelakang imam. Yang dimaksud larangan disini adalah, larangan mengangkat suara/menjaharkan dengan bacaan al- qur’an setelah membaca al-Fatihah. Sebagaimana hal itu dijelaskan pada beberapa riwayat yang shohih. Jadi hadits itu bersifat umum yang ditakhsish (dikhususkan atau dikecualikan sebagian kandungannya). Bila kita telah mengetahui bahwa imam dan makmum (setiap waktu sholat) serta yang melakukan sholat sendirian wajib membaca al-Fatihah, maka ketahuilah bahwa disunnah kan bagi imam untuk diam sebentar setelah selesai membaca al-Fatihah dalam sholat jahar. Tidak lain hal ini memberi kesempatan pada makmum untuk membaca al-Fatihah. Hal ini didasarkan kepada dalil dari hadits Samurah yang mengatakan, ‘dua saktah (dua kali diam sebentar) yang aku hafal (ingat) dari Rasulallah saw’. Tetapi Imran bin Hushain mengingkari itu, dia berkata: ‘Kami menghafal (mengingat) satu kali diam’. Maka kami menyurati Ubay bin Ka’ab di Madinah. Ubay menulis (menjawab), ‘Samurah telah menjaga (sunnah Rasulallah saw)’.

Sa’id –salah seorang perawi hadits tersebut dan putera Abu Arubah– mengatakan, ‘kami berkata kepada Qatadah, apakah yang dimaksud dengan dua kali diam (dua saktah) tersebut’? Ia berkata: ‘Pertama, jika dia masuk dalam sholat (sebelum membaca al-Fatihah) dan yang kedua, jika dia telah selesai membaca (al-Fatihah). Setelah itu dia berkata: ‘(Dan) apabila telah membaca Wa laa Adhdhaalliina’. (HR. Imam Turmudzi [II:31 no. 251] dan dia mengatakan hadits Samurah itu hasan; Imam Ahmad dalam Musnad-nya [V:7]; Imam Baihaqi [II:195] dan lain-lain, hadits ini shohih. Ibn Hibban dalam Shohih-nya [V:112] dan pada halaman 113 dia mengatakan; ‘Sandaran kita pada masalah tersebut ialah Imran dan bukan Samurah’).

Abdullah bin Amr ra meriwayatkan: “Nabi Muhamad saw berkhutbah dihadapan banyak orang: ‘Siapa yang melakukan sholat wajib atau sunnah (subhatan) maka hendaklah membaca Ummu al-qur’an dan (ayat) Quran ber samanya. Jika dia sampai (selesai) membaca Ummu al-qur’an itu cukup baginya. Dan siapa yang (melakukan sholat) bersama imam, maka hendaklah dia membaca (ummul al-qur’an itu) sebelumnya, atau jika dia (imam) diam. Dengan demikian siapa yang melakukan sholat tidak membaca Ummu Alquran, maka sholatnya khidaj (kurang)”(beliau mengucapkannya) tiga kali. (HR.Abdar-Razzaq dalam Al-Mushannaf (II:133 nr. 2787) hadits ini hasan, karena sesungguhnya Al-Mutsanni bin Ash-Shabbah itu tidak tercela dalam periwayatan nya dari Amr bin Syu’aib. Hal itu sebagaimana diperingatkan oleh para penghafal hadits dan telah disebutkan mengenai riwayat hidupnya, dalam Tahdzib At-Tahdzib (X:33). Tetapi dia terkena ikhtilath (kekacauan/percampuran) dalam periwayatannya dari Atha, sebagaimana mereka –ahli hadits– menjelaskan hal itu. Dia diakui kuat/tsiqah oleh yahya bin Mu’in. Sementara pen-dhoif-an oleh jumhur didasarkan kepada apa yang telah kami sebutkan).

Al-Hafidh Ibn Hajar dalam Al-Fath al Bari (II:242) mengatakan, “Atas dasar dalil tersebut jelaslah bahwa imam perlu diam sebentar dalam sholat jahar, supaya makmum berkesempatan membaca al-Fatihah. Hal itu untuk tidak menjerumuskan makmum kepada perbuatan yang dilarang, yakni dia membaca al-qur’an imam membaca al-qur’an juga. Sebetulnya telah ditetap- kan (lewat hadits shohih) bahwa makmum diperbolehkan membaca al-Fatihah dalam sholat jahar tanpa kaid (ikatan/pengecualian).Hadits-hadits yang berkena an dengan masalah tersebut adalah seperti yang dikeluarkan atau diriwayatkan oleh Imam Bukhori pada Bagian Al-Qiraat, Turmudzi, Ibn Hibban dan lain-lainnya dari riwayat Mak-hul dari Mahmud bin Ar-Rabi’ dari Ubbadah, ‘Se- sungguhnya Nabi Muhammad saw. (tampak) berat membaca (Al-Fatihah dalam (sholat) fajar (shubuh)…sampai akhir hadits…(lihat hadits Ubbadah’). Demikianlah menurut Ibn Hajar Al-‘Asqalani. Wallahu a’lam


Kewajiban Membaca Basmalah di Awal surat Al-Fatihah
Setiap orang yang melakukan sholat diwajibkan membaca Basmalah pada awal surat Al-Fatihah karena basmalah merupakan ayat pertama darinya. Hal tersebut didasarkan pada hadits shohih dan kuat dari Rasulallah saw.. Antara lain yang dikemukakan oleh Abu Hurairah ra. bahwa Rasulalallah saw. bersabda: “Jika kamu sekalian membaca Alhamdulillah, maka bacalah Bismillahi Ar-Rahmaan Ar-Rahiim. Sesungguhnya Al-Fatihah itu Ummu Al- qur’an (induk Alqur’an), Ummul-Kitab (induk Kitab), As-Sab’ Al-Matsani dan Bismillahi Ar-Rahmaan Ar-Rahiim. Adalah salah satu ayatnya”. (HR.Daruquth- ny [I:312], Imam Baihaqi [II:45] dan lain-lainnya dengan isnad shohih baik secara marfu’ mau pun secara mauquf).
(Syeikh Saqqaf (pengarang) merasa aneh terhadap at-tanaqudhat (kontradiksi) bahwa muhaddits ash-shuhuf wa al-auraq (pembaharu lembaran-lembaran koran dan kertas), bukanlah pembaharu intelek yang benar dan jujur. (Dia) menshohihkan hadits diatas tersebut dalam beberapa tempat dari kitabnya dan dalam beberapa kitab karangan yang dinisbatkan kepada dirinya, antara lain kitab Shohih Al-Jam’ Wa Ziyadatuh [I:261] dan Shihatuh [III : 179]. Meski pun demikian dia tetap saja berkata dalam kitab Sifat Sholat Nabi–nya halaman 96: “Kemudian Rasulallah saw. membaca Bismillahi Ar-Rahmaan Ar-Rahiim, dan tidak mengeraskan bacaannya”. Jika Basmalah diakui (oleh dia) sebagai salah satu ayat dari Al-Fatihah, lalu mengapa tidak dikeraskan juga bacaannya?)

 Ibnu ‘Abbas ra. meriwayatkan bahwa dia membaca Al-Fatihah, lalu membaca wa-laqad atainaaka sab’an min al-matsaaniya wal Qur’anal ‘Adhiim. Lalu dia berkata, “Itulah Fatihat al-Kitab (Pembuka Al-Kitab/Alqur’an) dan Bismillahir Rahmaanir Rahiim adalah ayat yang ketujuh” (Al-Hafidh Ibn Hajar dalam Al-Fath VIII:382 mengatakan hadits tersebut diriwayatkan oleh Imam Thabrani dengan isnad Hasan).

 Diriwayatkan dari Ummu Salamah ra. bahwa, “Rasulallah saw. membaca Bismillahi Ar-Rahmaan Ar-Rahiim dalamn sholat, dan beliau menganggapnya sebagai satu ayat…”. (HR.Abu Dawud dalam as-Sunan [IV:37], Imam Daraquthni [I:307], Imam Hakim [II:231], Imam Baihaqi [II:44] dan lain-lainnya dengan isnad shohih).

 Imam Ishak bin Rahuwiyah pernah ditanya tentang seseorang yang meninggalkan Bismillahi Ar-Rahmaan Ar-Rahiim. Maka dia menjawab; “Siapa yang meninggalkan ba’, atau sin, atau mim dari basmalah, maka sholatnya batal, karena Al-hamdu (Al-Fatihah) itu tujuh ayat”. (Hal ini akan ditemukan pada kitab Sayr A’lam Al-Nubmala’ [XI:369] karangan Ad-Dzahabi).

 Diriwayatkan dari Ibnu ‘Abbas dan Abu Hurairah [ra] serta yang lainnya: “ Bahwa sesungguhnya Nabi Muhammad saw. menjaharkan (bacaan) Bismillahi Ar-Rahmaan Ar-Rahiim”. (Hadits dari Ibnu ‘Abbas, diriwayatkan oleh Al-Bazzar dalam Kasyf Al-Atsar [I:255]; Al-Baihaqi dalam As-Sunan Al-Kubra [II:47] dan dalam kitab Ma’rifat As-Sunan wa Al-Atsar [II:308] dan lain-lainnya ; Al-Haitsami dalam Mujma’ Al-Zawaid [II:109] mengatakan, hadits tersebut di riwayatkan oleh Al-Bazzar dan rijal-nya mautsuuquun (terpercaya) ; Al-Daraquthni [I:303-304] telah meriwayatkan dalam berbagai macam isnad siapa pun yang menemukannya tidak akan meragukan keshohihannya. Rincian pem- bicaraannya dapat dilihat pada jilid III dari At-Tanaqudhat. Ada pun hadits dari Abu Hurairah ra., diriwayatkan oleh Imam Hakim dalam Al-Mustadrak-nya [I:232] dan perawi lainnya. Haditsnya shohih. Al-Dzahabi rupanya berusaha me lemahkan hadits tersebut dalam Talkhish Al-Mustadrak. Dia mengatakan, ‘Muhammad itu dhaif’, yang dia maksud adalah Muhammad bin Qais, padahal tidak demikian. Muhammad bin Qais sebetulnya orang baik dan terpercaya, termasuk rijal (sanad) Imam Muslim sebagaimana disebutkan dalam Tahdzib At-Tahdzib [IX:367]. Disitu disebutkan Muhammad bin Qais diakui mautsuuq oleh Ya’qub bin Sufyan Al-Fusawi dan Abu Dawud, Al-Hafidh pun mengakui hal itu juga dalam At-Taqrib-nya).

 Disebutkan dalam shohih Bukhori [II:251 dalam Al-Fath al-Bari], bahwa Abu Hurairah ra. berkata: “Pada setiap sholat dibaca (Al-Fatihah dan surah—Red.). Apa yang yang beliau perdengarkan (jaharkan) maka kami pun memperdengarkannya (menjaharkannya), dan apa yang beliau samarkan (lirihkan), maka kami pun menyamarkannya (melirihkannya)…”.

Perkataan orang yang menyebutkan bahwa Rasulallah saw. kadang-kadang melirihkan dan kadang-kadang menjaharkan (bacaan basmalah), itu tidak benar. Karena mereka juga berdalil dengan hadits-hadits mu’allal yang ditolak. Bahkan sebagiannya hanya disimpulkan dari hasil pemahaman (al-mafhum) yang berlawanan dengan hadits al-manthuq, yang jelas menyatakan adanya menjahar bacaan basmalah. Sedangkan yang manthuq itu harus didahulukan atas yang mafhum, sebagaimana ditetapkan dalam ilmu ushul fiqih.

 Imam Muslim dalam Shohih-nya [I:300] meriwayatkan hadits dari Anas ra. yang mengatakan: “Ketika suatu hari Rasulallah saw. berada disekitar kami, tiba-tiba beliau mengantuk (tidur sebentar), lalu mengangkat kepalanya sambil tersenyum. Kami bertanya; ‘Apa yang menyebabkan engkau tertawa wahai Rasulallah’? Beliau menjawab; ‘Tadi ada surah yang diturunkan kepadaku, lalu beliau membaca Bismillahi Ar-Rahmaan Ar-Rahiim, innaa a’thainaaka al-kautsar….sampai akhir hadits’ “. Imam Nawawi mengatakan dalam Syarh Muslim-nya [IV:111) bahwa basmalah itu merupakan satu ayat dari setiap surah kecuali surah Bara’ah atau at-Taubah berlandaskan dalil bahwa basmalah itu ditulis didalam mushaf dengan khath (tulisan/ kaligrafi) mushaf. Hal itu didasarkan kepada kesepakatan sahabat dan ijma’ mereka bahwa mereka tidak akan menetapkan sesuatu didalam Alqur’an dengan khath Alqur’an yang selain Alqur’an. Ummat Islam sesudah mereka pun sejak dahulu sampai sekarang, sepakat atau ber-ijma’ bahwa basmalah itu tidak ada pada awal surah Bara’ah dan tidak ditulis padanya. Hal itu semua menguatkan apa yang telah kami katakan.

Diriwayatkan oleh Abu Nu’aim Al-Mujmir seorang Imam, Faqih, terpercaya termasuk periwayat hadits Shohih Enam sempat bergaul dengan Abu Hurairah ra. selama 20 tahun : “Aku melakukan sholat dibelakang Abu Hurairah ra., maka dia membaca Bismillahi Ar-Rahmaan Ar-Rahiim lalu dia membaca Ummu Alqur’an hingga sampai kepada Wa laadh dhaalliin kemudian dia mengatakan amin. Dan orang-orang pun mengucapkan amin. Setiap (akan) sujud ia mengucapkan Allahu Akbar. Dan apabila bangun dari duduk dia meng ucapkan Allahu Akbar. Dan jika bersalam (mengucapkan assalamu‘alaikum). Dia kemudian mengatakan, ‘Demi Tuhan yang jiwaku ada pada kekuasaan-Nya, sesungguhnya aku orang yang lebih mirip shalatnya dengan Rasulallah saw.  daripada kalian”. (Imam Nasa’i dalam As-Sunan II:134; Imam Bukhori mengisyaratkannya hadits tersebut dalam shohihnya [II:266 dalam Al-Fath] ; Ibnu Hibban dalam shohihnya [V:100] ; Ibn Khuzaimah dalam shohihnya I:251 ; Ibn Al-Jarud dalam Muntaqa halaman 184 ;Al-Daraquthni [I:300] mengatakan semua perawinya tsiqah ; Hakim dalam Al-Mustadrak [I:232] ; Imam Baihaqi dalam As-Sunan [II:58] dan dalam kitab Ma’rifat As-Sunan wa Al-Atsar [II:371] dan mengatakan isnadnya shohih. Dan hadits itu dishohihkan oleh sejumlah para penghafal hadits seperti Imam Nawawi, Ibn Hajar dalam Al-Fath [II:267] bahkan dia mengatakan bahwa Imam Nawawi membuat bab khusus ‘Menjaharkan Bismillahi Ar-Rahmaan Ar-Rahiim’, itulah hadits yang paling shohih mengenai hal tersebut).

Sedangkan menurut Syeikh Saqqaf (pengarang), hadits itu bukan yang paling shohih, justru hadits Anas yang diriwayatkan Imam Bukhori lah yang paling shohih yaitu “Rasulallah saw. me-mad-kan (memanjangkan bacaan) bismillah, me-mad-kan Ar-Rahmaan dan me-mad-kan Ar-Rahiim”. Ibn Hajar dalam Al-Fath II:229 telah menetapkan untuk menggunakan hadits yang menetapkan adanya jahar dalam membaca basmalah. Selanjutnya dia mengatakan, ‘Maka jelaslah (benarnya) hadits yang menetapkan adanya jahar dengan basmalah’.

 Dalam Shohih Bukhori [IX:91 dalam Al-Fath] disebutkan bahwa Anas bin Malik ra. pernah di tanya mengenai bacaan Nabi Muhammad saw.. Dia men- jawab: “Bacaan Nabi itu (mengandung) mad (dipanjangkan), (yakni) memanjangkan bacaan Bismillah, memanjangkan kata Ar-Rahman dan memanjangkan kata Ar-Rahim”.

Ada pun hadits Anas ra. yang antara lain mengatakan: “Aku melakukan shalat dibelakang Nabi Muhammad saw., Abu Bakar, Umar dan ‘Utsman. Mereka membuka (bacaan Alquran) dengan Alhamdulillah Rabbil ‘Aalamiin dan mereka tidak menyebut (membaca) Bismillahi Ar-Rahmaan Ar-Rahiim baik di awal pembacaannya mau pun di akhirnya”. Dalam riwayat lain disebutkan: “Maka aku tidak mendengar salah satu di antara mereka membaca Bismillahi Ar-Rahmaan Ar-Rahiim yang diriwayatkan Imam Muslim dalam shohih-nya [I:299 no.50 dan 52]. Hadits tersebut mu’allal (hadits yang mempunyai banyak ‘ilat atau yang menurunkannya dari derajat shohih). Diantara ‘ilat atau penyakit yang melemahkan derajat hadits itu adalah, ungkapan terakhir dalam hadits tersebut ‘Mereka tidak menyebut atau membaca Bismillah’. Sebenarnya itu bukan dari perkataan (hadits) Anas, tetapi hanya perkataan salah seorang perawi yang memahami kata-kata Alhamdulillah Rabbil ‘Aalamiin dan tidak bermaksud untuk meniadakan basmalah dari Al-Fatihah.

Argumentasi ini dikuatkan dengan hadits Abu Hurairah ra., disebutkan bahwa Rasulallah saw. bersabda, ”Alhamdulillah rabbil ‘aalamiin sab’u ayat ihdaa- hunna Bismillahi Ar-Rahmaan Ar-Rahiim, wa hiya as-sab’u al-matsaani wa al-Quraani al-‘adhiim, wa hiya Ummu Al-Qur’an wa Fatihat Al-Kitaab, (Al-Fatihah itu tujuh ayat, salah satunya adalah Bismillahi Ar-Rahmaan Ar-Rahiim. Itulah tujuh (ayat) yang diulang-ulang Al-qur’an yang agung dan itulah induk Alqur’an dan Fatihat (Pembuka) Al-Kitab (Alqur’an)”. Al-hafidh Al-Haitami dalam Al-Mujma’ [II:109] mengatakan, “Hadits tersebut diriwayatkan Imam Thabarani dalam Al-Ausath, rijal-nya tsiqat”.
Dari keterangan itu semua dapat ditetapkan ada empat indikasi mengenai kelemahan hadits Anas ra diatas tersebut:

a). Hadits yang shohih dan tsabit (kuat) yang diriwayatkan Imam Bukhori dari Anas berlawanan dengan hadits tersebut. Dalam hadits itu disebutkan, “Baca- an Nabi itu (mengandung) mad (dipanjangkan), (yakni) memanjangkan bacaan Bismillah, memanjangkan kata Ar Rahman dan memanjangkan kata Ar-Rahim”.

b). Semua Hafidh pakar penghafal hadits yang menulis dalam Mushthalah Hadits dan mengarang mengenai hadits, menyebutkan hadits Anas tersebut sebagai contoh hadits mu’allal yang meniadakan menjahar basmalah dalam Al-Fatihah itu

c). Hadits Anas tersebut, disamping mu’allal, bersifat meniadakan, sedangkan hadits Anas yang lainnya beserta hadits-hadits lain dari para sahabat menetapkan (istbat) adanya jahar dalam membaca basmalah. Padahal seperti yang di tetapkan dalam ilmu ushul fiqh ialah Yang menetapkan (al-mutsbit) itu harus didahulukan daripada yang meniadakan, apalagi yang meniadakan itu masih mengandung ‘ilat (berupa hadits mu’allal). Men-jam’u (mengkompromikan) pun tidak bisa dilakukan.

d) Diriwayatkan secara kuat dan benar, bahwa para sahabat yang empat -radhiyallahu ‘anhum- khususnya khalifah Umar dan khalifah ‘Ali semuanya menjaharkan bacaan basmalah dalam Al-Fatihah (lihat umpamanya kitab Ma’rifat As-Sunan Wa Al-Atsar [II:372 dan 378] ).Wallahu a’lam. (Dinukil dari kitab Shalat Bersama Nabi saw. oleh Hasan Bin ‘Ali As-Saqqaf [Syeikh Saqqaf, Jordania] cet. pertama, 1993 hal.107 s/d hal.111, diterjemahkan oleh Drs. Tarmana Ahmad Qosim diterbitkan oleh Pustaka Hidayah Bandung).

Tidak mengerak-gerakkan jari telunjuk ketika Tasyahhud
Masyarakat muslim terutama yang berpegang kepada madzhab Syafi’i telah mengetahui dan mengamalkan petunjuk dan ajaran para ulama bahwa sunnah ketika mengucapkan Asyhadu allaa ilaaha illallah pada duduk tasyahhud atau tahiyyat untuk mengangkat jari telunjuknya apabila telah sampai pada illallah dalam syahadat dan tidak diturunkan jari telunjuknya sampai mengucapkan salam. Perlu diketahui yang disunnahkan hanyalah mengangkat jari telunjuknya saja tanpa tahrik (digerak-gerakkan) karena makruh hukumnya. Marilah kita ikuti dalil-dalilnya berikut ini :

 Diriwayatkan dari Abdullah bin Umar ra.; “Jika Rasulallah saw. duduk dalam tasyahhud, beliau meletakkan tangan kirinya diatas lututnya yang kiri, dan meletakkan tangan kanannya pada lutut yang kanan, seraya membuat (angka) lima puluh tiga sambil berisyarat dengan telunjuknya”. (HR. Imam Muslim dalam Shohih-nya I/408).

Yang dimaksud dengan lima puluh tiga dalam hadits itu ialah menggenggam tiga jari (jari tengah, jari manis dan kelingking) itulah angka tiga. Sedangkan jari telunjuk dan ibu jari di julurkan sehingga membentuk semacam lingkaran bundar yang mirip angka lima (angka bahasa arab), dengan demikian menjadilah semacam angka lima puluh tiga.

Dalam satu riwayat seperti yang diriwayatkan Imam Muslim I/408 dari Ali bin Abdurrahman Al-Mu’awi, dia mengatakan; “Abdullah bin Umar ra. melihat aku bermain-main dengan kerikil dalam sholat. Setelah berpaling (selesai sholat), beliau melarangku, seraya berkata; ‘Lakukanlah seperti apa yand dilakukan oleh Rasulallah itu’. Dia berkata; ‘Jika Rasulallah saw. duduk dalam sholat beliau meletakkan tangan kanannya pada paha kanannya seraya menggenggam semua jemarinya, dan mengisyaratkan (menunjukkan) jari yang dekat ibu jarinya ke kiblat (penambahan kata ke kiblat ini terdapat pada shohih Ibnu Hibban V:274; shohih Ibn Khuzaimah I:356 dan lainnya). Beliau juga meletakkan tangan kirinya diatas paha kirinya’ ”. Al-Isyarah (mengisyaratkan) itu menunjukkan tidak adanya (perintah) menggerak-gerakkan, bahkan meniadakannya untuk tahrik.

 Diriwayatkan dari Numair Al-Khuzai seorang yang tsiqah dan salah seorang anak dari sahabat ; “Aku melihat Rasulallah saw. meletakkan dzira’nya [tangan dari siku sampai keujung jari] yang kanan diatas pahanya yang kanan sambil mengangkat jari telunjuknya dan mem- bengkokkannya [mengelukkannya] sedikit”. (HR.Ahmad III:471 ; Abu Dawud I:260 ; Nasa’i III:39 ; Ibn Khuzaimah dalam shohihnya I:354 dan penshohihannya itu ditetapkan oleh Ibn Hajar dalam Al-Ishabah no.8807 ; Ibn Hibban dalam As-Shohih V:273 ; Imam Baihaqi dalam As-Sunan Al-Kubra II:131 serta perawi lainnya.

 Diriwayatkan dari Ibnu Zubair bahwa “Rasulallah saw. berisyarat dengan telunjuk dan beliau tidak menggerak-gerakkannya dan pandangan beliau pun tidak melampaui isyaratnya itu” (HR. Ahmad, Abu Dawud, An-Nasa’i dan Ibnu Hibban). Hadits ini merupakan hadits yang shohih sebagaimana diterangkan oleh Imam Nawawi dalam Al-Majmu’ jilid III:454 dan oleh sayyid Umar Barokat dalam Faidhul Ilaahil Maalik jilid 1:125.

 Diriwayatkan pula dari Abdullah bin Zubair ra. bahwa “Rasulallah saw.berisyarat dengan jarinya (jari telunjuknya) jika berdo’a dan tidak menggerak-gerakkannya”. (HR.Abu ‘Awanah dalam shohihnya II:226 ; Abu Dawud I:260 ; Imam Nasa’i III:38 ; Baihaqi II:132 ; Baihaqi dalam syarh As-Sunnah III:178 dengan isnad shohih). Ada pun hadits yang menyebutkan Yuharrikuha (menggerak-gerakkannya) itu tidak kuat (laa tatsbut) dan merupakan riwayat syadz (yang aneh). Karena hadits mengenai tasyahhud dengan mengisyaratkan (menunjukkan) telunjuk itu serta meniadakan tahrik adalah riwayat yang sharih (terang-terangan) dan diriwayatkan oleh sebelas rawi tsiqah dan kesemuanya tidak menyebutkan adanya tahrik tersebut. Seseorang yang mengaku bahwa mutsbat (yang mengatakan ada) itu harus didahulukan (muqaddam) atas yang menafikan/meniadakannya, maka orang tersebut tidak memahami ilmu ushul. Karena kaidah ushul itu mempunyai kelengkapan yang tidak sesuai untuk dipakai dalam masalah itu.

Hadits-hadits lainnya yang tidak menyebutkan adanya menggerak-gerakkan jari telunjuk itu menguatkan keterangan dari hadits yang menafikannya. Dari hadits Ibnu Zubair tersebut dapat di ambil kesimpulan bahwa: a). Sunnah mengangkat telunjuk diketika tasyahhud. b) Nabi tidak menggerak-gerakkan telunjuknya dan pandangan Nabi terus tertuju kepada telunjuknya yang sedang berisyarat itu.

Alasan yang mengatakan bahwa Rasulallah saw. tidak mengisyaratkan jemarinya sejak awal tasyahhud tetapi ketika mengucapkan syahadat, berupa beberapa dalil, antara lain: Hadits Wail bin Hujr, yang menyebutkan, “Dan Rasulallah saw. menjadikan (meletakkan) sikunya yang kanan di atas, lalu menggenggam dua jari dan beliau membuat suatu lingkaran, kemudian mengangkat jari (telunjuk)nya”. Demikian menurut lafadh Al-Darimi. Sedangkan menurut lafadh Ibn Hibban dalam Shohihnya V:272, “Dan beliau (saw.) mengumpulkan ibu jari dengan jari tengah dan mengangkat jari yang didekatnya seraya berdo’a dengan (menunjukkan)nya”.
Sebagian orang menyangka bahwa tahliq (membuat lingkaran) itu maksudnya menggerak-gerakkan telunjuk untuk membuat semacam lingkaran. Padahal sebenarnya yang dimaksud tidak demikian. Membuat lingkaran itu maksudnya menjadikan jari tengah dan ibu jari semacam lingkaran, lalu telunjuk diisyaratkan.

Waktu mengangkat jari telunjuk.
Dalam shohih Muslim II:890 meriwayatkan hadits dari Jabir ra. menyebutkan bahwa “Rasulallah saw., bersabda seraya (berisyarat) dengan jari telunjuknya. Beliau mengangkatnya ke langit dan melemparkan (mengisyaratkan kebawah) ke manusia, ‘Allahumma isyhad, Allahumma isyhad (ya Allah saksikanlah)’. Beliau mengucapkannya tiga kali”.

Telunjuk disebut juga syahid (saksi), sebab jika manusia mengucapkan syahadat, dia berisyarat dengan telunjuk tersebut. Nabi saw. sendiri jika mengatakan “Asyhadu” atau “Allahumma isyhad” (suka) berisyarat dengan telunjuknya, sebagaimana yang diriwayatkan oleh Imam Darimi I:314-315 dan Imam Baihaqi dalam kitab Ma’rifat As-Sunnah wal Al-Atsar III:51, hadits shohih.

Dalam sunan Baihaqi II:133 disebutkan: “Rasulallah saw. melakukan itu ketika men-tauhid-kan Tuhannya yang Mahamulia dan Mahaluhur”, yakni ketika menetapkan tauhid dengan kata-kata illallah (hanya Allah) dalam syahadat. Dalam riwayat lain, Imam Baihaqi II:133 dengan sanad yang sama dari Khilaf bin Ima’ bin Ruhdhah Al-Ghiffari dengan redaksi, “Sesungguhnya Nabi Muhammad saw. hanya menghendaki dengan (isyarat) itu adalah (ke) tauhidan (Meng-Esa-kan Allah swt.)”, sedangkan ungkapan ketauhidan terdapat dalam kalimat syahadat itu. Al-Hafidh Al-Haitsami mengatakan dalam Mujma’ Al-Zawaid II:140, “Hadits tersebut diriwayatkan oleh Imam Ahmad secara panjang lebar…”.
Hal ini juga didasarkan kepada hadits Abdullah bin Umar ra.; “Dan (beliau saw.) mengangkat jari tangan kanannya yang dekat ke ibu jari lalu berdo’a”. (HR.Imam Muslim dan Imam Baihaqi II:130, serta perawi lainnya). Do’a yang dimaksud hadits tersebut ialah membaca sholawat kepada Nabi saw. dan do’a-do’a lainnya sebelum mengucapkan salam.
Imam Al-Baihaqi dalam Syarh As-Sunnah III:177 mengatakan “Yang dipilih oleh ahli ilmu dari kalangan sahabat dan tabi’in serta orang-orang setelah mereka adalah berisyarat dengan jari telunjuk (tangan) kanan ketika mengucapkan tahlil (la ilaaha illallah) dan (mulai) mengisyarat- kannya pada kata illallah….”.

Berdasarkan hadits-hadits shohih tersebut, disimpulkan bahwa waktu untuk mengangkat dan mengisyaratkan (jari) telunjuk, yaitu ketika mengucapkan kalimat syahadat yakni Asyhadu an laa ilaaha illallah dan tidak menurunkannya sampai mengucapkan salam. Para ulama telah melakukan ijtihad dimana tempat yang tepat untuk mengangkat telunjuk pada kalimat syahadat itu. Apakah sejak dimulainya tasyahhud atau ditengah-tengahnya karena di dalam hadits-hadits tersebut tidak ditentukan tempatnya yang tepat.
Menurut madzhab Syafi’i, bahwa tempat mengangkat telunjuk itu sebaiknya apabila telah sampai pada hamzah illallah, sebagaimana yang tersebut dalam kitab Zubad karangan Ibnu Ruslan: “Ketika sampai pada illallah, maka angkatlah jari telunjukmu untuk mentauhidkan zat yang engkau sembah”.

Menurut madzhab Hanafi, bahwa mengangkat telunjuk itu adalah diketika Laa ilaaha dan meletak kan telunjuk diketika illallah. Menurut pendapat ini, mengangkat telunjuk adalah sebagai isyarat kepada penafian uluhiyyah (ketuhanan) dari yang selain Allah, sedangkan ketika meletakkan telunjuk adalah sebagai isyarat kepada penetapan uluhiyyah hanya untuk Allah semata.

Menurut madzhab Hanbali, bahwa mengangkat telunjuk itu adalah disetiap menyebut lafdhul jalalah pada tasyahhud dan do’a sesudah tasyahhud.

Menggerak-gerakkan jari makruh hukumnya:
Jumhur ulama Syafi’i memakruhkan menggerak-gerakkan telunjuk waktu tasyahhud, dalam Hasiyah al-Bajuri jilid 1:220: “Dan tidaklah boleh seseorang itu menggerak-gerakkan jari telunjuknya. Apabila digerak-gerakkan, maka makruh hukumnya dan tidak membatalkan sholat menurut pendapat yang lebih shohih dan dialah yang terpegang karena gerakan telunjuk itu adalah gerakan yang ringan. Tetapi menurut satu pendapat; Batal sholat seseorang apabila dia meng- gerak-gerakkan telunjuknya itu tiga kali berturut-turut [pendapat ini bersumber dai Ibnu Ali bin Abi Hurairah sebagaimana tersebut dalam Al-Majmu’ III/454]. Dan yang jelas bahwa khilaf [perbeda- an) tersebut adalah selama tapak tangannya tidak ikut bergerak. Tetapi jika tapak tangannya ikut bergerak maka secara pasti batallah shalatnya”.

Imam Nawawi dalam Fatawa-nya halaman 54 dan dalam Syarh Muhadzdab-nya III/454 menyatakan makruhnya menggerak-gerakkan telunjuk tersebut. Karena perbuatan tersebut merupakan perbuatan sia-sia dan main-main disamping menghilangkan kekhusyuan.

Dalam kitab Bujairimi Minhaj 1/218: “Tidak boleh mentahrik jari telunjuk karena ittiba’ (mengikuti sunnah Nabi). Jika anda berkata; ‘Sesungguhnya telah datang hadits yang shohih yang menunjuk kepada pentahrikan jari telunjuk dan Imam Malik pun telah mengambil hadits tersebut. Begitu pula telah beberapa hadits yang shohih yang menunjuk kepada tidak ditahriknya jari telunjuk. Maka manakah yang diunggulkan’? Saya menjawab: ‘Diantara yang mendorong Imam Syafi’i mengambil hadits-hadits yang menunjuk kepada tidak ditahriknya jari telunjuk adalah karena yang demikian itu dapat mendatangkan ketenangan yang senantiasa dituntut keberada- annya didalam sholat”.

Dalam kitab Tuhfatul Muhtaj II:80: “Tidak boleh mentahrik jari telunjuk diketika mengangkatnya karena ittiba’. Dan telah shohih hadits yang menunjuk kepada pentahrikannya, maka demi untuk menggabungkan kedua dalil, dibawalah tahrik itu kepada makna ‘diangkat’. Terlebih lagi didalam tahrik tersebut ada pendapat yang menganggapnya sebagai sesuatu yang haram yang dapat membatalkan sholat. Oleh karena itu kami mengatakan bahwa tahrik dimaksud hukumnya makruh”.

Dalam kitab Mahalli 1/164: “Tidak boleh mentahrik jari telunjuk karena berdasarkan hadits riwayat Abu Dawud. Pendapat lain mengatakan; ‘Sunnah mentahrik jari telunjuk karena berdasarkan hadits riwayat Baihaqi’, beliau berkata bahwa kedua hadits itu shohih. Dan didahulukannnya hadits pertama yang menafikan tahrik atas hadits kedua yang menetapkan tahrik adanya karena adanya beberapa maslahat pada ketiadaan tahrik itu”.

Dalam kitab Syarqawi 1/210: “Mengangkat telunjuk itu adalah dengan tanpa tahrik. Telah datang pula hadits yang menunjuk adanya tahrik. Namun dalam kasus ini yang menafikan didahulukan dari yang menetapkan. Berbeda dengan kaidah ushul Fiqih (bahwa yang menetapkan didahulu- kan dari yang menafikan). Hal ini karena adanya beberapa maslahat pada ketiadaan mentahrik itu yakni; ‘Bahwa yang dituntut dalam sholat adalah tidak bergerak karena bergerak-gerak dapat menghilangkan kekhusyu’an dan juga tahrik itu adalah sejenis perbuatan yang tidak ada gunanya dan sholat haruslah terpelihara dari hal tersebut selama itu memungkinkan. Oleh karena itu ada pendapat yang membatalkan shalat karena melakukan tahrik walau pun pendapat ini dho’if”.

Dalil orang yang menggerak-gerakkan telunjuk:
Orang yang mengatakan sunnah hukumnya menggerak-gerakkan telunjuk berdalil hadits riwayat Wa’il bin Hujrin yang menerangkan tentang tata cara sholat Nabi. Riwayat yang dimaksud ialah: “Kemudian Nabi mengangkat jari telunjuknya maka aku melihat beliau menggerak-gerakkannya sambil berdo’a”. (HR.Nasa’i) Hadits ini oleh sebagian madzhab Maliki dijadikan dalil untuk mensunnahkan tahrik yakni menggerak-gerakkan telunjuk itu dengan gerakan yang sederhana dimulai sejak awal tasyahhud hingga akhirnya. Dan gerakan tersebut mengarah ke kiri dan ke kanan, bukan ke atas dan ke bawah (Al-Fighul Islami 1/716).

 Mereka juga berdalil dengan hadits dari Ibnu Umar yang menyatakan bahwa: “Menggerak-gerakkan telunjuk diwaktu shalat dapat menakut-nakuti setan”. Ini hadits dho’if karena hanya di riwayatkan seorang diri oleh Muhammad bin Umar al-Waqidi ( Al-Majmu’ III/454 dan Al-Minhajul Mubin hal.35). Ibn ‘Adi dalam Al-Kamil Fi Al-Dhu’afa VI/2247; “Menggerak-gerakkan jari (telunjuk) dalam sholat dapat menakut-nakuti setan” adalah hadits maudhu’ ”.

Atau mereka berdalil dengan ucapan seorang Syeikh dalam kitabnya Sifat-sifat Sholat Rasulallah saw. ,khususnya halaman 158-159, mengemukakan sebuah hadits; “Beliau (saw.) mengangkat jarinya (dan) menggerak-gerakkannya seraya berdo’a. Beliau bersabda; ‘Itu yakni jari sungguh lebih berat atau lebih keras bagi setan daripada besi’ ”.

Padahal redaksi hadits yang sebenarnya tidak seperti yang disebutkan oleh Syeikh tersebut. Syeikh ini telah menyusun dua hadits yang berbeda dengan menyusupkan kata-kata yang sebenarnya bukan dari hadits, supaya dia mencapai kesimpulan yang dikehendakinya. Redaksi hadits yang sebenarnya ialah seperti yang terdapat dalam Al-Musnad II:119, Al-Du’a karangan Imam Thabarani II:1087, Al-Bazzar dalam Kasyf Al-Atsar I:272 dan kitab hadits lainnya yang berbunyi: “Diriwayatkan dari Nafi’, bahwa Abdullah bin Umar ra., jika (melakukan) sholat ber- isyarat dengan (salah satu) jarinya lalu diikuti oleh matanya, seraya berkata, Rasullah saw. bersabda; ‘Sungguh itu lebih berat bagi setan daripada besi’ “. Jadi dalam hadits tersebut tidak di sebutkan kata-kata Yuharrikuha (menggerak-gerakkannya) tetapi hanya disebutkan ‘berisyarat dengan jarinya’.

Tetapi Syeikh ini telah berani melakukan penyelewengan terhadap hadits (tahrif) sehingga dia mendapatkan apa yang dikehendaki meski pun dengan tadlis (menipu) dan tablis (menimbulkan keraguan pada umat Islam). Al-Bazzar berkata; “Katsir bin Zaid meriwayatkan secara sendirian (tafarrud) dari Nafi’, dan tidak ada riwayat (yang diriwayatkan Katsir ini) dari Nafi’ kecuali hadits ini”. Syeikh ini sendiri di kitab Shohihah-nya IV:328 mengatakan; ‘Saya berkata, Katsir bin Zaid adalah Al-Aslami yang dha’if atau lemah’!

Hadits yang menyebutkan, ‘Sungguh ia (jari) itu lebih berat bagi setan daripada besi’, sebenarnya tidak shohih dan ciri kelemahannya itu setan atau iblis itu tidak bodoh sampai mau meletakkan kepalanya dibawah jari orang yang menggerak-gerakkannya sehingga setan itu terpukul dan terpental. Orang yang mengatakan bahwa ungkapan semacam itu dhahir maka dia salah dan tidak memahami ta’wil. Sedangkan riwayat Abdullah bin Zubair yang memuat kata-kata La Yuharrikuha (tidak menggerak-gerakkannya) itu adalah tsabit (kuat) tidak dinilai syadz dan hadits shohih lainnya pun menguatkannya seperti hadits riwayat Muslim dari Abdullah bin Umar ra. dan lain-lain.

Para Imam (Mujtahidin) pun tidak mengamalkan hadits yang mengisyaratkan tahrik itu termasuk ulama dahulu dari kalangan Imam Malik (Malikiyyah) sekali pun. Orang yang melakukan tahrik itu bukan dari madzhab Malikiyyah dan bukan juga yang lainnya. Al-Hafidh Ibn Al-‘Arabi Al-Maliki dalam ‘Aridhat Al-Ahwadzi Syarh Turmduzi II/85 menyatakan; “Jauhilah olehmu menggerak-gerakkan jarimu dalam tasyahhud, dan janganlah berpaling keriwayat Al-‘Uthbiyyah, karena riwayat tersebut baliyyah (mengandung bencana)”.

Al-Hafidh Ibn Al-Hajib Al-Maliki dalam Mukhtashar Fiqh-nya mengatakan bahwa yang masyhur dalam madzhab Imam Malik adalah tidak menggerakkan telunjuk yang diisyaratkan itu.
Tiga imam madzhab lainnya yakni Hanafi, Syafi’i dan Hanbali tidak memakai dhohir hadits Wa’il bin Hujr tersebut sehingga dapat kita jumpai fatwa beliau bertiga tidak mensunnahkan tahrik. Hal ini disebabkan karena mensunnahkan tahrik berarti menggugurkan hadits Ibnu Zubair dan hadits-hadits lainnya yang menunjukkan Nabi saw. tidak menggerak-gerakkan telunjuk.

Imam Baihaqi yang bermadzhab Syafi’i memberi komentar terhadap hadits Wa’il bin Hujr sebagai berikut : “Terdapat kemungkinan bahwa yang dimaksud dengan tahrik disitu adalah mengangkat jari telunjuk, bukan menggerak-gerakkannya secara berulang sehingga dengan demikian tidaklah bertentangan dengan hadits Ibnu Zubair”. Kesimpulan Imam Baihaqi adalah hasil dari penerapan metode penggabungan dua hadits yang berbeda karena hal tersebut memang memungkinkan. Kalau mengikuti komentar Imam Baihaqi ini, memang semulanya jari telunjuk itu diam dan ketika sampai pada hamzah illallah ia kita angkat, maka itu menunjukkan adanya penggerakan jari telunjuk tersebut, tetapi bukan digerak-gerakkan berulang-ulang sebagaimna pendapat sebagian orang. Wallahu a’lam (dikutip dari kitab Shalat Bersama Nabi saw. oleh Hasan Bin ‘Ali As-Saqqaf [Syeikh Saqqaf, Jordania] cet. pertama, 1993 hal.187, diterjemahkan oleh Drs.Tarmana Ahmad Qosim dan dari buku Argumentasi ulama Syafi’iyah oleh Ustadz H.Mujiburrahman

Tata cara singkat Haji dan ‘Umrah (Haji Tamattu') dan sunnahnya
Perintah untuk Haji dan ‘Umrah berlaku bagi muslimin baik lelaki maupun wanita bagi yang mampu (Al-Imran:97). Yang dianggap mampu menurut syari’at Islam antara lain:
a) Baliqh, b) sehat, c) memiliki bekal dan kendaraan baik utk pribadinya pulang pergi dan untuk keluarga yang ditinggalkannya, d) Bebas dari Hutang , e) Jalan aman dari perampokan, penyakit dan lain sebagainya. Ada beberapa riwayat mengenai kapan diwajibkannya haji, ada yang mengatakan tahun ke 6 Hijriyah, ada yang mengatakan tahun ke 9 atau ke 10 hijriah.

Secara singkat macam2nya haji ada tiga :
Ifrad : Ihram utk Haji lebih dahulu kemudian ‘Umrah tanpa Qurban
Qiran : Ihram untuk Haji dan ‘Umrah sekaligus, Qurban
Tamattu’ : Ihram utk ‘Umrah dahulu kemudian ihram utk Haji, Qurban setelah pelemparan jumrah

I. MIQAT: Tempat memulai berihram bagi orang yang mau mengerjakan Haji atau ‘Umrah. Bagi penduduk Madinah: dari Dzul Hulaifah; Bagi penduduk Syam (Syria, Libanon, Palestina dan Yordania), Mesir dan Marokko dari Juhfah; Bagi penduduk Yaman Yalamlam; Bagi penduduk Irak Al-‘Aqiq; Bagi penduduk Thaif dan penduduk Nejed ialah Qarn; Bagi penduduk Mekkah dari rumahnya masing2, kecuali kalau bukan untuk manasik haji, maka harus keluar ke Tan’im. Ber-ihram sebelum masuk Miqat itu sah jadi umpama dari rumahnya atau dari negaranya sendiri, tetapi bila orang baru ber-ihram setelah melewati Miqat maka tidak sah ihramnya.

II. Sebelum ihram: Sunnah membersihkan badan, potong kuku, memendekkan kumis, mencabut bulu ketiak, mencukur bulu kemaluan setelah itu mandi (boleh memakai sabun) dengan niat ihram, boleh pakai minyak wangi sebelum ber-ihram, pakai pakaian ihram kemudian sholat sunnah dengan niat untuk ihram minimal 2 raka’at sampai 6 raka’at. Setelah itu niat untuk ‘Umrah, Labbaik Allahumma bi ‘‘Umrah (bagi haji Tamattu’) bagi Haji Qiran niat haji dan ‘Umrah (Labbaik Allahumma bi Haj wa ‘‘Umrah) kemudian membaca Talbiyah (Labbaik Allahumma labbaik, labbaik laa syarikalaka labbaik, Innal hamda wan ni’mata laka wal mulka laa syariika laka) sunnah keras bagi lelaki bukan bagi wanita. Bagi wanita yang haidh juga disunnahkan mandi niat ihram tetapi tanpa sholat dan tidak boleh masuk masjid !! Setelah wanita itu suci maka dia harus mandi wajib kemudian ke masjidil Haram Mekkah untuk melaksanakan thawaf dan Sa’i!

Yang dilarang waktu ber-ihram:
a) Bersenggama: Hajinya batal tetapi harus menyempurnakannya dan menyembelih onta b) mencium isteri: Hajinya tidak batal. Bila sampai keluar sperma harus menyembelih onta, tetapi kalau tidak sampai keluar sperma harus menyembelih kambing. c) Berselisih dengan teman sejawat, berdebat yang tidak berdasarkan ilmu agama, tetapi dibolehkan berdebat bila mencari kebenaran dalam agama. d) Berbuat maksiyat. e) Memakai (pakaian berjahit, baju, serban, jubah, pakai sepatu [bagi lelaki], pakaian yang dicelup minyak wangi, dll). Bagi wanita tidak boleh memakai cadar dan kaos tangan, boleh memakai pakaian sutera bagi wanita. f) Melangsungkan aqad nikah baik utk dirinya maupun utk orang lain sebagai wali, tetapi dibolehkan rujuk (kembali) kepada isterinya yang masih idah. g) Tak boleh memotong atau mencukur rambut, memotong kuku. Bila ada udzur/halangan umpamanya kukunya pecah dan sakit harus dipotong maka dibolehkan, tetapi untuk memotong rambut yg harus dicukur karena berhalangan maka harus bayar seekor kambing.(fidyah/dam). h) Memakai minyak wangi baik dipakaian maupun dibadan dengan sengaja.

Juga menaruh bahan2 penyedap yang harum dlm makanan & minuman jika tidak berbau dan terasa serta tidak tampak lagi warnanya sewaktu dimakan & diminum itu dibolehkan, jika masih ada harus membayar seekor kambing (menurut Imam Syafi’i). i) Tidak boleh memakai minyak walaupun tanpa harum2an di rambut kepala dan jenggot. j) Sengaja berburu binatang darat, merusak telor2nya, memerah susunya dll. Boleh memakan daging buruan yang tidak diburu olehnya atau tidak atas suruhannya untuk memburu. k) Mencabut atau memotong rumput2an atau pohon2an basah.

Kalau melanggar salah satu dari yg tsb. diatas (kecuali bersenggama) karena suatu udzur/halangan harus membayar fidyah seekor kambing atau memberi makan 6 orang a 1 ½ ltr. atau puasa 3 hari. Tetapi kalau melanggar tanpa adanya udzur yang dibolehkan maka menyembelih seekor kambing. Bagi orang yang tidak mampu menyembelih kambing maka dia harus puasa 3 hari waktu di tanah haram dan 7 hari waktu kembali kenegerinya. Sedangkan melanggar karena lupa atau tidak tahu (kecuali pada kolom a dan b) maka tidak bayar apa2.

Yang dibolehkan waktu Ihram:
a) Mandi, (tetapi ulama berselisih apa boleh menyiram kepalanya, ada yang membolehkan dan ada yang tidak membolehkan, jadi lebih baik jangan disiram kepalanya).
b)ganti pakaian ihramnya c) keluar darah, nanah, atau harus mengeluarkan nanah dari lukanya d) bersuntik e) menggaruk badan f) bercelak g) mengikat pundi2 utk menyimpan uang h) bercermin (ada yang memakruhkan) i) membuang binatang yang ada ditubuh (semut, nyamuk dll) tetapi jangan membunuhnya karena ada ulama yang mengatakan tidak boleh membunuh h) menutupi muka dari debu i) memakai minyak tanpa harum2an dibolehkan dibagian tubuh kecuali rambut dan jenggot. j) Mimpi keluar sperma itu juga tidak apa2 hanya wajib atasnya mandi.

III. Di Masjid Haram Mekkah:
Sesampai di Masjid masuklah dari pintu Babus Salam baca do’a; Allahumma antas salam wa minkas salaam fa hayyinaa rabbanaa bis salaam wa adkhilnaa jannata daaras salaam kemudian membaca do’a dengan khusyu’ dan rendah diri: A’udzu billaahil ‘azhim wa biwajhihil kariimi wasulthoonihil qodiimi minasy syaithoonir rojiimi, bismillah Allahumma sholli ‘alaa sayyidinaa Muhammadin wa aalihi wa sallim. Allahummaqhfirlii dzunuubii waftah lii abwaab rahmatika. Artinya: (Aku berlindung dengan Allah Yang Maha Besar dan wajah-Nya yang Mulia serta dengan kekuasaan-Nya yang Azali dari godaan setan yang terkutuk, dengan nama Allah, Ya Allah limpahkanlah karunia dan kesejahteraan atas junjungan kita Muhammad dan keluarganya. Ya Allah ampunilah dosa-dosaku dan bukakanlah bagiku pintu-pintu rahmat-Mu.)
Do’a waktu pertama masuk melihat Ka’bah, hendaklah mengangkat tangan dan memohon: “Allahumma zid haadzal baita tasyriifan wata’ dziiman watakriiman wamahaabatan, wazid man syarrafahu wa karromahu mimman hajjahu awi’ tamarahu tasyriifan watakriiman wata’ dziiman wa birran. Allahumma antas salaam fahaiyinaa rabbanaa bis salaam”. Artinya: (Ya Allah, tambahkanlah bagi rumah ini (Ka’bah) kehormatan, kebesaran, kemuliaan, kebesaran dan kebaikan. Ya Allah, Engkaulah kesejahteraan, dan dariMu kesejahteraan, maka sambutlah kami ya Tuhan kami dengan kesejahteraan.)

Kemudian langsung kepojok hajar Aswad, usahakan bisa mencium atau mengusap atau memberi isyarat saja. Dari mulai hajar Aswad (ada tanda marmer yang berwarna lain dari marmer masjidil Haram) ini Niat thawaf dan bertakbir (Bismillah Allahu Akbar) sambil memberi isyarat kearah hajar Aswad. Waktu mau mulai thawaf dari hajar aswad setelah niat thawaf dianjurkan/sunnah membaca: ‘Bismillah, wallahu akbar, Allahumma iimaanan bika wa tashdiiqan bi kitaabika, wa wafaa an bi’ahdika wattibaa’an lisunnatin nabiyyi shollallahu ‘alaihi wa alihi wasallam’ Artinya: (Dengan nama Allah, dan Allah Maha Besar, Ya Allah, demi keimanan kepadaMu dan membenarkan kitab suciMu, memenuhi janji denganMu serta mengikuti sunnah NabiMu saw.)

IV. Thawaf: 7x putaran, Ka’bah harus terletak disebelah kirinya.
3 putaran pertama lari2 kecil (bagi lelaki) sampai sudut Yamani dan berjalan biasa antara sudut Yamani dan Hajar Aswad-Hajar. Mulai putaran keempat sampai ketujuh berjalan biasa. Dianjurkan banyak berdo’a, berdzikir dan sholawat kepada Nabi saw. waktu thawaf ini. Tidak boleh kurang dari 7x putaran walau selangkah. Boleh istirahat atau diputus sebelum 7 putaran (karena letih, waktu sholat tiba atau sholat jenazah dll). Setelah itu teruskan thawafnya ditempat mana anda berhenti dan hitungannya diteruskan sebelum berhenti tadi, jadi tidak perlu mengulang lagi. Thawaf harus suci dari hadats dan dalam keadaan berwudhu. Bila orang ragu2 tentang putaran yang telah dijalani maka pilihlah jumlah yang paling kecil.
Do’a singkat waktu thawaf: “Subhanallah, walhamdulillah, walaa ilaaha illallah, walllahu akbar, walaa haula walaa quwwata illa billaah, Allahummaj ‘alhu hajjan mabruura wadzanban maghfuuraa, wasa’yan masykuuraa. Robbigh fir warham wa’fu ‘ammaa ta’lam, wa antal a’azzul akram. Allahumma aatinaa fid dunyaa hasanatan wa fil aakhirati hasanatan wa ginaa ‘adzaaban naar ” Artinya: (Maha Suci Allah, segala puji bagi Allah, dan tiada Tuhan melainkan Allah, Allah Maha Besar dan tiada daya maupun tenaga/upaya kecuali dengan Allah. Ya Allah jadikanlah hajiku ini haji yang mabrur/diterima, dosaku diampuni dan sa’iku dihargai.Ya Tuhanku, ampunilah daku dan kasihanilah dan maafkan kesalahan-kesalahanku yang Engkau ketahui, dan Engkaulah Yang Maha Kuat dan Maha Mulia. Ya Allah, berilah kami di dunia kebaikan dan di akhirat juga kebaikan dan lindunginlah kami dari siksa neraka.). Bagi orang yang ingin membaca lebih lengkap silahkan membeli buku manasik haji yang disitu tercantum do'a-do'a setiap putaran thawaf dan do'a-do'a pada tempat-tempat lainnya.

Antara rukun Yamani dan hajar aswad membaca do’a:
‘Allahumma aatinaa fid dunyaa hasanatan wa fil aakhirati hasanatan wa ginaa ‘adzaaban naar. Allahumma gonni’nii bimaa rozaqtanii wa baariklii fiihi, wakhlif ‘alaiya kulla ghaaibatin bikhoirin’. Artinya: (Ya Allah, berilah kami di dunia kebaikan dan di akhirat juga kebaikan dan lindungilah kami dari siksa neraka. Ya Allah berilah daku kecukupan dengan rezeki yang telah Engkau berikan padaku, dan berilah daku berkah padanya, serta gantilah segala barang yang hilang dengan yang baik). Do’a ini juga boleh dibaca pada waktu thawaf juga.

Setelah Thawaf:
pergilah di belakang maqam Ibrahim (kalau bisa sambil membaca Wattakhidzu min Maqaami Ibraahima musholla), utk sholat sunnah 2 rakaat dengan niat sholat thawaf, rakaat pertama setelah Fatihah membaca surat Al-Kafirun, dan rakaat kedua setelah Fatihah baca surah Al-Ikhlas. Dianjurkan juga untuk berdo’a setelah sholat ini, kemudian pergilah ke tempat Zam Zam utk minum airnya, waktu mau minum menghadaplah ke Ka’bah dan berdo’a untuk penyembuhan segala penyakit. Sisakan sedikit airnya dan usapkan pada dada dan muka anda. Dari tempat Zam Zam ini pergilah ke Multazam (antara hajar aswad dan pintu Ka’bah) berdo’alah disini. Kemudian masuklah ke Hijr Ismail sholatlah disini sunnah muthlaq (hanya niat sholat saja) 2 raka’at, dianjurkan juga untuk berdo’a disini.
Do’a waktu mau minum air Zam-Zam: Jika minum air zam-zam menghadaplah ke Kiblat (Ka’bah),ingatlah Allah, bernafaslah tiga kali dan minumlah sampai puas (banyak) sambil memuji Allah serta berdo’a: ‘Allahumma innii as aluka ‘ilman naafi’an warizqan waasi’an wasyifaa-an min kullii daain’.Artinya: (Ya Allah, aku memohon kepadaMu agar diberi ilmu yang bermanfaat, rezeki yang luas dan agar disembuhkan dari segala penyakit).

V. Sa’i : 7 putaran.
Termasuk rukun Haji jadi tidak bisa diganti dengan Fidyah. Setelah selesai amalan thawaf diatas pergilah ke pintu namanya Shofa dan naiklah kelembah Shofa sambil membaca Innas Shofa Wal Marwata min Sya’aairilllah Faman Hajjal baita auwi’ tamara falaa junaaha ‘alaihi an yattauwafa bihimaa. (Al-Baqarah:158), kemudian baca [Abdau bimaa badaallahu bihi/Aku mulai dengan apa yang dimulai oleh Allah] Sampai dilembah ini menghadap ke Ka’bah membaca Lailaha illallah wahdahu laa syariikalah lahul mulku walahul hamdu yuhyii wa yumiitu wahua ‘ala kulli syai in qodiir. Lailahaillah wahdahu anjaza wa’dahu wa hazamal ahzaaba wahdahu , kemudian berdo’a, lakukanlah 3x. Kemudian turun kebawah berjalan menuju ke Marwa. Diantara dua tonggak sunnah lari2 kecil (bagi lelaki). Sampai mulai naik kelembah Marwa bacalah bacaan seperti diatas ini Innas shofa….sampai bihimaa saja. Dan menghadap kiblat membaca do’a seperti di Shofa. Ulangi seperti itu setiap kali berada di Shofa dan Marwa. Terakhir Sa’i ada di Marwa setelah do’a maka guntinglah rambut (jangan dicukur gundul). Maka halal semua yang dilarang waktu ihram.
Do’a singkat waktu berjalan antara Shafa dan Marwa: ‘Rabbiqh fir warham, wahdinis sabiilal aqwam, innaka antal a’azzulk akram’. Artinya (Ya Tuhanku, ampunilah dan beri rahmatlah daku, serta tunjukilah daku jalan yang lurus sungguh Engkau Maha kuat lagi Maha Mulia).

VI. Ke Mina:
Tanggal 8 dzul hijjah pergi ke Mina. Kita pakaian ihram lagi dari rumah/hotel caranya lihat atas nr. (II). Perhatian: Cara sunnah2nya sama tapi ingat niatnya saja yang tidak sama dengan diatas, karena diatas kita niat utk ‘Umrah (Labbaika Allahumma bi ‘‘Umrah) bagi haji Tamattu’, tetapi sekarang niat untuk Haji yaitu Labbaika Allahumma Bi Haj. Membaca Talbiyah (Labbaik Allahumma labbaik, labbaik laa syarikalaka labbaik, Innal hamda wan ni’mata laka wal mulka laa syariika laka) mulai waktu ber-ihram sampai waktu pelemparan jumrah ‘Aqabah pada tanggal 10 Dzul Hijjah. Di Mina sini kita sholat Dhuhur, Ashar, Maghrib, Isya’ dan Shubuh. Disini kita dianurkan juga berdzikir, talbiyah, berdo’a, bersholawat dan sebagainya. Tanggal 9 dzul Hijjah setelah terbit matahari kita berangkat ke ‘Arafah sambil bertalbiyah, takbir, tahlil dan disunnahkan melalui jalan Dhab.

VII. Arafah : Termasuk rukun Haji, tidak boleh ditinggalkan. Wukuf disini berlaku mulai tergelincirnya matahari (waktu dhuhur) sampai terbenamnya matahari. Di Arafah ini kita sholat Dhuhur dan Ashar di jama’ (dirangkap) baik itu secara sendirian atau secara berjama’ah.. Sunnah wukuf dibatu-batu besar dan dianjurkan juga membaca talbiyah, takbir, dzikir, do’a dan sholawat kepada Rasulallah saw. Setelah terbenam matahari kita keluar darisini menuju ke Muzdalifah.

Bacaan dan do’a singkat waktu wukuf di ‘Arafah: ‘Laa ilaaha illallahu wahdahu laa syariikalah, lahul mulku, walahul hamdu, biyadihil khairu wahuwa ‘alaa kulli syai-in qadiir. Allahumma lakal hamdu kalladzii taguulu wa khoiran mimmaa naguulu, Allahumma laka sholaatii wa nusukii wa mahyaaya wa mamaatii wa ilaika ma-aabii wa laka robbi turaatsii, Allahumma innii a’udzubika min ‘adzaabil gobri, wa waswasatish shodri, wa syataatil amri, Allahumma innii a’udzubika min syarri maa tahubbu bihir riihu’. Artinya (Tiada Tuhan melainkan Allah, Tunggal tidak bersekutu, milikNya kerajaan dan bagiNya puji-pujian, di tanganNya tergenggam kebaikan dan Dia kuasa berbuat segala sesuatu. Ya Allah, bagiMulah puji segala apa yang Engkau firmankan dan lebih baik dari apa yang kami ucapkan, Ya Allah bagiMulah sholatku dan ibadatku, hidup serta matiku dan kepadaMu kembaliku serta bagiMu ya Tuhanku hart peninggalanku, Ya Allah, aku berlindung kepadaMu dari siksa kubur dan rasa waswas di dada serta dari tercerai berainya urusan, Ya Allah, aku berlindung kepadaMu dari bencana yang dibawa oleh tiupan angin.)

VIII. Muzdalifah : Hukumnya wajib tetapi bukan rukun Haji, yang meninggalkan dikenakan Fidyah seekor kambing (Imam Hanafi, Syafi’i,Ahmad). Disini kita sholat Maghrib dan Isya’ juga dijama’. Menginap disini dan sunnah ambil batu kerikil sebesar biji jagung atau lebih besar sedikit, utk melempar jumrah dari tempat ini, sejumlah 70 bagi yang melempar sampai tgl. 13 Dzulhijjah, sedangkan utk yang sampai 12 Dzul Hijjah maka jumlahnya 49 biji. Boleh juga mengambil batu dilain tempat, sedangkan mengambil batu dari tempat pelemparan jumrah hukumnya makruh. Setelah sholat shubuh tgl. 10 Dzulhijjah berjalan dari Muzdalifah ini ke Masy’aril Haram. Sesampai di Masy'aril Haram kita dianjurkan juga utk berdo’a, berdzikir, talbiyah. Setelah agak terang hampir matahari terbit kita berangkat menuju pelemparan Jumrah ‘Aqabah.

IX. ‘Aqabah : Dengan Niat menurut perintah agama dan mengikuti jejak Nabi Ibrahim untuk melempar syaitan pada jumrah ‘Aqabah. Melempar jumrah ini harus setelah terbit matahari tgl. 10 DzulHijjah. Jumhur ulama mengatakan hukumnya wajib, tapi bukan termasuk rukun haji. Jadi bila orang meninggalkannya maka harus bayar fidyah seekor kambing. Setiap lemparan berkata Bismillah Allahu Akbar, dan berdo’a Ya Allah jadikanlah haji itu haji yang diterima, dan dosa yang diampuni. Setelah itu kembali ke Mina untuk memotong Qurban, setelah memotong baru mencukur rambut namanya Tahallul pertama. Sekarang semuanya menjadi halal kecuali bersenggama. Bagi orang yang berhalangan untuk melempar (tua, lemah/sakit) boleh diwakilkan pelemparan kepada orang lain.

X. Thawaf Ifadhah : Ijma’ para ulama sebagai rukun haji tidak bisa diganti dengan Fidyah. Setelah selesai cukur semuanya itu, maka pada malam hari tanggal 10 Dzul-Hijjah kita niat thawaf Ifadhah. Waktu terakhirnya tidak terbatas tetapi selama orang belum thawaf Ifadhah maka tidak boleh bersenggama, sedangkan untuk wanita dianjurkan mengerjakan dgn segera karena dikhawatirkan kedatangan haidh.. Orang juga dibolehkan meminum obat untuk menyetop haidh pada bulan haji itu, selama obat itu tidak menjadikan bahaya buat dirinya. Setelah selesai thawaf ifadhah (namanya Tahallul kedua) berarti halal semuanya. Setelah itu kita kembali lagi ke Mina untuk menginap disana tanggal 11,12, 13 Dzul Hijjah (Hari2 Tasyriq).

XI. Mina : Menurut Imam Malik, Syafi’i dan Imam Ahmad, bermalam disini selama 3 atau 2 malam, yaitu malam kesebelas dan kedua belas dzul hijjah hukumnya wajib. Dan Imam Mujahid mengatakan tidak ada salahnya bila permulaan malam berada di Mekkah dan setelah itu berada di Mina atau sebaliknya awal malam di Mina dan akhirnya di Mekkah. Tetapi paling utama adalah bermalam disana. Setiap hari mulai tgl. 11 dzul hijjah setelah matahari terbit ,paling utama pada waktu Dhuha, kita melempar 3 jumrah setiap jumrah 7 batu. Pertama jumrah Ula setiap kali melempar membaca Bismillah Allahu Akbar, setelah selesai kita dianjurkan untuk berpaling menuju kedasar lembah, lalu berdiri menghadap kiblat dan berdo’a. Kemudian pergi ke jumrah kedua Wustha dan lakukan sama seperti pada jumrah pertama. Kemudian pergi jumrah ‘Aqabah setelah selesai melempar tidak perlu menuju kedasar lembah langsung pergi. Hal yang sama seperti itu kita lakukan pada hari2 berikutnya. Keluar dari Mina dianjurkan sebelum matahari terbenam tanggal 12 atau tanggal 13 Dzulhijjah.

XII. Thawaf Wada’: Artinya Thawaf selamat tinggal/Perpisahan dengan Ka’bah.
Thawaf ini merupakan upacara haji terakhir yang dilakukan oleh orang yang berhaji bukan penduduk Mekkah, sewaktu hendak berangkat meninggalkan kota Mekkah. Adapun bagi wanita yang haidh, bagi mereka tidak disyari’atkan, dan tidak dibebani fidyah karena meninggalkannya. Dalam thawaf wada’ ini tidak disunnahkan lari2 kecil pada 3 putaran pertama.
Do’a pada waktu thawaf Wada’/perpisahan: ‘Allahumma innii ‘abduka, wabnu ‘abdika wabnu amatika, hamaltanii ‘alaa maa sakhkhorta lii min kholgika, wasatartanii fii bilaadika hattaa ballaghtanii bini’matika ilaa baitika wa a’antanii ‘alaa adaai nusukii, fain kunta rodhiita ‘annii fazdad ‘annii ridhoo, wa illaa faminal aana fardha ‘annii gobla an tan-aa ‘an baitika daarii, fa haadzaa awaanun shiraafii in adzinta lii ghoira mustabdilin bika walaa bi baitika, walaa raaghibin ‘anka, walaa ‘an baitika, Allahumma fash-hibniil ‘aafiyata fii badanii, wash shihhata fii jismii, wal ‘ishmata fii diinii, wa ahsin mungalabii, war zuqnii thoo’ataka maa abgoitanii, waj ma’ lii baina khoirayid dunyaa wal aakhirati, innaka ‘alaa kulli syai-in godiir’.

Artinya (Ya Allah, aku ini adalah hamba Mu dan putra dari hamba dan sahayaMu, Engkau bawa aku dengan mengendarai makhluk yang Engkau kuasakan kepadaku, Engkau lindungi aku di-wilayah2 kekuasaan Mu hingga dengan karuniaMu sampailah aku ke rumahmu (baca: Ka’bah), Engkau beri aku bantuan dalam menunaikan ibadah hajiku, maka jika aku telah Engkau ridhai, tambahlah kiranya keridhaan itu, dan jika belum, maka ridhailah aku sekarang ini, sebelum rumahku terpisah jauh dari rumahMu (baca:Ka’bah). Maka jika Engkau izinkan, sekarang ini adalah saat keberangkatan ku tanpa menggantiMu atau mengganti rumahMu, terhindar dari kebencian kepadaMu atau kepada rumahMu. Ya Allah, mohon tubuhku selalu disertai oleh keselamatan dan badanku oleh kesehatan, begitupun agamaku dengan perlindungan. Selamatkanlah kepulanganku, limpahkanlah ketaatan kepadaMu selama hayatku dan himpunlah buatku kebaikan dunia serta akhirat. Sungguh Engkau kuasa atas segala sesuatu.) Imam Syafi’i berkata: ‘Saya suka jika seseorang (setelah) melakukan thawaf perpisahan berdiri di Multazam lalu menyebut hadits (do’a) diatas’.

Hukumnya: Para ulama sepakat bahwa ia disyari’atkan, berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh Imam Muslim dan Abu Dawud dari Ibnu ‘Abbas.: “Orang-orang berpaling, menuju pelbagai jurusan. Maka sabda Nabi saw.; ‘Janganlah salah seorang darimu berangkat, sebelum ia melakukan pertemuan terakhir dengan Baitullah (Ka’ bah)’ .
Menurut madzhab Imam Hanafi, golongan Imam Ahmad (Hanbali) dan satu riwayat dari pendapat Imam Syafi’i hukumnya adalah wajib, jadi siapa yang meninggalkannya diwajibkan membayar fidyah (seekor kambing).

Waktunya : Setelah selesai dari manasik Haji dan mau pulang ke negerinya (keluar dari Mekkah) agar thawaf ini pertemuan yang terakhir dengan Ka’bah sebagai yang telah dikemukakan pada hadits diatas. Setelah thawaf hendaklah ia langsung berangkat, tanpa melakukan pembelian atau penjualan atau tinggal beberapa lama lagi di Mekkah. Bila ia melakukan hal itu maka menurut ulama harus mengulangi thawafnya ini. Kecuali bila ada sesuatu kepentingan atau halangan yang harus diselesaikannya maka tidak perlu diulanginya. Oleh karenanya usahakan sebelum thawaf wada’ ini semuanya sudah beres dan siap langsung berangkat.

Bagi pembaca yang ingin do’a-do’a lebih panjang dari yang telah dikemukakan disini, silahkan beli buku manasik haji yang tercantum do’a-do’a untuk setiap putaran waktu thawaf, sa’i. di Multazam dan lain sebagainya

Ziarah ke Madinah :
Janganlah kita lupa untuk mampir ke Masjid Nabawi di Madinah serta ziarah junjungan kita Nabi Muhammad saw. penghulu seluruh Nabi dan Rasul. Tanpa beliau saw. kita tidak mengetahui syari’at Islam, dengan ziarah pada beliau lebih mengingatkan kita kembali kepada Allah swt. dan Rasul-Nya. Begitu juga ziarah pada kuburan Baqi’ yang mana disitu para isteri Rasulallah saw. dikuburkan dan menurut riwayat tidak kurang dari 10 ribu sahabat yang dikubur disitu. Jangan lupa juga ziarah kepada isteri Rasulallah saw. yang pertama Siti Khadijah Al-Kubra yang dikubur di Ma’la, di Mekkah. Di masjid Madinah juga ada kuburan sahabat Rasulallah yaitu Sayyiduna Abubakar dan Sayyiduna ‘Umar bin Khattab. Kemudian ziarahlah ketempat Uhud dimana Sayyidina Hamzah dan para syuhada lainnya dikuburkan disana. Jangan lupa juga untuk mendatangi masjid Kuba, masjid Qiblatain dan masjid-masjid lainnya yang bersejarah, sholatlah dua raka’at disana sebagai sholat Tahiyyatul Masjid. Tempat-tempat itu semua selalu diliputi oleh Barokah dan Rahmat Ilahi. Untuk lebih mendetail mengenai ziarah kubur dan pengambilan barokah, tawassul silahkan meneliti kembali bab-bab yang bersangkutan pada website ini.

Adab/cara memasuki masjid Madinah dan berziarah:

− Disunnahkan masuk masjid Nabi saw dengan tenang dan tenteram, mengenakan pakain yang terbaik dan memakai wangi-wangian, melangkahkan kaki sebelah kanan sambil membaca: “ A’udzu billahil ‘adhim, wa biwajhihil kariim, wa sulthonihil godiim, minasy syaithonir rojiim. Bismillah, Allahumma sholli ‘alaa sayyidinaa Muhammadin wa aalihi wa sallam. Allahummagh firlii dzunuubii waftah lii abwaaba rohmatika”.
Artinya: (Aku berlindung kepada Allah yang Maha Besar dan dengan wajahNya yang Mulia serta kekuasaan-Nya yang Azali dari godaan setan yang terkutuk. Dengan nama Allah, Ya Allah limpahkanlah karunia dan kesejahteraan atas junjungan kita Muhammad dan keluarganya. Ya Allah ampunilah dosa-dosaku dan bukakanlah bagiku pintu-pintu rahmat Mu.)

Sunnah mendatangi dan menghadap kemakam Rasulallah saw sambil mengucapkan: ‘Assalaamu’alaika ya Rasulallah, assalaamu ‘alaika ya habibullah, assalaamu’alaika yaa nabiyallah, assalaamu’alaika yaa khiyarata khalgillaahi min khalqih, assalaamu ’alaika khaira khalgillah, , assalaamu’alaika yaa sayyidal mursaliin, , assalaamu’alaika yaa rasullallaahi rabbil ‘aalamiin, assalaamu’alaika gooidal ghorril muhajjaliin. Asyhadu an laa ilaa ha illallah, wa asyhadu annaka ‘abduhu wa rasuuluhu wa amiinuhu wa khiyaratuhu min kholgihi. Wa asyhadu annaka gad ballaghtar risaalata wa addaital amaanata wa nashohtal ummata, wa jaahadta fillahi haqqa jihaadihi’.

Artinya (Selamat sejahtera atasmu wahai Rasulallah, selamat sejahtera atasmu wahai kekasih Allah, selamat sejahtera atasmu wahai Nabi Allah, selamat sejahtera atasmu wahai makhluk pilihan di antara makhluk2 Ilahi, selamat sejahtera atasmu wahai sebaik-baik makhluk, selamat sejahtera atasmu wahai penghulu semua Rasul, selamat sejahtera atasmu wahai Rasul dari Allah Tuhan seluruh alam dan selamat sejahtera atasmu wahai panglima dari orang-orang cemerlang dan terkemuka. Aku bersaksi bahwa tiada Tuhan melainkan Allah dan aku bersaksi bahwa anda adalah hamba dan utusan-Nya, kepercayaan-Nya dan makhluk pilihan-Nya. Aku bersaksi bahwa anda telah menyampaikan risalat, memenuhi amanat, mengajari umat dan berjuang di jalan Allah sebenar-benar berjuang). Dan bila ada orang yang titip salam kepada Rasulallah saw maka ucapkanlah: ‘Assalaamu’alaika ya Rasulallah min…artinya: (selamat sejahtera atasmu wahai Rasulallah dari…..) .Setelah ucapan salam kepada beliau saw, berdoalah sambil menghadap kemakam Rasulallah saw, tidak harus menghadap kearah kiblat, waktu berdoa tersebut.

( INFO: Masalah berdoa menghadap kearah kiblat waktu berziarah, berasal dari peristiwa yang dialami oleh Imam Malik bin Anas ra, yaitu ketika beliau mendapat tegoran dari Khalifah Abu Ja’far Al-Manshur di dalam masjid Nabawi di Madinah. Ketika itu Imam Malik menjawab: "Ya Amirul-Mu’minin, janganlah anda bersuara keras di dalam masjid ini, karena Allah swt. telah mengajarkan tatakrama kepada ummat ini dengan firman-Nya: ‘Janganlah kalian memperkeras suara kalian (dalam berbicara) melebihi suara Nabi….sampai akhir ayat’ (QS.Al-Hujurat :2). Allah swt. juga memuji sejumlah orang dengan firman-Nya: ‘Sesungguhnya mereka yang melirihkan suaranya dihadapan Rasulallah…sampai akhir ayat’ (QS. Al-Hujurat:3). Begitu juga Allah swt. mencela sejumlah orang dengan firman-Nya: ‘Sesungguhnya orang-orang yang memanggil-manggilmu dari luar kamar…sampai akhir ayat’. (QS.Al-Hujurat :4).
Rasulallah saw adalah tetap mulia, baik selagi beliau masih hidup maupun setelah wafat. Mendengar jawaban itu Abu Ja’far terdiam, tetapi kemudian bertanya: ‘Hai Abu ‘Abdullah (nama panggilan Imam Malik), apakah aku harus berdo’a sambil menghadap Kiblat, atau menghadap (pusara) Rasulallah saw.?’. Imam Malik menjawab: ‘ Mengapa anda memalingkan muka dari beliau saw, padahal beliau saw. adalah wasilah anda dan wasilah Bapak anda, Adam as., kepada Allah swt. pada hari kiamat kelak? Hadapkanlah wajah anda kepada beliau saw. dan mohonlah syafa’at beliau, beliau pasti akan memberi syafa’at kepada anda di sisi Allah swt. Allah telah berfirman: ‘Sesungguhnya jikalau mereka ketika berbuat dhalim terhadap dirinya sendiri (lalu segera) datang menghadapmu (Muhammad saw.)…sampai akhir ayat’ "(QS. An-Nisa:64). [Kisah ini diriwayatkan oleh Al-Qadhi ‘Iyadh dengan isnadnya yang terdapat didalam kitabnya Al-Ma’ruf Bisy-Syifa Fit-Ta’rif pada bab Ziarah].
Banyak ulama yang menyebut peristiwa/riwayat diatas ini.Imam Nawawi didalam kitabnya yang berjudul Al-Idhah Fi Babiz-Ziyarah mengetengahkan juga kisah diatas tersebut.Deikian juga didalam Al-Majmu jilid VIII halaman 272.Ibnu Taimiyyah sendiri dalam Iqtidha-us Shiratul-Mustaqim halaman 397, menuturkan apa yang pernah diriwayatkan oleh Ibnu Wahb mengenai Imam Malik bin Anas. "Tiap saat ia (Imam Malik) mengucapkan salam kepada Nabi saw, ia berdiri dan menghadapkan wajahnya ke arah pusara Nabi saw, tidak kearah kiblat. Ia mendekat, mengucapkan salam dan berdo’a, tetapi tidak menyentuh pusara dengan tangannya" (Mengenai riwayat menyentuh pusara silahkan baca bab Tawassul/Tabarruk diwebsite ini—pen).

Al-Khufajiy didalam Syarhusy-Syifa menyebut, bahwa As-Sabkiy mengatakan sebagai berikut: " Sahabat-sahabat kami menyatakan, adalah mustahab jika orang pada saat datang berziarah ke pusara Rasulallah saw menghadapkan wajah kepadanya (Rasulallah saw) dan membelakangi Kiblat, kemudian mengucapkan salam kepada beliau saw, beserta keluarganya (ahlu-bait beliau saw) dan para sahabatnya. Lalu mendatangi pusara dua orang sahabat beliau saw. (Khalifah Abubakar dan Umar –radhiyallhu ‘anhuma). Setelah itu lalu kembali ketempat semula dan berdiri sambil berdo’a " (Syarhusy Syifa jilid III halaman 398). Lihat pula kitab Mafahim Yajibu An Tushahhah, oleh As-Sayyid Muhammad bin ‘Alwi Al-Maliki Al-Hasani, seorang ulama di Tanah Suci, Makkah. Dengan demikian tidak ada ulama yang mengatakan cara/adab berziarah dengan menghadapkan wajah kekuburan ketika berdo’a, adalah haram, bid’ah mungkar, sesat dan lain sebagainya, kecuali golongan Wahabi/Salafi dan pengikutnya }}.

Kemudian geser kira-kira dua langkah kekanan (bagi kaum wanita yang tidak bisa masuk bagian depan makam Rasulallah saw. maka makam Rasulallah ,bagian belakang ini, letaknya adalah kebalikannya dari bagian depan yaitu paling kanan kemudian geser kekiri untuk makam sayyidinaa Abubakar dan kekiri lagi untuk makam sayyidina Umar) dan mengucapkan salam kepada sayyiduna Abubakar Ash-Shiddiq: ‘Assalaamu’alaika ya kholiifah Abu Bakar Ash-Shiddiq, Allahummar dho ‘anhu, waakrim magaamahu bifadhlika wa karamika’ Artinya (selamat sejahtera atasmu wahai kholifah Abubakar Ash-Shiddiq, Ya Allah limpahkan ridhoMu kepadanya dan muliakanlah tempatnya dengan karuniaMu dan kemuliaanMu). Kemudian geser lagi kekanan ke makam sayyidinaa Umar ucapkanlah yang sama kepada Abubakar Ash-Shiddiq hanya namanya saja dirubah. Dari makam sini anda usahakanlah masuk ke raudhah syarifah (taman yang mulia) letaknya antara makam Rasulallah dan mimbar beliau saw. Sholatlah disini dua raka’at dengan niat sholat tahiyyatul masjid setelah sholat ini anda boleh sholat muthlaq (hanya niat sholat saja) sesuka hati jumlah rakaatnya.Dan berdoá dan berselawatlah ditempat yang mulia ini.

Ziarah ke kuburan Baqi':
− Setelah keluar dari masjid Nabawi pergilah ke kuburan Baqi’ (muka masjid Nabi saw). Hadapkanlah muka anda kearah Baqi’ ini sambil membaca: ‘Assalaamu ‘alaa ahlid diyaar minal mu’miniina wal muslimiina wa yarhamullahal mustaqdimiina minnaa wal musta’khiriina, wa innaa insyaa Allah bikum laa hiquun, Allahummagh fir li ahli baqi’il ghorqad’. Artinya (salam atasmu wahai penduduk kampung, dari golongan mukminin dan muslimin. Semoga Allah melimpahkan rahmat-Nya pada kita bersama, baik yang telah terdahulu maupun yang terbelakang, dan insya Allah kami akan menyusul kemudian, Ya Allah berilah ampunan bagi penduduk [ahli kubur] Baqi’ yang berbahagia ini). Ini semua menurut sunnah Rasulallah saw. Wallahu a’lam.
Kami kutip dan kumpulkan manasik haji secara singkat diatas, insya Allah bisa bermanfaat buat diri kami sekeluarga khususnya dan saudara-saudaraku muslimin lainnya. Semoga Allah swt. mengampuni kami bila ada kesalahan atau kekurangan yang kami tulis, karena manusia tidak luput dari lupa dan kesalahan.(Utk keterangan lebih mendetail mengenai ruh-ruh orang yang telah wafat dan lain sebagainya , silahkan anda membuka bab ziarah kubur dan bab tawassul/tabarruk di website ini)

Menentukan Hilal awal masuknya Ramadhan &bulan Syawal
Setiap kali kita selalu melihat dan mendengar perbedaan antara kaum muslimin mengenai kapan awal masuknya bulan Ramadhan dan keluarnya dari ibadah bulan ini yakni awal masuknya bulan syawal ‘idul Fithri. Tidak lain salah satu sebab perbedaan itu ialah karena sebagian besar/mayoritas negara-negara Muslim didunia ini untuk memutuskan kapan awal masuk bulan Ramadhan dan bulan Syawal tersebut dengan mengikuti sunnah Rasulallah saw. yaitu dengan jalan ru’ya dinegaranya masing-masing atau Negara yang segaris bujur dengannya, dan sebagian kecil golongan lainnya dengan jalan perhitungan astronomi (hisab) kapan kemungkinan hilal bisa dilihat, sedangkan sebagian kecil lainnya mengikuti Negara Islam yang sudah melihat bulan dimanapun juga. Semuanya ini, manakah yang lebih mendekati kebenaran Sunnah Rasulallah saw.?
Sebagian besar kaum muslimin baik yang di Indonesia atau didunia lainnya mengikuti amalan-amalan ibadah menurut madzhabnya masing-masing dan setiap madzhab mempunyai sudut pandang sendiri-sendiri. Umpama golongan madzhab Imam Syafi’i akan mengikuti amalan ibadah menurut madzhabnya, golongan madzhab Imam Maliki akan mengikuti madzhabnya, golongan Wahabi/Salafi juga akan mengikuti madzhabnya dan seterusnya. Didalam syari’at Islam tidak dlarang orang mengikuti salah satu madzhab, karena imam dari semua madzhab yang terkenal tersebut mengeluarkan pendapatnya dengan berdasarkan Kitabullah dan Sunnah Rasulallah saw., apalagi empat imam besar (Hanafi, Maliki, Syafi’i dan Ahmad- rohimahumullah) yang sudah dikenal dikalangan kaum muslimin. Malah buat orang-orang awam diwajibkan untuk bertanya kepada ahli ilmu. Umumnya setiap pengikut madzhab ini segan dan tidak mau mengikuti suatu amalan ibadah yang diamalkan oleh madzhab selain madzhabnya, bila amalan ibadah tersebut berlawanan dengan paham madzhabnya sendiri .
Jangan lagi kita yang awam ini, para ulama pakar diantaranya; Imam Nawawi, Imam ad-Dahlawi, Imam Izuddin bin Abdussalam mengikuti madzhab Imam Syafi’i. Ibnul Qayyim, Ibnu Taimiyyah mengikuti madzhab Imam Ahmad bin Hambal, begitulah seterusnya. Para ulama memperhatikan kesempurnaan dalil-dalil baik itu dari Al-Qur’an, hadits maupun dalil aqli (logika) dimana orang-orang awam dan juga orang-orang pandai yang belum sampai kepada derajat Istinbath dan ijtihad tidak ada jalan lain bagi mereka ini kecuali bertaqlid (mengikuti) kepada seorang mujtahid yang mampu memahami dalil. Kami tidak akan mengutip lagi pembahasan mengenai taqlid Imam madzhab, karena sudah kami kemukakan sebelumnya disitus ini dalam bab Taqlid kepada para imam madzhab, bagi yang berminat silahkan merujuknya. Berikut ini, kami mengutip dalil hadits Nabi saw. untuk melakukan ru’ya (penglihatan) hilal kapan awal masuknya bulan Ramadhan dan bulan Syawal.

Dalil-dalil Ru’ya:
Hadits diriwayatkan oleh Imam Bukhori dan Muslim: “Berpuasalah kamu jika melihatnya (hilal), dan berbukalah (‘Id) bila melihatnya (hilal). Dan jika terhalang oleh awan (sehingga hilal tidak bisa dilihat), maka cukupkanlah bilangan Sya’ban tiga puluh hari”.
Hadits diatas ini mutawatir, semua madzhab termasuk empat madzhab besar (Hanafi, Maliki, Syafi’i dan Hambali [ra] ) sepakat bahwa awal masuk Ramadhan dan Idul Fithri/Idul Adha harus melalui Ru’ya (bukan dengan Hisab).
Begitu juga hadits itu walaupun mengenai awal masuknya bulan ramadhan/Idul Fithri tetapi juga berlaku kapan masuknya bulan Dzul Hijjah (bulan haji). Kalimat hadits diatas ini jelas, mencakup pengertian harus dengan ru’ya kapan mulai masuk awal bulan Ramadhan dan awal masuknya Idul Fithri. Dan hadits ini jelas menegaskan bila hilal tidak bisa dilihat karena ada halangan (mendung dll) maka kita harus mencukupkan bilangan bulan sebelumnya 30 hari. Karena bilangan bulan menurut Islam hanya 29 atau 30 hari, sebagaimana sabda Rasulallah saw. ‘Bulan itu (kadang-kadang) sekian dan sekian’. (Nabi saw. mengisyaratkan dengan tangannya). Maksudnya sekali waktu 29 hari dan pada waktu yang lain 30 hari. [Dikeluarkan oleh Imam Bukhari (2/230 dan lafadhnya) dan Muslim (3/124) dan lain-lain.]
Imam Syafi’i, Imam Ahmad bin Hambal dan pendapat para fukaha lainnya lebih menegaskan lagi mengenai ru’yah ini bahwa penglihatan hilal itu harus adanya saksi-saksi yang adil. Untuk masuknya bulan Ramadhan cukup dengan satu saksi yang adil sedangkan untuk masuknya ‘Idul Fithri membutuhkan dua saksi yang adil. Dari hadist diatas, jelas sekali bahwa Rasulullah saw. hanyalah menetapkan "Melihat bulan" (rukyatul hilal) satu sebab dari permulaan ibadah puasa dan permulaan Idul Fitri, dan bukan dengan sudah wujud tidaknya bulan ataupun dengan cara menghitungnya (hisab). Terbukti, dari penggalan kedua redaksi ucapan Rasulullah saw. ‘Apabila tidak berhasil melihatnya (walaupun secara perhitungan astronomis [hisab] mungkin sudah ada—red) menyuruh ummatnya menyempurnakan bulan Sya'ban sebanyak 30 hari.
Perbedaan/perselisihan yang ada diantara para ulama madzhab ialah: Apakah cukup dengan adanya satu daerah/Negara Islam didunia yang telah melihat hilal awal Ramadhan/’Idul Fithri, semua penduduk muslimin didunia wajib mengikutinya? Jadi perbedaan para ulama madzhab ini bukan masalah antara Ru’ya dan Hisab ! Memang ada sebagian ulama zaman akhir ini yang membolehkan awal masuknya bulan Ramadhan/Idul Fithri dengan hisab, tetapi mayoritas dari ulama madzhab terutama madzhab Syafi’iyah yang dianut oleh mayoritas penduduk dinegara kita dan Negara tetangga Malaysia, Mesir dll dengan jalan Ru’ya, karena hal ini yang lebih mendekati kebenaran dan sejalan dengan sunnah Rasulallah saw. dan para sahabatnya.

Sebagian ulama yang mengatakan wajib -seluruh ummat Islam didunia- mengikuti satu daerah yang telah melihat hilal awal Ramadhan/Idul Fithri dengan alasan bahwa hadits Rasulallah saw. diatas ini umum yaitu tertuju kepada seluruh ummat didunia. Jadi jika salah seorang dari mereka telah menyaksikan hilal pada tempat manapun, itu berarti ru’ya tersebut berlaku untuk seluruh ummat didunia. Tetapi pendapat sebagian ulama ini dibantah oleh para ulama pakar pada umumnya (jumhur ulama) yang mewajibkan Ru’ya setiap daerah/Negara Islam. Diantara para ulama yang membantah ini ialah ‘Ikrimah, Qasim bin Muhammad, Salim, Ishak dan Imam Hanafi, Syafi’i dan lain sebagainya yang mengatakan: ‘Sebagai ukuran bagi penduduk setiap negeri ialah penglihatan mereka masing-masing, sehingga mereka tidak perlu terpengaruh oleh penglihatan penduduk dinegara lainnya’.
Mereka ini berdalil pada hadits shohih yang diriwayatkan oleh Imam Muslim dan lain-lain dari Kuraib ra. yang arti kalimatnya sebagai berikut:
“Saya (Kuraib ra) pergi ke Syam dan sewaktu berada disana muncullah hilal Ramadhan, dan saya saksikan sendiri hilal itu pada malam Jum’at. Kemudian pada akhir bulan (Ramadhan,red.), saya datang kembali ke Madinah dan ditanyai oleh Ibnu ‘Abbas ra kemudian teringat olehnya (Ibnu Abbas ra) hilal yang katanya; ‘Bilakah kelihatan oleh tuan-tuan hilal (diSyam --red.)? Kelihatan oleh kami malam jum’at, ujar saya (Kuraib ra). Apakah anda sendiri melihatnya?, tanya Ibnu ‘Abbas. Benar, jawab saya (Kuraib ra), juga dilihat oleh orang banyak, hingga mereka berpuasa, termasuk diantaranya Mu’awiyah. Tetapi kami (Ibnu Abbas ra dan para sahabat lainnya--red) melihatnya (di Madinah) malam Sabtu, Kata Ibnu ‘Abbas, hingga kami akan terus menerus berpuasa sampai cukup 30 hari. Entah kalau kelihatan (hilal) sebelum itu. Tidakkah cukup menurut anda penglihatan dan berpuasanya Mu’awiyyah ?, tanya saya (Kuraib ra). Tidak ! ujar Ibnu Abbas, begitulah yang dititahkan Rasulallah saw. kepada kami ! (HR. Muslim (3/126), Abu Dawud (No. 2332), Nasa'i (4/105-106), Tirmidzi (No. 689), Ibnu Khuzaimah (No. 1916), Daruquthni (2/171), Baihaqi (4/251) dan Ahmad (Al-Fathur-Rabbaani 9/270), semuanya dari jalan: Ismail bin Ja'far, dan Muhammad bin Abi Harmalah dari Kuraib dari Ibnu Abbas.
Rawi-rawi hadits ini tsiqah dan kuat. Pribadi dan ilmunya Ibnu ‘Abbas sudah jelas tidak diragukan lagi oleh setiap orang muslim dan mu’min; Kuraib bin Abi Muslim maula Ibnu Abbas; Ismail bin Ja’far bin Abi Katsir ; Muhammad bin Abi Harmalah, Rawi semuanya dipakai oleh Imam Bukhori, Imam Muslim dan lain-lainnya. (Lht. keterangan Ibnu Hajar dalam Taqribut-Tahdzib mengenai para rawi ini)

Dalam Fathul ‘Allam Syarah Bulughul Maram tercantum : “Yang lebih dekat kepada kebenaran ialah keharusan bagi setiap negeri mengikuti ru’yahnya, berikut daerah-daerah lain yang berada dalam satu garis bujur dengan negeri itu “. Imam Turmudzi juga berkata: hadits ini hasan lagi shohih dan gharib serta menurut para ulama mengamalkan hadits ini berarti bagi tiap-tiap negeri itu berlaku ru’ya atau penglihatan hilal masing-masing dinegerinya !! Imam Daruquthni juga berkata: Sanad (Hadits) ini Shahih.

Ada sebagian orang berpendapat bahwa hadits gharib berarti hadits yang lemah. Pendapat yang demikian itu adalah kurang tepat dan salah karena hadits gharib tidak menghilangkan keshahihan hadits itu. Ibnu Katsir sendiri berkata: "Maka sesungguhnya ini (yakni setiap hadits gharib) kalau ditolak, niscaya akan tertolak banyak sekali hadits-hadits dari jalan (gharib) ini dan akan hilang banyak sekali masalah-masalah dari dalil-dalilnya". [Ikhtisar 'Ulumul Hadits Ibnu Katsir hal : 58 & 167].

Ada lagi yang berpendapat bahwa hadits Kuraib itu adalah kata-kata Ibnu ‘Abbas sendiri kepada Kuraib bukan sabda Rasulallah saw., oleh karenanya tidak bisa dibuat dalil. Pendapat seperti ini adalah pendapat yang salah karena yang pertama menyalahi pendapat para ulama: ‘Jumhur (umumnya) ulama berpendapat bahwa (semua lafadh-lafadh di atas) yang demikian menjadi hujjah/dalil. Sama saja apakah rawinya itu dari (kalangan) sahabat besar. karena menurut zhahirnya sesungguhnya ia telah meriwayatkan yang demikian itu dari Nabi saw. kalaupun di taqdirkan disana ada perantara, maka menurut Jumhur mursal sahabat itu maqbul (diterima) dan inilah yang haq (yang benar)". Sedangkan yang kedua; mungkinkah atau beranikah Ibnu ‘Abbas menjawab atas pertanyaan Kuraib dengan menisbatkan kepada Rasulallah saw. kalau sekiranya bukan dari Nabi saw.?, sebagaimana jawaban- nya kepada Kuraib: ‘Begitulah Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam, telah memerintahkan kepada kami’ ! Sudah tentu tidak mungkin

Makna hadits Kuraib itu jelas sekali ialah:
Penduduk Syam melihat hilal Ramadhan pada malam Jum’at sehari sebelum penduduk Madinah yang melihatnya pada malam Saptu. Bila bulan tidak bisa dilihat karena halangan awan/mendung, penduduk Medinah akan terus berpuasa sampai tiga puluh hari dihitung dari mulai awal Ramadhan di Madinah (malam Saptu), tetapi bila melihat bulan sebelumnya maka penduduk Madinah akan berpuasa selama dua puluh sembilan hari. Sebagaimana yang diperintahkan oleh Rasulallah saw.: ‘Apabila kamu melihat hilal (Ramadhan) maka puasalah, dan apabila kamu melihat hilal (Syawal) maka berbukalah, tetapi jika awan menutup kalian, maka berpuasalah tiga puluh hari’. [Dikeluarkan oleh Imam Muslim (3/124) dan lain-lain]. Dan hadits Rasulallah saw. mengenai umur bulan sebagaimana sabda beliau saw.: ‘Bulan itu (kadang-kadang) sekian dan sekian’. (Nabi saw. mengisyaratkan dengan tangannya). Maksudnya sekali waktu 29 hari dan pada waktu yang lain 30 hari. [Dikeluarkan oleh Imam Bukhari (2/230 dan lafadhnya) dan Muslim (3/124) dan lain-lain.]

Begitu juga dalam hadits itu Kuraib bertanya ‘Apakah tidak cukup bagimu ru'yah/penglihatan dan puasanya Mu'awiyah’ dan dijawab oleh Ibnu Abbas dengan tegas, Tidak! Jawaban ini sangat jelas bahwa setiap daerah/ negeri berlaku ru’ya atau penglihatan hilal masing-masing dinegerinya. Dengan demikian kita tidak boleh mengikuti Negara Saudi Arabia yang telah melihat hilal awal masuk bulan Ramadhan atau Syawal bila negeri kita pada saat yang sama belum kelihatan hilal awal masuk bulan Ramadhan atau bulan Syawal ! Hal ini telah disepakati oleh para ulama pakar ahli hadits diantaranya: Imam Tirmudzi; Imam Nasa’i; Imam Syafi’i; Imam Ahmad; Syarah Muslim (Juz 7 hal 197) Imam Nawawi; Al-Majmu 'Syarah Muhadzdzab (Juz 6 hal. 226-228) Imam Nawawi; Ihkaamul Ahkaam Syarah 'Umdatul Ahkaam (2/207) Imam Ibnu Daqiqil Id.; Al-Ikhtiyaaraatul Fiqhiyyah (hal :106) Ibnu Taimiyyah; Tharhut Tatsrib (Juz 4 hal. 115-117) Imam Al-'Iraaqy; Fathul Bari syarah Bukhari (Juz 4 hal 123-124) Ibnu Hajar; Nailul Authar (Juz 4 hal. 267-269) Imam Syaukani; Subulus Salam (juz 2 hal 150-151); Bidaayatul Mujtahid (Juz 1 hal. 210) Imam Ibnu Rusyd dan lain-lain.

Dengan demikian hadits terakhir dari Kuraib ini menguatkan hadits yang pertama yang diriwayatkan oleh Bukhori dan lainnya yaitu “Berpuasalah kamu jika melihatnya (hilal), dan berbukalah (‘Id) bila melihatnya (hilal)…. Hadits pertama ini juga mewajibkan adanya Ru’yah hilal untuk mengetahui masuknya awal Ramadhan/ ’Idul Fithri, sedangkan hadits Kuraib diatas menganjurkan juga Ru’yah dan wajibnya Ru’yah bagi setiap negeri !! Sedangkan hadits yang jelas masalah Hisab tidak diketemukan !
Ahli Falak sendiripun membantah ulama yang mengatakan seluruh dunia wajib mengikuti satu Negara yang dimana disitu terlihat hilal. Diantara alasan bantahan ahli Falak ialah :
a). Bumi ini tidak rata bukan seperti kue lapis, waktu terbenam bulan dan matahari seluruh dunia tidak sama.
b). Posisi bulan & matahari, atas-bawah tinggi hilal agar hilal dapat diamati diseluruh dunia tidak semuanya sama (derajad ketinggiannya, beda ukuran sudut bulan dan matahari, beda waktu terbenam bulan & matahari, beda umur bulan dihitung sejak perkiraan hilal dapat diamati [ump.Hilal berumur 16 jam untuk daerah tropis dan lebih dari 20 jam untuk daerah yang lebih tinggi] dan lain sebaginya)
c) Permukaan bulan yang tersinari matahari dan menghadap kebumi harus mencapai minimal 1 % untuk memungkinkan bisa dilihat dan lain-lain.
Maka dari itu sampai sekarang banyak Negara Islam yang berbeda penentuan kapan mulai masuknya awal Ramadhan dan idul Fithri atau Idul Adha. Tidak lain mayoritas Negara Islam tersebut melihat Ru’ya dinegaranya masing-masing. Mereka memegang sunnah Rasulallah saw. yang lebih mendekati kebenaran di antaranya hadits Kuraib tersebut. Sayangnya masih ada sebagian muslimin yang ikut-ikutan pendapat sebagian ulama yang mewajibkan puasa seluruh dunia bila ada satu negeri Islam yang telah melihat hilal atau ikut2an ulama yang mengamalkan Hisab, walaupun pendapat ulama ini berlawanan dengan madzhabnya dan madzhab jumhur ulama.

KETERANGAN SINGKAT MENGENAI perhintungan astronomi (HISAB):
HISAB berasal dari bahasa Arab "hasaba" artinya menghitung, mengira dan membilang. Jadi hisab adalah kiraan, hitungan dan bilangan. Kata ini banyak disebut dalam al-Quran diantaranya mengandung makna perhitungan perbuatan manusia. Dalam disiplin ilmu falak (astronomi), kata hisab mengandung arti sebagai ilmu hitung posisi benda-benda langit. Posisi benda langit yang dimaksud disini adalah lebih khusus kepada posisi matahari dan bulan dilihat dari pengamat di bumi. Hitungan posisi ini penting dalam kaitannya dengan syariah khususnya masalah ibadah misalnya; shalat fardu menggunakan posisi matahari sebagai acuan waktunya, penentuan arah kiblat dengan menghitung posisi bayangan matahari, penentuan awal bulan hijriyah dengan melihat posisi bulan dan mengetahui kapan terjadi gerhana dengan menghitung posisi matahari dan bulan. Ilmu Falak yang mempelajari kaidah-kaidah Imu Syariah tersebut dinamakan Falak Syar'i (Ilmu Falak + Ilmu Syariah = Falak Syar'i).
Di Indonesia nama yang populer adalah Falak saja. Hisab dan Rukyatul hilal tidak bisa dipisahkan dari Ilmu Falak/Astronomi oleh sebab itu kebanyakan peralatan hisab dan rukyat juga merupakan peralatan Ilmu falak/Astronomi. Idealnya rukyatul hilal atau melihat hilal dilakukan dengan mata telanjang (naked eye) sesuai dengan pernah dilakukan oleh Rasulullah dan para sahabat-sahabatnya. Asal kita tahu teknik dan ilmunya maka rukyat dengan mata telanjang menjadi jauh lebih efektif dibandingkan menggunakan peralatan bantu optik. Sebab yang paling penting adalah kualitas sumber daya manusianya bukan pada alatnya. Kontroversi boleh tidaknya menggunakan alat bantu dalam melakukan rukyatul hilal memang masih terdengar, namun menurut beberapa ulama sah-sah saja menggunakan alat bantu asal tidak menyimpang dari hakikat rukyatul hilal yaitu menyaksikan langsung lahirnya hilal (bulan sabit muda). Penggunaan peralatan optik maupun peralatan pencari lokasi sebatas digunakan untuk membantu mempermudah pelaksanaan rukyatul hilal dan tidak menyalahi ketentuan yang ada, termasuk penggunaan teknologi penginderaan jarak jauh menggunakan infra merah, radar maupun satelit palacak. Dengan adanya ilmu pengetahuan maka sekarang bisa dilihat via computer kapan lahirnya bulan, munculnya dsb.nya dan kapan bulan itu bisa terlihat.

Sebenarnya Methodologi penentuan awal bulan Qomariah untuk menandai permulaan ibadah puasa dan sholat idul fitri adalah hanya dengan melihat bulan secara fisik (rukyatul hilal bil fi'ly), sedangkan methode perhitungan astronomi (hisab) dipakai sebatas untuk membantu prosesi rukyat. Jadi pada tanggal yang ditentukan secara hisab (kemungkinan kelihatan hilal) itu, kita tetap mengadakan ru’yah pada malam tersebut, apakah benar-benar hilal sudah bisa dilihat !

Termasuk di Indonesia selalu mengawali masuknya awal Ramadhan/Idul Fithri dan Idul Adha dengan Ru’yah. Pemerintah juga menerima Hisab dari minoritas ummat muslimin diantaranya golongan Muhammadiyyah, tapi pada tanggal yang ditentukan secara hisab (kemungkinan kelihatan hilal) itu, pemerintah tetap mengirim instansi untuk melihat (ru’yah), apakah benar-benar hilal sudah bisa dilihat ! Bila hilal pada waktu ditentukan hisab itu bisa dilihat maka pemerintah juga mengumumkan masuknya awal Ramadhan/Idul Fithri, tapi bila sebaliknya hilal pada waktu yang ditentukan Hisab tersebut. tidak bisa dilihat maka pemerintah mencukupkan hitungan tiga puluh hari. Jadi ilmu hisab itu hanya digunakan untuk kapan orang bisa mulai melihat (ru’yah) awal masuknya bulan Ramadhan/Idul Fithri, jadi bukan dijadikan sebagai penentuan hari awal masuknya bulan Ramadhan atau Idul Fithri. Karena penentuan awal masuknya bulan Ramadhan/idul Fithri harus ditentukan dengan Ru’ya pada hari ke 29 setelah maghrib!

Ahli Falak ini, sampai sekarang masih berdasarkan pada perkiraan yang mendekat belum 100% benar. Buktinya mereka belum sepakat dan masih ada perbedaan di kalangan mereka dan kesimpang siuran hasil perhitung an (hisab) mereka dalam menentukan; malam munculnya hilal, derajad ketinggian bulan diatas ufuk setelah matahari terbenam, usia bulan kemungkinan bisa dilihat (Imkanur Ru’yah) dan lain sebagainya. Dengan adanya tidak kesepakatan antara mereka ini serta perkiraan yang belum 100% benar maka sampai sekarang mayoritas dari para ulama masih mengambil kepastiannya dengan jalan Ru’yah.
Menurut sebagian ulama, apabila datang suatu saat dimana ilmu Falak bisa menghasilkan tingkat pengetahuan yang tepat dan semua ahli Falak sepakat dalam menentukan wujudnya Hilal serta telah ber-ulang2 ke tetapan perhitungan mereka sehingga mencapai derajad kepastian seperti halnya perhitungan mereka tentang hari-hari dalam seminggu (Senin, Selasa….), maka dengan sendirinya para ulama semua sepakat untuk mengikuti ucapan mereka ini. Sedangkan sampai sekarang mayoritas ulama masih menggunakan ru’yah untuk lebih pastinya!!!

ULIL AMRI
Para ulama mewajibkan rakyat mengikuti apabila pemerintahannya (yang mana didalamnya terdapat para ulama atau mereka bermusyawarah dengan para ulama setempat) telah memutuskan penetapan awal atau akhir bulan. Adapun dalil dari ketetapan hukum ini ialah:
a. Firman Allah dalam al Qur'an surat an Nisa' ayat 59: "Wahai orang-orang yang beriman, taatlah kalian kepada Allah, Rasulnya dan pemimpim-pemimpin kalian". (QS. An Nisa' : 59)Sebagaimana kita ketahui bahwa taat kepada para pemimpin tidaklah boleh pada hal-hal yang bersifat maksiyat atau keluar dari hukum syari’at Islam.
Dan kita yakin bahwa disaat pemerintah memerintahkan warganya untuk berpuasa, sesuai dengan ketentuan syariat dalam menentukan hilal, maka ini bukanlah termasuk dalam perbuatan maksiyat yang kita tidak boleh mentaatinya. Akan tetapi tidak lain semua ini masih dalam koridor ijtihad yang diikrarkan oleh Syari'at. Artinya, disaat agama telah membolehkan pemerintah untuk berijtihad dalam menentukan hilal puasa, Syawal maupun Dzulhijjah, maka tindakan pemerintah ini adalah sebuah ibadah yang wajib ditaati oleh seluruh warga.
b. Allah juga berfirman dalam surat an Nur ayat 62: "Sesungguhnya orang-orang yang beriman adalah mereka yang beriman kepada Allah dan Rasulnya, serta di saat mereka dalam sebuah keputusan yang telah diambil bersama, maka mereka tidak akan keluar dari kesepakatan itu sampai mereka meminta izin kepadanya (Rasulullah)". (QS. An Nur ayat: 62)
Dalam ayat diatas, begitu jelas Allah mengambarkan sifat seorang mukmin yaitu mereka yang beriman kepada Allah dan Rasulnya, serta tidak keluar dari keputusan jamaah sampai dia memperoleh izin dari Rasulullah atau wakilnya (pimpinan/kholifah yang datang setelah beliau saw.)

Pada kenyataan yang terjadi pada masa Rasulullah saw., bahwa beliau memerintahkan puasa langsung setelah datang kepada beliau persaksian seorang muslim. Sebagaimana dalam hadits: "Datang seorang badui ke Rasulullah saw. seraya berkata: ‘Sesungguhnya aku telah melihat hilal’. (Hasan, perawi hadits menjelaskan bahwa hilal yang dimaksud sang badui yaitu hilal Ramadhan). Rasulullah saw. bersabda: ‘Apakah kamu bersaksi bahwa tiada tuhan selain Allah’? Dia berkata: ‘Benar’. Beliau meneruskan pertanyaannya seraya berkata: ‘Apakah kau bersaksi bahwa Muhammad adalah utusan Allah’? Dia berkata: ‘ya benar’. Kemudian Rasulullah memerintahkan orang-orang untuk berpuasa besok".
Dalam hadits badui yang telah disebutkan diatas sudah sangat jelas bahwa dia (badui) yang melihat hilal secara langsung wajib melaporkan kesaksiannya kepada Rasulallah saw. (pemimpin), kemudian pada akhirnya Rasulallah lah yang akan menetapkan permulaan puasa atau hari raya.
Sebagaimana juga dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Abu Dawud dari hadits Ibn Umar yang berkata: ”Suatu ketika aku mengabari Rasulullah saw.bahwa aku telah melihat hilal (Ramadhan), spontan beliau berpuasa dan juga memerintahkan orang-orang untuk berpuasa".

Dengan demikian pemimpinlah (baca: pemerintahan Islam) yang akan memutuskan kapan awal masuknya bulan Ramadhan/Idul Fithri dan Idul Adha.Para fuqoha juga sepakat bahwa, bagi mereka yang melihat hilal secara langsung akan tetapi persaksiannya ditolak oleh pemerintah maka dia wajib berseberangan dengan keputusan pemerintah akan tetapi dengan sifatnya individu (dia sendirian berpuasa atau berbuka/ idul fithri) dan tidak boleh menampakkannya dihadapan halayak umum. Dan ini juga berlaku bagi mereka yang meyakini akan kejujuran mereka yang ditolak kesaksiannnya.

Sebagaimana dalam teks-teks berikut:
1. Dalam kitab al-Muhaddzab fiqh Syafi'i dijelaskan: "Barangsiapa melihat hilal sendirian, maka dia harus berpuasa. Demikian juga di saat dia melihat bulan Syawal, maka diapun wajib berbuka. Sebagaimana sabda Nabi: "Berpuasalah disaat kalian melihatnya, dan berbukalah disaat kalian melihatnya". Berbuka disaat melihat bulan Syawal dengan secara sembunyi-sembunyi, karena apabila dia menampakkan bahwa dia sedang berbuka, maka secara tidak langsung dia menjatuhkan diri sendiri pada tuduhan dan hukuman sang Sulthon/sang pemimpin". (Kitab al Muhadzab, juz 1, hal 324)

2. Dalam kitab Syarah Mukhtashor Kholil madzhab Maliki disebutkan: Kesimpulannya, bahwa orang-orang pada bulan puasa terbagi tiga kelompok: Dia yang melihat hilal secara langsung, atau mendengar langsung dari orang yang melihatnya, atau mendengar dari orang yang mendengar dari orang yang melihat. Maka yang wajib berpuasa adalah golongan pertama dan kedua. Adapun golongan ketiga tidak wajib atasnya kecuali sang hakim telah menetapkan hari itu sebagai awal puasa".

3. Sedangkan khusus bagi mereka yang ahli hisab. "Apabila seorang ahli perbintangan (astronom) mengetahui masuknya waktu (ibadah, baik shalat, puasa, haji dan lain-lain) dengan cara hisab, pengarang kitab "Al Bayan" menjelaskan: ‘Bahwa yang mu'tamad (pendapat yang lebih benar) dalam madzhab (Syafi'i) yaitu dia bisa memakainya sebagai pedoman ibadah hanya untuk dirinya sendiri, dan orang lain tidak boleh mengikutinya’ ".
Jelas sekali disini bahwa penggunaan methode astronomi (hisab) tidak merupakan penentu hukum kepada masyarakat.

Bagaimana dengan muslimin yang tinggal dinegara non Muslim?
Dalam Islam yang dimaksud Ulil Amri adalah para ulama, karena mereka inilah yang bisa mengatur masyarakat sesuai dengan hukum-hukum syari’at Islam, jadi bukan sembarang orang awam atau suatu perwakilan pemerintahan yang disana tidak ada ulama yang cukup menguasai hukum-hukum syair’at Islam. Bila disatu Negara non Muslim yang disana tidak ada jama’ah ru’yah hilal maka kita diharuskan mengikuti Negara muslim yang berdekatan atau segaris bujur dengannya, dengan syarat Negara ini memulai masuknya awal bulan Ramadhan/idul Fithri dengan jalan Ru’ya juga, bukan dengan jalan Hisab atau mengikuti Negara Islam lainnya. Hal yang demikian ini sesuai dengan sunnah Rasulallah saw. yang telah kami kemukakan diatas. Wallahu a’lam. Semoga Allah swt. mengampunkan dosa kita dan dosa kaum muslimin dan memberi hidayah pada kita kejalan yang lurus yang diridhoi oleh Allah swt dan Rasul-Nya. Amin

Keterangan singkat mengenai ibadah Puasa Ramadhan
Bulan yang penuh barokah dan rahmat yaitu bulan Ramadhan. Kami ingin sedikit mengutip secara singkat masalah-masalah yang penting mengenai ibadah menurut para ulama.

Yang diwajibkan/rukun puasa :
a) Niat. Orang harus setiap malam sebelum fajar(shubuh) tiba niat untuk puasa pada esok harinya. Menurut Imam Syafi’i bila niat ini tidak dilaksanakan setiap malam maka puasa pada esok harinya itu tidak Sah/batal dan wajib qadha, walaupun tidak niat itu disebabkan lupa. Selanjutnya Imam Syafi’i mengatakan: orang dianjurkan berniat pada malam pertama awal bulan Ramadhan (lebih jelasnya sbb: ump. awal ramadhan jatuh pada hari senin, maka niat awal ramadhan yg dimaksud imam Syafi’i jatuh pada malam senin itu), untuk puasa satu bulan puasa, disamping niat puasa untuk esoknya sebagai berikut : Nawaitu shouma ghodin syahri ramadhana fii hadzihis sanati lillahi ta’ala (saya niat puasa besok pagi pada bulan ramadhan tahun ini karena Allah swt.) ditambah dengan niat berikut ini : Wa nawaitu shouma syahri ramadhana kulliha (dan saya niat puasa bulan ramadhan seluruhnya). Niat yang terakhir ini hanya sekali saja diucapkan pada awal bulan Ramadhan. Tambahan niat pada awal bulan Ramadhan diatas ini gunanya ialah bila orang tidak niat pada waktu malam karena lupa, maka puasanya tetap sah, karena dia disamping niat utk setiap hari juga telah niat pada awal ramadhan utk puasa seluruh hari bulan ramadhan. Tetapi ini bukan berarti orang tsb. setiap hari tidak perlu niat !! Sekali lagi setiap malam harus berniat puasa utk esok harinya, sedangkan tambahan niat itu hanya utk menutupi bila dia tidak niat, benar2 lupa !!!

YangTidak Diwajibkan Berpuasa :
1).Orang Kafir. 2). Orang gila walaupun dia Muslim/ Muslimah 3) Anak-anak yang belum baligh (dianjurkan saja untuk belajar berpuasa).

Orang yang dilarang berpuasa :
Wanita sedang Haidh atau Nifas

Orang yang diberi keringanan berbuka :
1). Musafir : Empat madzhab sepakat ; Orang yang dalam bepergian yang jaraknya dibolehkan melakukan sholat qashar/meringkas sholat dibolehkan berbuka. Empat madzhab menambahkan syarat lagi bahwa orang itu sebelum fajar harus berangkat dari rumahnya. Menurut Imam Syafi’i: Bila bepergian ini merupakan pekerjaannya sehari-hari maka dia wajib berpuasa walaupun jarak perjalanannya sudah dibolehkan melakukan sholat qashar (± 89 km). Manakah yang lebih utama bagi Musafir berpuasa atau berbuka?? Imam Hanafi, Imam Syafi’i dan Imam Malik berpendapat: Berpuasa lebih utama bagi yang kuat melakukannya, dan berbuka lebih utama bagi orang yang tidak kuat berpuasa.!!!

2). Orang yang telah tua bangka yang tidak kuat/sanggup berpuasa, dia mendapat keringanan untuk berbuka, hanya setiap harinya -menurut ahli Fiqih- wajib membayar Fidyah yaitu memberi makan (beras atau makanan pokok) 1orang miskin 1mud (±800 gram)..Hal ini disepakati oleh para ulama kecuali Imam Ahmad bin Hambal orang tua ini disunnahkan saja membayar fidyah jadi tidak diwajibkan. Begitu juga sama halnya dengan orang sakit yang tidak ada harapan sembuh dan tidak sanggup puasa atau membahayakannya bila dia berpuasa. Mereka ini tidak wajib qadha/mengganti hanya membayar fidyah saja.

3). Empat madzhab berpendapat: Bila orang yang berpuasa sedang sakit, dan ia khawatir dengan berpuasa itu akan menambah penyakitnya atau memperlambat sembuhnya, maka bila ia suka berpuasalah, dan bila dia tidak suka, berbukalah, tetapi tidak ada ketentuan (keharusan) berbuka baginya. Karena berbuka itu hanya merupakan rukhshah (keringanan) bukan merupakan keharusan bagi orang yang berada dalam keadaan sakit. Tetapi kalau menurut perkiraannya sendiri atau menurut advies dokter bahwa dengan berpuasa itu akan menimbulkan bahaya, atau akan membahayakan salah satu anggota tubuhnya, maka dia harus berbuka, dan bila terus berpuasa, puasanya tidak sah!

4). Empat madzhab sepakat: bila Wanita yang hamil atau menyusui anaknya, kalau berpuasa sah puasanya. Jika mereka khawatir akan keselamatan diri atau anaknya (hal ini bisa diketahui dengan dasar pengalaman, advies dari dokter specialis), maka boleh berbuka. Dan dia harus menggadha/ menggantinya dilain waktu. Sedangkan masalah apakah dia harus juga membayar fidyah setiap hari yang dia tidak berpuasa tersebut?, dalam hal ini Imam Ahmad dan Imam Syafi’i mempunyai pendapat, sebagai berikut: “Setiap wanita yang hamil dan menyusui wajib menggadha dan membayar fidyah bila hanya khawatir keselamatan anaknya saja. Tetapi bila yang dia khawatirkan keselamatan dirinya atau keselamatan dirinya dan keselamatan anaknya maka dia hanya wajib menggadha saja tanpa bayar fidyah”.

5). Ulama empat madzhab sepakat bagi orang yang mempunyai penyakit selalu sangat kehausan atau kelaparan, boleh berbuka. Kalau ia kuat menggadhanya dikemudian hari, maka ia wajib menggadhanya, tetapi tidak perlu membayar fidyah.
Penting: Yang dimaksud sangat kehausan atau kelaparan ini adalah suatu penyakit yang orang ini tidak bisa menahan haus dan lapar karena membahayakan dirinya, jadi bukan dimaksud hanya berasa haus atau lapar. Karena berasa haus dan lapar ini hampir dialami setiap orang yang berpuasa !!! Semua alasan2 yang membolehkan berbuka diatas ini tidak berlaku lagi bila ditengah-tengah berbuka (pada hari itu) udzurnya telah hilang, umpamanya: Sakitnya sudah sembuh, Musafir telah kembali kekampungnya, Wanita haidh dan nifas telah suci, anak kecil telah baligh, maka semuanya ini menurut Imam Syafi’i mereka disunnahkan menahan diri artinya tidak makan dan minum pada hari itu untuk menghormati etika pergaulan. Sedangkan menurut Imam Hanafi dan Imam Hambali wajib mereka ini menahan diri pada waktu udzurnya telah hilang !!

Yang membatalkan puasa :
1). Makan dan minum dengan sengaja. Bila orang makan atau minum karena benar2 lupa, maka puasanya tetap sah. Dan bila orang itu ingat kembali waktu makanan masih dimulutnya, maka dia harus mengeluarkan makanan yang dimulut tsb. jadi jangan diteruskan ditelan !! Bila diteruskan ditelan maka puasanya batal, alasannya ialah dia makan bukan karena lupa !

2). Muntah yang disengaja. Kalau muntahnya tidak disengaja puasanya tidak batal, hanya setelah itu mulutnya dikumuri agar bersih dari sisa-sisa muntah!

3). Tiba masanya haidh atau nifas: Umpamanya pada waktu pagi hari dia sedang berpuasa kemudian pada waktu sore harinya datang masanya haidh, maka puasanya pada hari ini batal dan wajib diqadha.

4). Mengeluarkan sperma dengan sengaja (bukan dengan bersetubuh), dia wajib menggadha tidak usah membayar kafarat, tetapi perbuatannya haram dan berdosa. Bila keluar sperma tidak dengan sengaja umpama bermimpi maka puasanya tetap sah, hanya dia diwajibkan mandi saja. Sedangkan menurut Imam Syafi’i kalau orang yang berpuasa kebetulan melihat sesuatu yang merangsang sehingga keluar sperma tanpa disentuh dan tanpa nikmat puasanya tetap sah!

5). Bersenggama dengan sengaja. Puasanya batal dan perbuatannya berdosa. Orang ini harus membayar kafarat (denda). Kafaratnya harus secara tertib ialah : Pertama: Membebaskan budak (ini sudah tidak ada dizaman sekarang), kalau ini tidak mampu maka dia harus berpuasa berturut-turut dua bulan dan tidak boleh putus. Bila putus hanya satu hari saja dia harus mengulangi 2 bulan lagi. Kalau dengan puasa ini tidak mampu maka dia harus memberi makan 60 orang miskin setiap orang 1 mud dari makanan pokok (umpama beras).

6). Disuntik dengan bahan cair ini membatalkan puasanya, beginilah menurut imam empat madzhab, dan dia wajib menggadha.

7). Meniatkan berbuka padahal ia berpuasa, menurut sebagian ulama membatalkan puasanya. Maka dari itu janganlah ada orang yang berpuasa berniat utk membatalkannya !

Yang tidak membatalkan puasa :

1). Hal-hal yang tidak bisa dihindari umpamanya: Menelan ludah, menghirup debu dijalan dan lain-lain.

2). Berkumur-kumur waktu wudhu atau pada waktu lainnya asalkan tidak berlebih-lebihan. Bila waktu kumur memasuk kan air yang berlebihan sehingga ketelan masuk perut, maka puasanya batal karena dia sengaja memasukkan air dimulut dengan.berlebihan. Tetapi kalau memasukkan air dimulut utk kumur tidak berlebihan dan tidak sengaja masuk kedalam perut, maka puasanya tidak batal !

3). Memakai celak mata atau meneteskan obat mata atau lain-lain kedalam mata, menurut Imam Hanafi, Imam Syafi’i tidak membatalkan puasa sedangkan menurut Imam Malik batal puasanya.

4). Mencium, tidak membatalkan puasanya menurut Imam Syafi’i dan imam lainnya, bagi yang sanggup menahan diri dan menguasai syahwat atau nafsu seksnya. Kalau tidak sanggup artinya sampai menimbulkan rangsangan hukumnya makruh saja dan puasanya tetap sah! Jadi sebaiknya jangan dikerjakan kalau tidak sanggup, karena bisa mengakibatkan hubungan lebih intim lagi (bersetubuh), sehingga jatuhnya menjadi berdosa, puasanya batal dan dikenakan kafarat!!!

5). Menggosok gigi juga dibolehkan walaupun pada pagi hari, ada ulama yang memakruhkan. Rasulallah saw. sering menggosok giginya setiap kali waktu berpuasa dengan siwak baik siwak itu kering maupun masih basah. Hanya bila orang menggosok gigi dengan tandspasta, janganlah tandpastanya itu ditelan. Jadi kumurilah sampai tandpasta itu bersih dari mulutnya. Wallahu A’lam.

No comments:

Post a Comment